Minggu, 07 September 2008

Sayembara Mengarang Cerpen & Cerber femina 2008
Friday, 20 June 2008 23:27 administrator
Berbekal pengalaman sehari-hari atau imajinasi yang hebat, Anda bisa menghasilkan karya fiksi menarik dan bermutu. Jangan lewatkan Sayembara Mengarang Cerpen & Cerber femina 2008, dengan Ayu Utami sebagai ketua dewan juri. Inilah jalan untuk mewujudkan impian menjadi penulis kenamaan.SYARAT UMUM SAYEMBARA CERPEN & CERBER:• Peserta adalah Warga Negara Indonesia.• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan menggunakan ejaan yang disempurnakan.• Naskah harus asli, bukan terjemahan.• Tema bebas, namun sesuai untuk majalah femina.• Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak maupun elektronik, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.• Peserta hanya boleh mengirimkan dua naskah terbaiknya.• Hak untuk menerbitkan dalam bentuk buku dan menyiarkannya di media elektronik ada pada PT Gaya Favorit Press.• Redaksi berhak mengganti judul dan menyunting isi.• Naskah yang tidak menang, tetapi dianggap cukup baik, akan dimuat di edisi biasa. Penulis akan mendapat honor pemuatan yang sesuai.• Keputusan juri mengikat. Tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.• Karyawan Femina Group tidak diperkenankan mengikuti sayembara ini.
SYARAT KHUSUS CERBER:• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.• Panjang naskah antara 40 – 50 halaman.• Dijilid dan dikirim sebanyak dua rangkap, disertai 1 (satu) disket atau CD berisi naskah.• Naskah dilampiri formulir asli, fotokopi KTP, dan sinopsis cerita.• Amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerber femina 2008.• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 28 November 2008.• Pemenang akan diumumkan di majalah femina, terbit akhir April 2009.
SYARAT KHUSUS CERPEN:• Diketik dengan komputer di atas kertas HVS kuarto dengan jarak dua spasi. Font Arial ukuran 12.• Panjang naskah 6 – 8 halaman, dan dikirim sebanyak dua rangkap disertai 1 (satu) disket atau CD berisi naskah.• Naskah dilampiri formulir asli dan fotokopi KTP.• Amplop kiri atas ditulis: Sayembara Mengarang Cerpen femina 2008.• Naskah ditunggu selambat-lambatnya 30 September 2008.• Pemenang akan diumumkan di majalah femina, terbit November 2008.• Karya pemenang utama akan dimuat di femina edisi tahunan 2009.
Hadiah Sayembara Cerpen
* Pemenang I : Rp4.000.000* Pemenang II : Rp2.500.000* Pemenang III : Rp2.000.000* 3 Pemenang Penghargaan @ Rp1.500.000
Hadiah Sayembara Cerber
* Pemenang I : Rp10.000.000* Pemenang II : Rp7.000.000* Pemenang III : Rp5.000.000* 3 Pemenang Penghargaan @ Rp3.000.000
[ Senin, 08 September 2008 ]
Amankan Dukungan Guru
SURABAYA - Nuansa politik benar-benar terasa dalam sosialisasi hasil kongres PGRI yang berlangsung di Gedung Juang 45 kemarin (7/9). Hal itu bisa dimaklumi. Sebab, agenda tersebut dihadiri cagub koalisi PAN-PD-PKS Soekarwo.Agenda yang utamanya adalah pemaparan hasil kongres PGRI di Palembang kepada wakil guru se-Jatim berubah menjadi ajang dukungan kepada mantan Sekdaprov itu. Dalam beberapa kali kesempatan, Ketua PGRI Jatim Matajid terlihat begitu getol menegaskan bahwa Soekarwo merupakan sosok yang peduli pada dunia pendidikan. "Kami yakin APBD akan memberi kontribusi anggaran pendidikan 20 persen jika yang memimpin Jatim memiliki komitmen pada dunia pendidikan dan kesejahteraan guru," jelas Matajid.Di hadapan para guru, Matajid mengatakan, sosok pemimpin yang layak dipilih adalah yang memenuhi kriteria itu. Bisa ditebak, meski tidak menyebutkan nama, ratusan guru yang memadati tempat acara langsung kompak menyebut nama Soekarwo.Soekarwo menegaskan bahwa dirinya hadir karena mendapat undangan. Meski demikian, dia tidak menampik bahwa kedatangannya merupakan salah satu upaya untuk mengamankan dukungan para guru. Sebab, pada putaran pertama lalu, suara Karsa juga didominasi para pengajar itu. "Siapa pun yang akan memimpin Jatim nanti, dia memiliki kewenangan untuk menjadi eksekutor memperbaiki dunia pendidikan," katanya. (ris/nw)
-->


Arsip Berita


Arsip Cetak


Arsip Foto


Versi Cetak




-->

AC_FL_RunContent( 'codebase','http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=9,0,28,0','width','600','height','115','src','../imgs/bannerflashbaru','quality','high','pluginspage','http://www.adobe.com/shockwave/download/download.cgi?P1_Prod_Version=ShockwaveFlash','movie','../imgs/bannerflashbaru2' ); //end AC code







HOME
BERITA UTAMA
INTERNASIONAL
POLITIKA
OPINI
EKONOMI BISNIS
SPORTIVO
METROPOLIS
EVERGREEN
DETEKSI
SHOW SELEBRITI
MINGGUAN
Senin, 08 September 2008





-->


-->
Berita Utama

[ Senin, 08 September 2008 ]
Myra Sidharta, Psikolog yang 34 Tahun Teliti Kesastraan
Gembira Pergoki Jenderal Orde Baru Serius Baca Kho Ping Ho Penelitian 34 tahun menjadikan Myra Sidharta pakar cabang ilmu langka, kesastraan Melayu-Tionghoa. Ia hafal seluk-beluk semua karya penulis peranakan Tionghoa, mulai Kwee Tek Hoay hingga legenda penulis cerita silat Kho Ping Ho. Ternyata, semua itu berawal dari kebosanan menjadi psikolog. Eri Irawan-Anggit Satriyo, JAKARTA Tiga majalah Sin Po tergeletak di meja baca Myra Sidharta di rumahnya di bilangan Prapanca Raya, Jakarta Selatan. Tak jauh dari majalah terbitan awal abad ke-20 itu, ratusan literatur soal kebudayaan Tiongkok tertata rapi. Saat ditemui kemarin, perempuan 81 tahun itu masih tampak gesit bolak-balik mengambil berbagai buku untuk ditunjukkan kepada Jawa Pos. Saban hari aktivitas Myra banyak dihabiskan di balik komputer dan ruang baca yang terletak di beranda belakang rumahnya. Sisi-sisinya dikelilingi kaca tipis, sehingga sinar mentari bisa leluasa menembus ruangan. Di pelataran beranda terdapat kolam kecil dengan pepohonan lumayan rindang. Di sanalah Myra yang terlahir dengan nama Ew Yong Tjhoen Moy biasa menghabiskan waktu untuk membaca. Di belakang ruang seluas 4 x 6 meter itu terdapat ruang berukuran 1 x 2 meter tempat Myra menulis. Ada PC dan laptop, lengkap dengan lemari besar berisi ratusan buku. "Saya biasanya baru tidur di atas pukul 24.00. Baca dan nulis, itu membuat saya terus semangat," ujar perempuan kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, tersebut. Di luar itu, perempuan sepuh tersebut masih kerap beraktivitas dalam organisasi Hasta Dasa Guna. Yang ini organisasi orang-orang yang berusia 80 tahun sampai 100 tahun namun masih aktif. Myra bergabung dengan banyak istri tokoh, salah satunya Ny Rosihan Anwar. Memang, menyusuri setiap depa rumah Myra ibarat kita dibawa ke sebuah galeri. Pintu masuknya berukir naga. Memasuki ruang tamu, ada puluhan guci dan ukiran kayu berbagai bentuk. Meja dan kursi kayu ada di ruang tengah, dikelilingi lukisan berbagai corak. Dari ruang tamu yang bercampur ruang tengah itu, terdapat dua anak tangga menurun. Setelah lewat anak tangga itulah, dengan sisi tembok penuh sketsa, beranda ruang baca berada. Tepat di sisi bawah anak tangga itu terdapat lorong selebar dua meter. Di sisi kiri dan kanan lorong sepanjang sekitar delapan meter itu penuh dengan ribuan buku, mulai literatur klasik sampai modern. Buku-buku berbahasa Tionghoa tersebut kebanyakan dari warisan para saudaranya. Ada pula warisan kolega. "Kalau saya memang beda. Saya lebih suka mendapat peninggalan buku," ungkapnya. Lantai dasar itulah sejatinya "denyut nadi" rumah alumnus Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, tersebut. Myra adalah istri almarhum psikolog Prof Priguna Sidharta. Dia satu dari sedikit pemerhati kesastraan Melayu-Tionghoa di tanah air. Sebenarnya, Myra tak punya latar belakang pendidikan sastra. Gelar doktorandus bidang psikologi justru disandangnya. Dia sejatinya dosen di Fakultas Psikologi UI. Namun, bagi dirinya, ilmu tersebut terlalu membosankan. "Begitu pulang 1958 dari Belanda, di sini praktik psikolog belum sebanyak sekarang. Orang masih sulit menerima psikolog," ceritanya. Kala itu, cerita dia, masyarakat belum bisa menerima hasil pekerjaan psikolog anak. Sebab, hasilnya tidak bisa kasat mata. "Ibaratnya, ada anak nakal, orang tuanya minta anaknya disuntik. Mana ada suntik untuk ngobati kenakalan? Dan, orang tidak percaya bahwa psikolog bisa membawa kepribadian sang anak ke arah yang lebih baik," tutur nenek lima cucu tersebut. Sedekade setelahnya, pada 1968, dia mengikuti sang suami hijrah mengajar di Malaysia. Di negeri jiran itu, dia tinggal sampai 1970. Pulang ke tanah air, Myra aktif membantu sebuah yayasan yang digawangi istri Jenderal Nasution. Baru pada 1976 dia masuk Fakultas Sastra UI hingga pensiun pada 1994. Di sana dia mengajarkan sinologi, ilmu tentang kebudayaan Tiongkok. Ibu tiga anak itu sempat protes karena kurikulum sinologi tak memasukkan kajian tentang kebudayaan peranakan Tionghoa di tanah air. Padahal, kata dia, itu perlu untuk membumikan ilmu tersebut di tanah air, agar lebih dekat kajiannya sehingga memudahkan mahasiswa mempelajarinya. "Jadi, dulu itu yang dipelajari hanya kebudayaan Tiongkok asli dari tanah leluhur sana, tidak ada kajian soal kisah Tionghoa di Indonesia, proses migrasinya, dan sebagainya," ujarnya.Kondisi semacam itu, menurut dia, disebabkan politik Orde Baru yang cenderung antikebudayaan Tionghoa. Lantas, bagaimana awal mula ketertarikannya di dunia kesastraan Melayu-Tionghoa? "Semua bermula dari persahabatan saya dengan Romo (M.A.W.) Brouwer," katanya. Brouwer adalah pastur cum psikolog yang kerap mengisi rubrik konsultasi di media massa medio 1970-an. "Dia yang terus mendorong saya dengan meminjami literatur-literatur kesastraan Melayu-Tionghoa," ujar penulis buku Antara Dua Tanah Air: Biografi Romo M. A. W. Brouwer itu. Semula Myra enggan menanggapi dorongan sang sahabat. Myra hanya ingin mempelajari sejarah peranakan Tionghoa, terlepas dari kesastraannya. Namun, dia akhirnya luluh juga dengan ajakan karibnya itu. "Kalau kamu ingin mempelajari masyarakat peranakan, ya kamu harus baca kesastraannya," cerita dia menirukan omongan sang sahabat. Akhirnya, sejak 1974 hingga kini dia terus bergelut dengan riset-riset soal kebudayaan dan kesastraan peranakan Tionghoa.Ketertarikan itu tidak terlepas dari latar belakang keluarganya. Sang kakek dari Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Tiongkok, yang pada 1872 menetap di Belitung. Sang kakek ingin agar Myra, yang telah mengecap pendidikan tinggi hingga ke Belanda, tidak tercabut identitasnya sebagai peranakan Tionghoa. Bagi Myra, sastra Melayu-Tionghoa adalah deru napasnya. Dia mengaku terkagum-kagum, sekaligus merasa sangat beruntung bisa mendalami kesastraan peranakan Tionghoa. Dia menilai, kesastraan Melayu-Tionghoa sangat dahsyat. Kontribusinya juga besar terhadap sastra Indonesia secara umum, sehingga tidak bisa dikesampingkan. Dia lantas mencontohkan buku karya sahabatnya, Claudine Salmon, berjudul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia yang diterbitkan 1981 di Paris, Prancis. Di buku itu, ada 1.398 novel karya asli pengarang peranakan Tionghoa. "Hanya, memang tidak semua diakui dan dikenal. Ya, karena juga tidak semuanya bagus," kata dia. Salmon adalah peneliti sastra Melayu-Tionghoa asal Prancis, istri sejarawan Denys Lombard. Selama bertahun-tahun Myra membaca banyak karya sastrawan Tionghoa. Nukilan-nukilan kisah, dari asmara hingga silat, dilahapnya. Dia juga bersua dengan sastrawannya langsung, juga dengan keluarga sang penulis. "Saya mewawancarai Kho Ping Ho sebelum beliau meninggal, saat itu pemilu (1992)," ceritanya. Asmaraman Sukowati Kho Ping Ho adalah penulis cerita silat yang kisah-kisahnya bahkan dibaca hingga saat ini. Dia juga menemui janda Njoo Cheong Seng di Malang dan pengarang "seribu wajah" Tan Hong Boen di Slawi. Secara khusus Myra mengidolakan karya Kwee Tek Hoay (KTH) yang lahir pada 1885. Dari gaya bahasanya, Myra memandang karya KTH relatif biasa. Namun, sambung dia, tema dan jalinan kisah yang dirajutnya membuat Myra angkat topi. Karya-karya KTH yang digilainya, antara lain, Drama di Boven Digoel dan drama terkenal Bunga Roos dari Tjikembang. Karya yang terakhir ini, kata dia, banyak diilhami A Midsummer's Night Dream karya Shakespeare. Membacanya, kata dia, membuat orang terharu dan meneteskan air mata. "Meski pandangannya terkesan menggurui, buku-bukunya menarik karena dia (KTH, Red) memasukkan unsur-unsur spiritual. Misalnya, dia membicarakan masalah agama dan mistik, reinkarnasi," terangnya. Meski mengaku cinta, Myra awalnya mendapat tentangan dari rekan-rekannya ketika meneliti kebudayaan dan kesastraan Melayu-Tionghoa. Hampir setiap hari sejawatnya mengingatkan Myra agar cooling down dulu karena awal-awal Orde Baru yang begitu anti kebudayaan Tionghoa. "Sudah banyak intel yang ngikutin kamu," ujarnya menirukan omongan koleganya. "Namun, saya nggak peduli," imbuh ibunda Silvia, Julie, dan Amir Sidharta itu. Myra tetap saja menggeluti sastra Melayu-Tionghoa.Namun, ada satu pengalaman menarik yang dialami Myra terkait stereotip negatif sastra Melayu-Tionghoa semasa Orba. Ketika itu, dia bermaksud mengunjungi seorang rekannya yang tengah sakit. Rekannya itu istri seorang jenderal. Tak disangka, saat masuk ke kamar rekannya, dia mendapati sang jenderal tengah serius membaca cerita silat Kho Ping Ho. Dia heran karena saat itu karya-karya Tionghoa masih dipojokkan. Begitu tahu Myra masuk kamar, jenderal itu langsung berusaha menyembunyikan karya-karya Kho Ping Ho. Namun, Myra mengetahuinya. "Bapak suka Kho Ping Ho juga, ya?" tanyanya ke sang jenderal. Akhirnya, sang jenderal mengakui bila menyenangi karya-karya pengarang Sin-kun Butek (Si Tangan Halilintar) itu. "Saya tersenyum saja, gembira." tutur Myra. (*)



Penalti Hamilton, Victory Massa
Ada Peluang Jerat Anwar
OPEC Tahan Tren Turun Harga Minyak
Kejagung Masih Tunggu Laporan Kejari Jombang
Banyolan dalam Tayangan Ramadan
Makau Gencar Ubah Image
The Venetian, setelah Setahun Beroperasi di Makau
Orang Jakarta Berjudi Serius
Mencoba Berjudi Caribbean Stud yang Populer di Makau
Australia dan Korsel Tujuan Magang Wisata
Konvoi Kenang Kematian Munir
Mantan Ketua KNKT Tutup Usia
50 Kontrak Ekspor LNG Merugikan
Kena Kanker Payudara, TKW Tewas Mengenaskan
HALAMAN KEMARIN
Laba-Laba Raksasa Bikin Heboh
KPK Cueki Rekaman Antony
Aset Bakrie di Bursa Susut
Suami Benazir Bhutto Pimpin Pakistan
Topeng Kekuasaan dalam Puasa
Kajari Usut Tuduhan Jaksa Terima Suap
Penasihat Keluhkan Staf Khusus SBY
Banyak Yang Lebih Baik dari Super Toy
Anwar Janji Hapus Hukum Cambuk bagi TKI
Bareng Lebaran, Upacara Dini Hari
HOME
BERITA UTAMA
INTERNASIONAL
POLITIKA
OPINI
EKONOMI BISNIS
SPORTIVO
METROPOLIS
EVERGREEN
DETEKSI
SHOW SELEBRITY
MINGGUAN

Copyright @2008 IT Dept. JawaPos Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

Jumat, 05 September 2008

KPK

Tarik ulur pemerintah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) ke DPR RI pada akhir Juli 2008, selain memperlihatkan keseriusan penegakan hukum, juga menimbulkan pertanyaan kritis. Apakah RUU ini sengaja dibuat seperti itu untuk mengebiri pemberantasan korupsi yang sekarang tengah menyeret sejumlah anggota DPR? Ataukah ada maksud lain?
Sejumlah pakar hukum yang membaca draf RUU ini menggeleng-gelengkan kepala. Karena, ada pasal, yang bagi pemerhati hukum korupsi, bisa diterjemahkan sebagai upaya mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada juga yang membatasi kewenangan hakim ad hoc yang selama ini dikenal galak dibandingkan hakim karier.
Pasal 27 pada draft RUU itu menyebutkan, Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) menentukan komposisi hakim tipikor.
Ahli hukum UGM, Denny Indrayana, misalnya, menyoroti masalah itu sebagai peluang melemahkan keberadaan KPK.
Soalnya, jika draf itu disetujui menjadi undang-undang, pasal tersebut memungkinkan ketua MA dan ketua Pengadilan Negeri mengatur hakim yang mengurus tipikor dengan komposisi lebih berat ke hakim karier ketimbang hakim ad hoc.
Draf itu tidak sejalan dengan Pasal 58, 59, dan 60 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan komposisi hakim ad hoc itu berjumlah tiga orang dan hakim karier dua orang.
Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan hakim karier yang lebih banyak akan melenyapkan peluang penegakan hukum kasus korupsi. Posisi KPK, yang selama ini memperlihatkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi, dikhawatirkan sia-sia.
Itu merujuk pada hasil pantauan ICW selama Januari-Juli 2008 terhadap 196 terdakwa kasus korupsi yang ditangani peradilan umum.
Dari 196 kasus korupsi yang ditangani peradilan umum itu, sebanyak 104 terdakwa divonis bebas. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang semester I tahun 2008, sekira 53 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas.
Kekhawatiran adanya upaya pengebirian terhadap KPK juga muncul ketika publik mengetahui adanya upaya MA untuk menggodok hakim yang memiliki kemampuan menangani korupsi dan langkah kejaksaan membentuk tim khusus penanganan kasus korupsi. "Kita harus mewaspadai akan adanya upaya melemahkan keberadaan KPK," kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Denny Indrayana, dalam suatu seminar, belum lama ini.
Menurut dia, mengingat kondisi demikian maka publik harus mewaspadai akan adanya serangan balik dari pemerintah dan DPR terhadap KPK melalui UU.
Pernyataan pakar hukum pidana UGM itu seiring dengan kenyataan bahwa saat ini kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif terlihat tak kuasa menghadapi langkah KPK yang memeriksa hingga kantor mereka.
Denny Indrayana menyatakan, celah DPR untuk mematikan keberadaan KPK itu bisa terlaksana melalui UU Anti-Korupsi, UU KPK, dan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang saat ini draf-nya akan diajukan pemerintah.
"Ketiga UU itu dapat digunakan untuk melakukan serangan balik terhadap keberadaan KPK," katanya.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, mengatakan, upaya melemahkan keberadaan KPK melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor merupakan suatu kemunduran. "Suatu kemunduran bagi suatu lembaga KPK dengan pengaturan komposisi hakim oleh Pengadilan Negeri," katanya.
Peneliti ICW, Febri Diansyah, meminta pemerintah merevisi pasal itu dan mengatur agar komposisi hakim ad hoc lebih dominan. "Jika tidak diubah, berarti pemerintah melakukan langkah mundur dalam upaya perang melawan korupsi," katanya.
Adanya kemungkinan skenario pengebirian keberadaan KPK melalui pendidikan hakim tipikor di lingkungan MA dibantah Ketua MA Bagir Manan.
Menurut Bagir Manan, pendidikan yang digelar itu ditujukan untuk meningkatkan kemampuan para hakim dalam menangani kasus korupsi dan tidak ada kaitannya dengan soal draf RUU Pengadilan Tipikor.
"Kalian jangan hanya menilai negatif saja kepada hakim itu, justru kita ingin meningkatkan kemampuan hakim," katanya.
Sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah dan DPR diberi tenggat waktu selama tiga tahun, yakni sejak 2006 hingga 2009 untuk merealisasi Pengadilan Tipikor. MK beralasan bahwa tidak boleh ada dualisme pengaturan keberadaan pengadilan. "MK menyatakan, akhir 2009 sudah harus berjalan," kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata.
Mengapa RUU Pengadilan Tipikor begitu lama dibahas, sementara tenggat waktu yang diberikan MK semakin dekat? Men-kumham memberikan tiga alasan atas pertanyaan tersebut. Status Pengadilan Tipikor, Hakim ad hoc, dan keterbatasan jangkauan pasal tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor, menurut Andi, menjadi tiga masalah utama yang mengganjal.
Dalam putusannya dua tahun lalu, kata Andi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan semua perkara korupsi diperiksa di satu pengadilan, yakni Pengadilan Tipikor. Saat ini, terdapat dua pengadilan yang memeriksa perkara korupsi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor saat ini hanya ada di Jakarta, khusus memeriksa perkara-perkara korupsi . yang disidik KPK.
Jika semua perkara korupsi harus diperiksa di Pengadilan Tipikor, seperti mau-nya MK; pemerintah wajib menyediakan Pengadilan Tipikor hingga tingkat kabupaten/kota yang jumlahnya mencapai 450-an. Sekuen penanganan perkaranya menjadi penyidikan bisa dilakukan kejaksaan, kepolisian, atau KPK; penuntutan bisa ditangani kejaksaan atau KPK, tapi pengadilannya hanya satu. Pengadilan Tipikor. Dalam suatu kesempatan, Jaksa Agung Hendarman Supandji berkomentar, "Anggaran pemerintah mampu nggak untuk membangun pengadilan sebanyak itu."
Pengadilan Tipikor yang ada saat ini memiliki kekhasan tersendiri dengan hadirnya hakim ad hoc (hakim nonkarier-Red). Dalam tiap persidangan, hakim di Pengadilan Tipikor berjumlah lima orang dengan komposisi tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier. Komposisi tersebut tidak berubah jika suatu perkara korupsi diperiksa hingga tingkat banding, bahkan kasasi.
Paradigma menghadirkan hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor, awalnya adalah ketidakpercayaan terhadap hakim karier yang memiliki stigma korup. Karena itu, perbandingan jumlah menjadi penting tatkala suatu putusan perkara korupsi harus ditentukan melalui mekanisme voting. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor saat ini, kata Andi, paradigma keberadaan hakim ad hoc bukan lagi masalah ketidakpercayaan terhadap hakim karier, tapi kebutuhan.
Perubahan paradigma ini, menurut Andi, sejalan dengan modus korupsi yang diyakini semakin canggih. Setiap Pengadilan Tipikor, mau tidak mau, nantinya memerlukan hakim ad hoc sesuai kebutuhan penanganan kasus korupsi yang ditangani. Jika suatu Pengadilan Tipikor tengah memeriksa kasus korupsi perbankan misalnya, diperlukan hakim ad hoc dengan keahlian perbankan.
Dengan paradigma seperti itu, hakim ad hoc juga diperlukan jumlahnya hingga ke tingkat kabupaten/kota. Ini, tambah Andi, juga menjadi masalah. "Kan tak setiap hari, di suatu daerah, ada persidangan kasus korupsi perbankan misalnya. Ini yang harus dipikirkan. Ketersediaan dan efektivitas kerja hakim ad hoc," kata Andi. Masalah ketiga, yang menurut Andi adalah masalah paling berat pemecahannya, perlunya perluasan jangkauan UU Tipikor yang ada saat ini. Jika setiap perkara korupsi harus ditangani di Pengadilan Tipikor, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi harus menggunakan UU Tipikor, bukan menggunakan KUHP. Pengadilan Negeri saat ini memungkinkan adanya dakwaan kumulatif yang menyertakan UU Tipikor dan KUHP dalam satu dakwaan.
Jika KUHP tidak boleh digunakan dalam penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, Andi khawatir, nasib penanganan kasus korupsi menjadi sama seperti kasus pelanggaran HAM berat. Banyak kasus pelanggaran HAM berat terdakwanya bebas di tingkat MA karena yang digunakan hanya UU HAM berat tanpa menyertakan pasal pembunuhan/pembunuhan berencana, yaitu Pasal 338 dan 340 KUHP.
Ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengaku khawatir dengan lambannya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Padahal, kata Romli, RUU Pengadilan Tipikor juga diperlukan untuk menjaga eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang treng-ginas dibanding kejaksaan. Jika hingga tenggat Desember 2009 Pengadilan Tipikor belum bisa terbentuk, menurut Romli, akan terjadi skandal terbesar di negeri ini.
Menurut Romli, aturan hukum saat ini tidak membeberkan celah hukum kepada KPK yang memberikan hasil peyidikan dan penuntutan perkara korupsinya ke Pengadilan Negeri. Jika RUU Pengadilan Tipikor tidak selesai dibahas tepat tenggat waktu, KPK juga tidak bisa menyerahkan

Situs Bahasa dan Sastra Indonesia

Blog ini berisi materi-materi bahasa dan sastra Indonesia . Tulisan-tulisan pemilik blogger, download internet materi-materi Bhs. Ind, dan berita berita ter up to date