Selasa, 29 Desember 2009

mk landasan pembelajaran bahasa, Irene R

FAKTOR SOSIAL BUDAYA DALAM PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA


A. Pendahuluan

Fungsi Bahasa bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh (regulatory), kepribadian, pemecahan masalah, dan khayal.
Dalam pemerolehan maupun pembelajaran bahasa, banyak teori-teori yang dikemukakan oleh ahli bahasa mengenai hal tersebut. Gardner dan Lambert (1972) mengemukaan bahwa penguasaan bahasa seseorang dipengaruhi oleh empat bagian utama, yaitu: (a) lingkup sosio-kultural, (b) perbedaan individual, (c) konteks pemerolehan bahasa, dan (d) out-comes belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa.
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, begitu pentingnya pengaruh sosio-kultural dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa inilah yang akan diurakaikan dalam tulisan ini. Adapun fokus kajian ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa, sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan bahasa secara umum, factor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, serta aplikasi teori-teori sosio-budaya dalam bahasa dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa.

B. Faktor Sosiol Budaya dan Bahasa
1. Budaya: Definisi dan Teori
Budaya adalah sebuah cara hidup. Ia adalah konteks yang didalamnya kita ada berpiki, merasa, dan berhubungan dengan yang lain. Budaya juga bias didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang mencirikan kelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu.
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.
Tampak jelas bahwa budaya, sebagai himpunan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, menjadi sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa kedua. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa. Baik linguis maupun intropolog menghasilkan setumpuk testimony untuk pengamatan ini ( Uber Grose, 2004; Scheter dan Bayley, 2002 ; Littlewood, 2001; Dlaska, 200; Hinenoya & Gatbonton; Matsumoto, 2000; Kubota, 1999; Robinson Stuart & Nocon, 1996; Scollon & Scollon, 1995).
Ekumenis terhadap budaya yakni melihat budaya-budaya tidak oposisional atau saling eklusif, tetapi lebih sebagai semacam corak dan warna yang meliputi sebuah spectrum yang lebar. Prospek untuk melihat budaya sebagai ‘ekumenis’ adalah sesuatu yang kontradiktif, ujar sparrow (2000, h. 750) yang kemudian melanjutkan, ‘kita jadi tak bisa mengajarkan pandangan yang diterima tentang budaya maupun menempatkan profesi kita dipasir apung relativitas moral.

2. Strereotipe atau generalaisasi
Bagaimana stereotipe membentuk/Milieu budaya kita membentuk pandangan dunia kita-weltanscauung kita-dalam sebuah cara sehingga realitas dianggap terlihat objectif melalui pola budaya kita sendiri,dan persepsi yang berbeda dilihat sebagai salah satu ‘asing’dan penyederhanaan berlebihanpun terjadi. Jika orang mengenali dan memahami pandangan-pandangan dunia yang berbeda.mereka biasanya mengadopsi sikap positif dan terbuka kepada perbedaan-perbedaan lintas budaya. Pandangan sempit terhadap perbedaan-perbedaan semacam itu sering berakibat pula pada dipertahankannya stereotipe-sebuah penyederhanaan berlebihan dan sepenuhnya asumsi. Sebuah stereotipe melekatkan karacteristik kelompok kepada tiap individu semata-mata berbasis keanggotaan budaya mereka.
Stereotipe mungkin akurat dalam menggambarkan anggota’tipikal dari sebuah budaya, tetapi ia tak akurat saat menggambarkan individu tertentu.semata-mata karena setiap orang unik dan seluruh karakteristik perilaku seseorang tak bisa diprediksi secara akurat secara pukul rata seperti itu.Menghakimi anggota sebuah budaya dengan sifat keseluruhan budaya sama saja dengan menghakimi sebelum waktunya dan salah menghakimi.stereotipe punya potensi merendahkan orang-orang dari budaya lain.Komentar Mark Twain tentang bahasa Prancis dan Jerman,sekalipun ditulis dengan semangat bercanda dan tak ada maksud jahat,bisa ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai penghinaan.

3. Sikap
Stereotipisasi biasanya menyiratkan semacam sikap terhadap budaya atau bahasa yang dibicarakan.sikap seperti semua aspek perkembangan kognisi dan afeksi pada manusia,berkembang awal pada masa kanak-kanak dan buah dari sikap orang tua dan rekan sebaya,kontak dengan orang-orang yang berbeda dalam banyak cara dan faktor-faktor afektif yang berinteraksi dalam pengalaman manusia.sikap-sikap ini membentuk sebagian dari persepsi seseorang akan dirinya ,orang lain,dan budaya dimana ia tinggal.
Studi ekstensif Gardner dan Lambert [1972] adalah upaya sistematis memeriksa efek sikap kepada pembelajaran bahasa.Tampaknya jelas bahwa para pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari sikap positif dan bahwa sikap negative mungkin menyebabkan melemahkan motivasi dan kemungkinan besar karena melemahnya masukan dari interaksi,kegagalan meraih kecakapan.Namun guru harus awas bahwa setiap orang memiliki sikap positif dan sikap negative.



4. Pemerolehan Budaya Kedua
Mengingat pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan derajat tertentu pembelajaran budaya kedua, penting memahami apa yang kita maksudkan dengan proses pembelajaran budaya. Robinson-Stuart dan Nocon [1996] mempertahankan beberapa perspektif tentang pembelajaran budaya yang sudah kita lihat beberapa dasawarsa terakhir. Mereka mengomentari gagasan yang menyebutkan bahwa pembelajaran budaya adalah perjalanan dangan karpet ajaib menuju budaya lain,yang teraih sebagai produk samping otomatis dari pelatihan bahasa adalah konsepsi yang keliru. Pembelajaran budaya adalah sebuah proses penciptaan makna bersama diantara perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran yang berlangsung selama bertahun-tahun dalam pembelajaran bahasa. Dalam pembahasan ego bahasa,melibatkan pemerolehan sebuah identitas kedua. Penciptaan identitas baru ini berada dijantung pembelajaran budaya atau yang disebut akulturasi.
Kadang gangguan tersebut sedemikian berat,sehingga seseorang mungkin mengalami gegar budaya.Gegar budaya merujuk kepada fenomena yang berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic dan krisis psikologis yang dalam. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan ,marah, bermusuhan, bimbang,
frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah,dan bahkan sakit fisik.Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat baru dengan perasaan sengit dan berubah-ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka.



5. Jarak Sosial
Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua.Jarak sosial merujuk kepada pendekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu didalam diri seseorang.Jarak jelas dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan ketidakmiripan antara kedua budaya.John Schumann (1976 h136) menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut: (1)Dominasi, (2)Integrasi, (3) Kekohesifan, dan
(4)Keserasian, (5) Kepermanenan
Hipotesis Schumann adalah bahwa makin besar jarak sosial antara dua budaya,makin besar kesulitan yang akan ditemui pembelajar saat belajar bahasa kedua.dan sebaliknya,makin kecil jarak sosial makin baik situasi pembelajaran bahasanya.

6. Mengajarkan kompetensi antar budaya
Sekalipun kebanyakan pembelajarbetul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal diwilayah lintas budaya,sejumlah orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari bahasa eketerasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua,terasing dari orang-orang dibudaya kampung halaman mereka,budaya sasaran,dan dari diri mereka sendiri.Saat mengajarkan sebuah bahasa asing kita perlu pekah pada kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Sejumlah cara untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma semacam itu digambarkan dalam sebuah artikel provokatif karya Geert Hofstede(1986) yang menggunakan empat kategori konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh negara berbeda. Berikut penjabaran kategori masing-masing: (1) Individualisme adalah karakter sebuah budaya lawan dari kolektivisme; (2) Jarak kekuasaan adalah sebuah budaya sejauh mana orang-orang yang kurang berdaya dalam masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan menganggapnya normal; (3) Penghindaran ketidakpastian adalah karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sejauh mana orang-orang dalam budaya itu dibuat gugup oleh situasi yang tak bisa diduga; (4) Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari feminitas

7. Kebijakan dan politik bahasa
Pada saat kita memasuki paradikma baru dimana konsep penutur asli dan bukan asli menjadi kurang relevan,barangkali lebih tepat untuk berfikir mengenai tingkat kacakapan pengguna bahasa.Berbicara adalah satu dari keempat ketrampilan dan mungkin tak layak sekali untuk dijunjung menjadi criteria tunggal kecakapan. Maka bersama Kacru(2005), McKay(2002),dan yang lainnya, profesi ini terjalankan dengan mempertimbangkan kecakapan komunikatif seseorang yang mencakup empat ketrampilan. Para guru dengan bahasa apapun,terlepas dari keragaman bahasa Inggris mereka sendiri, kemudian bisa dinilai dengan adil dan pada gilirannya, yang terpenting adalah ilmu mengajar dan pengalaman mereka.

a. ESL dan EFL
Seperti halnya diperlihatkannya dalam pembahasannya diatas,kita melihat adanya pembauran yang semula masih kita sebut sebagai bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL) dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing(EFL).Mempelajari bahasa Inggris di dalam sebuah budaya di mana bahasa Inggris dituturkan secara asli.


b. Imperialisme Linguistik dan Hak Bahasa
Salah satu permasalahan paling controversial untuk ditangani dalam penyebaran global EIL adalah sampai sejauh mana berkembang-biaknya bahasa Inggris sebagai medium pendidikan,perdagangan,dan pemerintahan telah menghalangi literasi penggunaan bahasa-bahasa ibu,telah mancegah kemajuan sosial dan ekonomi merela yang tak mempelajarinya,dan secara umum tak relevan dengan kebutuhan orang awam dalam kehidupan mereka sehari-hari atau di masa mendatang (Ricento,199)

c. Kebijakan bahasa dan debat ’Hanya bahasa Inggris’
Kita bisa mambayangkan bakal serunya perbedaan pendapat yang terjadi untuk membenarkan sebuah kebijakan bahasa tertentu untuk pendidikan. Pertikaian hebat system nilai hadir untuk mendapatkan keputusan puncak: kebinekaan linguistic, kemajemukan budaya,etnisitas,ras,kekuasaan,status,politik,ekonomi,dan daftarnya terus berlanjut.Dalam analisis final,”sejarah mengindifikasikan bahwa membatasi hak bahasa bisa memecah belah dan bisa menggiring kekecondongan segregasionis di dalam sebuah masyarakat.Pada saat yang sama,peraturan semacam itu jarang menghasilkan sebuah masyarakat padu yang hanya bicara dalam bahasa-bahasa yang dimandatkan.”(Thomas,1996,h 129)

8. Bahasa, pemikiran, dan budaya
Tak ada diskusi tentang variabel-variabel budaya dalam pemerolehan bahasa kedua yang lengkap tanpa pembahasan hubungan antara bahasa dan pemikiran.Kita menyaksikan dalam kasus pemerolehan bahasa pertama bahwa perkembangan kognitif dan perkembangan linguistic berjalan seiring,keduanya saling berinteraksi dan saling membentuk.Lazim teramati bahwa cara menyatakan sebuah ide atau fakta mempengarui cara kita merumuskan ide tersebut.Di sisi lain,banyak dari ide,permasalahan,penciptaan,dan penemuan kita melahirkan kebutuhan untuk kata-kata baru.Bisakah kita memisah-misahkan interaksi ini?

a. Membingkai Semesta Konseptual Kita
Kata-kata membentuk hidup kita.Dunia iklan adalah contoh telak penggunaan bahasa untuk membentuk,membujuk,dan mencegah.”kata-kata licin”contong mengagung-agungkan produk-produk yang sangat biasa kedalam golongan “tak tendingi”.”puncak”,”berkekuatan super”, dan “pilihan tepat”.Untuk kasus makanan yang sudah dilucuti sebagian besar kadar gizinya oleh proses manufacturing.Kita diberi tahu bahwa produk-produk ini kini “diperkaya”dan “dilindungi”.Seorang warga asing di Amerika Serikat pernah berkomentar bahwa di Amerika Serikat tak ada telur yang “kecil”yang ada hanyalah “medium”,”besar”,”ekstra besar”,dan “jumbo”.Eufemisme ini melimpah ruah dibudaya Amerika di mana beberapa pemikirantertentu ditabukan dan kata-kata tertentu berkonotasi sesuatu yang kurang diinginkan.
Pada tatanan wacana bahasa,kita akrab dengan daya bujuk sebuah pidato emosional atau novel yang ditulis dengan baik.Seberapa sering seorang orator yang berbakat menggiring opini dan pemikiran?atau sebuah editorial kuat menggerakkan seseorang bertindak atau berubah?Ini adalah contoh-contoh lazim pengaruh bahasa terhadap keadaan keadaan kognitif dan afektif kita.

b. Hipotesis Whorfian
Sebuah pertanyaan menggoda muncul dari pengamatan semacam itu.Apakah bahasa mencerminkan pandangan dunia tentang suatu budaya,atau apakah bahasa benar-benar membentuk pandangan dunia?Berangkat dari ide-ide Wilhelm van Humboldt(1767-1835),yang menyatakan bahwa bahasa membentuk weltanshauung,atau pandangan dunia seseorang,Edward Sapir dari Benjamin Whorf mengajukan sebuah hipotesis yang kini sudah diberi beberapa label alternatif:hipotesis Sapir-Whorf,hipotesis Whorfian,relativitas linguistic,atau Determinisme Linguistik,atau demi simpelnya,apa yang sekarang disebut sebagai Hipotesis Whorfian.
Kesimpulan paling valid untuk semua studi semacam itu adalah bahwa mungkin kiranya bicara tentang apapun dalam bahasa apapun selama si penutur bersedia menggunakan penyampaian tak langsung dalam derajat tertentu….Setiap bahasa alamiah menyediakan sebuah bahasa untuk bicara tentang bahasa lain,yaitu metabahasa,maupun sebuah perkakas yang sepenuhnya memadai untuk melakukan pengamatan jenis apa saja yang perlu dibuat tentang dunia.Jika demikian kasusnya,setiap bahasa alamiah pastilah sebuah system yang sangat kaya yang siap membuat para penuturnya mengatasi kecenderungan yang ada.Maka sekalipun beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kerangka piker kognitif potensial(misalnya,dalam bahasa Inggris,passive voice,system tense,”kata-kata licin”, dan item-item leksikal)kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya,sejumlah property universal mengikat kita bersama di satu dunia.Belajar berfikir dalam bahasa lain mungkin mensyaratkan penguasaan bahasa itu secara memadai,tetapi pada umumnya pembelajar bahasa kedua tak perlu belajar berfikir dari awal lagi.Seperti dalam setiap pengalaman pembelajaran yang lain,pembelajaran bahasa kedua bisa memanfaatkan kegunaan positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memudahkan proses pembelajaran dengan mempertahankanapa yang valid dan berharga untuk pembelajaran budaya kedua dan pembelajaran bahasa kedua.

9. Budaya di kelas bahasa
Dalam bagian sebelumnya sejumlah aplikasi isu budaya telah berhasil masuk kekelas bahasa.Salah satu sumber bantuan terbaik untuk mengarahkan anda lebih maju dalam menginjeksikan budaya kedalam kelas anda tersedia dalam Crossing Cultures in the Language Classroom karya DeCapua dan Wiltergerst (2004).Dalam panduan praktis untuk para guru ini,kedua penulis menyediakan pelatihan langsung dalam merancang pelajaran dan aktivitas dalam pengertian pendefinisian budaya,kolektivisme dan individualisme,gegar budaya,atribut budaya komunikasi nonverbal,peran sosial,dan komunikasi prakmatis.

C. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas antara factor-faktor sosial dan budaya sangat mempengaruhi pemerolehan mapun pembelajaran bahasa. Jarak sosial seperti dominasi, integrasi, kekohesifan, keserasian, kepermanenan mempengaruhi terhadap situasi pembelajaran bahasa yang baik dan buruk. Adapun budaya kita untuk membuat streretipe maupun generalisai terhadap orang-orang pada bangsa-bangsa tertentu bias menjadi faktor penghambat ataupun pendorong dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian, baik pembelajar maupun guru bahasa kedua perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, untuk mengakui secara terbuka bahwa tidak ada orang yang sama. Sebagai guru kita harus berjuang memahami identitas-identitas pembelajar kita dalam hal latar belakang soial budaya mereka.

Buku Sumber
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Pearson Education, Inc. (Terjemahan Noor Cholis dan Yusi Avianto).
FAKTOR SOSIAL BUDAYA DALAM PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA

( Tugas Mata Kuliah Landasan Pembelajaran Bahasa
Dosen Pengampu Dr. Irene Risakotta, M. Pd)





Oleh

Faiqotur Rosidah (09745005)
Sulistiyani (09745004)






PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Desember, 2009

Rabu, 09 Desember 2009

TUgas Linguistik Prof. Kisyani Laksono

ANALISIS KALIMAT DALAM TATA BAHASA
TRANSFORMASI GENERATIF

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tata bahasa Transformasi Generatif atau biasa disebut Tata bahasa Generatif Trasformasi (TGT) adalah sebuah konsep kajian kebahasaan yang dipelopori oleh Noam Chomsky. Pada tahun 1957, Chomsky mengenalkan gagasan barunya melalui sebuah buku yang berjudul Syntactic Structure. Gagasan barunya yang tertuang dalam buku itulah yang kemudian oleh para linguist disebut degnan Tata bahasa Generatif Transformasi.
Dalam buku tersebut, Chomsky menjelaskan bahwa dia melakukan penolakan terhadap asumsi utama strukturalisme yang beranggapan bahwa kelayakan kajian kebahasaan ditentukan oleh diskripsi data kebahasaan secara induktif.
Data kebahasaan secara induktif di sini diartikan sebagai data-data kebahasaan yang sudah paten dan dianggap selesai. Menurut Chomsky (dalam Samsuri, 1988:99) kajian linguistik berkaitan dengan aktivitas mental yang berkaitan dengan probabilitas, bukan berhadapan dengan data kajian tertutup dan selesai, sehingga dapat dianalisis dan didiskripsikan secara pasti. Oleh karena itu, teori linguistik seharusnya dikembangkan dengan bertolak dari cara kerja secara deduktif yang dibangun oleh konstruk hipotetik tertentu.
Chomsky berkesimpulan bahwa tugas teori linguitik adalah menangkap perangkat kaidah yang terbatas, yang secara tuntas mampu menjelaskan ciri gramatikal dari sejumlah kalimat yang tak terbatas.Jadi dengan adanya TGT ini, kita bisa mengetahui seperangkat kaidah kalimat secara jelas. TGT dalam perjalanannya mengalami penyempurnaan-penyempurnaan dan penambahan ataupun koreksi dari Chomsy sendiri maupun dari murid-muridnya.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Apa prinsip-prinsip dasar Tata bahasa Transformasi Generatif menurut Chomsky?
b. Siapakah tokoh Transformasi Generatif di Indonesia?
c. Bagaimana terapan secara umum Tata bahasa Transformasi generatif?
d. Bagaimana analisis kalimat menurut Tata bahasa Transformasi Genaratif?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini bertujuan menguraikan hal-hal berikut.
a. Prinsip-prinsip dasar Tata bahasa Transformasi Generatif menurut Chomsky.
b. Tokoh Transformasi Generatif di Indonesia.
c. Terapan secara umum Tata bahasa Transformasi generatif.
d. Analisis kalimat menurut Tata bahasa Transformasi Genaratif?

1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat kajian makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran secara spesifik mengenai tata bahasa transformasi generatif. Selain itu kajian ini juga bermanfaat untuk terapan dan kajian analisis kalimat dalam TGT.

II. Kajian Pustaka

2.1 Kajian Makalah/Artikel
Tulisan-tulisan mengenai Tata bahasa Transformasi Generatif banyak ditulis oleh mahasiswa maupun dosen. Salah satunya adalah tulisan Djoko Saryono, dosen FPBS UM, mengenai Gagasan Dasar Noam Chomsky tentang Tata bahasa Transformasi Generatif.
Menurutnya tata bahasa ini bertumpu pada paradigma Cartesian sehingga sangat natives-rasionalistis. Hal ini makin tampak jelas pada gagasan-gagasan dasarnya tentang kemampuan, kinerja, struktur lahir, struktur batin, dan transformasi. Gagasan-gagasan dasar ini di samping cetusan Chomsky sendiri juga diilhami oleh gagasan-gagasan yang sudah ada sebelumnya dan usulan-usulan pakar bahasa lainnya. Dalam sejarahnya hingga sekarang, gagasan-gagasan dasar TTG ini mengalami pergeseran-pergeseran eksistensial dan procedural karena temuan-temuan penelitian dan kritik-kritik yang dialamatkan pada TTG. Pergeseran ini tampak pada adanya berbagai versi TTG, yaitu versi Syntactic Structures, Aspect sampai dengan versi Penguasaan dan Ikatan. Hal ini menunjukan bahwa gagasan dasar TTG tidak revolusioner, tetapi evolusioner (Jurnal FPBS UM ).
Tulisan lain mengenai tata bahasa transformasi generatif ditulis oleh I Nyoman Suparsa dengan judul fonologi bahasa Rongga bahasa di daerah flores:sebuah kajian transformasi generatif. Beliau menganalisis ujud (realisasi fonologis) dari morfem-morfem bahasa Rongga,syarat-syarat struktur bahasa rongga dan proses serta kaidah fonologis bahasa Rongga. Penelitiannya mengunakan pendekatan fonolohi generatif,fonologi auto segmental dan fonetik.Hasil penelitiannya menunjukkan bahasa rongga memiliki enam segmen vokal dan duapuluh lima segmen konsonan.
Makalah ini berbeda dengan kedua penelitian diatas meskipun memiliki kesamaan didalam teori kajian yaitu kajian transformasi generatif. Makalah ini menganalisis kalimat dalam bahasa Indonesia menggunakan kajian transformasi generatif.

2.2 Kajian Teori
A.Linguistik generatif
Tata bahasa transformasi genaratif atau TGT merupakan teori linguistik yang menyatakan bahwa tujuan linguistic ialah menemukan apa yang semesta dan teratur dalam kemampuan manusia untuk memahami dan menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal. Kalimat dianggap sebagai satuan dasar, dan hubungan antara unsur-unsur dalam struktur kalimat diuraikan atas abstraksi yang disebut kaidah struktur frase dan kaidah transformasi (Kridalaksana, 1993,69).
Linguistik generatif atau lebih dikenal linguistik transformasional dipelopori oleh Noam Chomsky.Chomsky berusaha memperlihatkan bahwa bahasa manusia tidak bisa diteliti semata-mata dalam lingkup stimulus dan respons yang tampak atau hanya berdasarkan volume data mentahyang dikumpulkan oleh peneliti lapangan. Linguis generatif tertarik tak hanya pada urusan mendeskripsikan bahasa (mencapai tingkat kecukupan deskriptif) tetapi juga berupaya ,mencapai tingkat kecukupan eksplanatoris dalam studi bahasa; inilah “basis utama,yang bersifat independent pada bahasa apa pun,untuk memilih tata bahasa yang memadai tata bahasa yang memadai secara deskiptif. (Chomsky dalam Brown,1997:11)
Buku Noam Choamsky berjudul syntactic structure terbit tahun 1957 kemudian disempurnakan dengan bukunya yang berjudul Aspect of the theory of syntax pada tahun 1965.Menurut Choamsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari tata bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Kalau begitu,tugas tata bahasa haruslah dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa menurut Chomsky merupakan teori dari bahasa itu sendiri.ada pun tata bahasa haruslah memenuhi syarat sebagai berikut.
Pertama kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa tersebut harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat –buat. Kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa sehingga satuan istilah yang digunakan tidak berdasarkan gejala bahasa tertentu saja,dan semuanya ini harus sejajar dengan linguistik tertentu (chaer,2003:364)
Dalam buku Aspect of the theory of syntax Chomsky menjelaskan perubahan dalam trasformasi generatif yaitu sebagai berikut.
1. Komponen semantis suatu deskriptif linguistik berbentuk seperangkat kaidah interpretatif yang beroperasi pada sintaksis kalimat-kalimat kaidah ini agak mirip dengan kaidah fonologis.
2. Ada pembedaan antara struktur lahir dan batin.struktur lahir jauh lebih menyerupai struktur yang oleh para srukturralis langsung diabstrakkan dari bentuk kalimat. Struktur batin merupakan abstraksi yang berbeda tetapi dengan diakuinya struktur tersebut maka tersedia sistem yang lebih kaya untuk menganalisis dan menjelaskan hubungan timbale balik antara sintaksis dan semantic dalam kalimat-kalimat bahasa yang alami.
3. Disribusi dari elemen-elemen sintaksis diubah secara bertahap yang memperkaya struktur frase atau struktur batin dengan mengorbankan kaidah trasformasi. Selanjutnya,trasformasi dikendalikan oleh struktur batin,dan kemudian dikemukakan bahwa trasformasi itu sendiri tidak mempunyai pengaruh terhadap makna kalimat. Kategori seperti negasi,pasif,pertanyaan,dan perintah seta hubungan subordinat dan koornidat secara formal diperkenalkan sebagai bagian dari kaidah trasformasi. Kaidah-kaidah ini kemudian dimasukkan kedalam komponen dasar yang mengatur struktur batin dan leksikon bersama-sama dengan subkategorisasi nomina dan verba menjadi subkelas seperti nomina takterbilang dan nomina terbilang,verba transitif dan verba intransifif.
B. Perkembangan trasformasi generatif
Sejak tahun 1957 Chomsky telah memprakarsai dan membuat suatu suatu revolusi dalam linguistik teoritik berkenan dengan cara meneliti bahasa dan berkenaan dengan tujuan yang harus dicapai dengan linguistik itu sendiri.dalam periode itu Chomsky tidak sendirian.Inovasi teoritis lain telah diajukan. Beberapa diantaranya langsung berakar dari cara Chomsky merumuskan teorinya,dan yang lainnya merupakan hasil usaha yang mengembangkan cara-cara yang berbeda untuk memahami dan menganalisis bahasa. Perkembangan yang paling penting dalam teori linguistic dan dalam praktik linguistic terkait tidak bias dikatakan ada kesamaan yang positif dari teori-teori ini,karena kesemuanya mempunyai konsep-konsep dasar dan kerangka analisis yang sangat berbeda . Namun secara negatif ,semua teori itu sepaham bahwa linguistik stukturalis kurang mendalam dan,memberikan sumbangan pada bidang linguistik dan pada pemahaman kita pada bidang bahasa melalui pembatasan terhadap apa yang dapat diterima sebagai data linguistis dengan prosedur yang secara ilmiah dapat ditempuh,linguistic strukturalis sengaja mengabaikan banyak hal yang telah dan harus menjadi minat linguis yang dengan serius mengkaji bahasa.
Menjelang dasawarsa tujuhpuluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky,antara lain Postal,Lakof,Mc Cawly, dan Kiparsky sebagai reaksi terhadap Chomsky memisahkan diri dari kelompok Chomsky,dan membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakof ini terkenal dengan sebutan kaum semantik generatif. Mereka memisahkan diri karena ketidakpuasa terhadap teori Chomsky,yang menyatakan bahwa semantik mempunyai ekssistensi yang lain dari sintaksis dan bahwa struktur batin tidak sama dengan struktur semantis. Menurut teori generatif semantik struktrur semantik dan struktur sintaksis bersifat homogen,dan untuk menghubungkan kedua struktur itu cukup hanya dengan kaidah transformasi saja. Tidak perlu dengan batuan kaidah lain yakni kaidah sintaksis dasar,kaidah proyeksi, dan kaidah fonologi,seperti yang diajarkan Chomsky. Sudah seharusnya semantic dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantic itu serupa dengan struktur logika berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argumen dalam suatu proposisi.

2.3 Kerangka Pikir
Makalah ini menggunakan kerangka piker sebagai berikut





Prinsip dasar
Tokoh Indnsia
Terapan umun

Analisis Kalimat




III. Metode Kajian
Makalah ini mengunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengunakan kajian tata bahasa trasformasi generatif. Mula-mula kalimat ditranskripsikan kemudian dianalisis berdasarkan teori tata bahasa transformasi generatif terutama analisis komponen dasar,komponen transformasional,dan semantik generatif.






IV. Pembahasan
4.1 Prinsip-prinsip Dasar Tatabahasa Transformasi Gegeratif.
TGT bertolak dari hakekat pengetahuan linguistik yang dimiliki oleh penutur asli bahasa. TGT menetapkan pengetahuan linguistik dengan bantuan aturan-aturan "generatif" dan "transformasional" yang sekaligus merupakan petunjuk untuk menyusun dan menginterpretasi kalimat-kalimat-yang terbentuk secara gramatikal dan balk. Tata bahasa menetapkan suatu tuturan gramatikal jika dapat terbangun hubungan yang tepat antara tuturan tersebut dan beberapa kombinasi simbol-simbol yang dihasilkan oleh aturan'tata bahasa. Dalam membangun aturan-aturan, penganut TGT berpegang pada 'cara deduksi dan intuisi penutur asli (Kaseng, 1989:114).
Pada tahap awal, gramatika dalam aliran ini, dijelaskan dengan kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah mendahului elemen dan struktur, karena kaidah mendahului elemen dan struktur. Kaidah pertama dimulai dengan membagi atau menjabarkan K(alimat) menjadi F(rase) V(erbal). Setiap elemen berikutnya bias dijabarkan dengan kaidah-kaidah lain. K merupakan satu-satunya elemen yang tampil sebagai masukan bagi suatu kaidah tanpa pernah menjadi keluaran bagi kaidah sebelumnya.
Perangkat kaidah yang pertama adalah kaidah S(truktur)F(rase). Dalam struktur frase, satuan sintaksis terbesar , yaitu K(alimat),melalui penerapan kaidah-kaidah, diperluas menjadi untaian (struktur) satuan-satuan yang lebih kecil, dan berakhir dengan suatu kombinasi antara unsure leksikal dan elemen gramatikal. Teori ini menyerupai analisis konstituen terdekat.
Definisi tata bahasa menurut TG dapat dijelaskan bahwa tata bahasa merupakan sebuah sistem kaidah yang menurunkan (menghasilkan) kalimat-kalimat gramatikal suatu bahasa, dan ide yang menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif (a creative oreativity), mengantarkan kepada asumsi kedua. Asumsi kedua ini menyatakan bahwa selama bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif, dalam tahap belajar manapun guru akan mengarahkan siswanya untuk kreatif menghasilkan ujaran-ujaran (kalimat) baru, daripada sekedar mengulang-ulang atau mengingat-ingat apa yang telah diperolehnya dalam belajar. Meskipun Chomsky mengidentifikasikan kaidah-kaidah TG dengan kompetensi penutur asli, kita tidak harus menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ini secara sadar digunakan oleh penutur asli dalam menghasilkan ujaran (kalimat). Demikian juga, suatu kaidah tatabahasa tidak berimplikasi dalam pengajaran kaidah-kaidah bahasa. Akan tetapi sesungguhnya kaidah-kaidah itu adalah suatu deskripsi dari idealisasi pengetahuan penutur asli yang tersimpan dalam kesadaran dan kemudian dapat menolongnya menciptakan (menghasilkan) ujaran baru secara kreatif.
Informasi di atas menghantarkan kepada asumsi ketiga, yang menyatakan bahwa dalam berbagai tahap belajar bahasa kemampuan siswa untuk menciptakan ujaran-ujaran baru akan bertambah dengan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan ujaran.
Seperti halnya konsep langue dan parole dari de Saussure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa/ performa (performance) . Kompetensi merujuk pada pengetahuan dasar seseorang tentang sistem, kejadian, atau fakta atau dapat dikatakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan mendasar mengenai system bahasa--kaidah-kaidah tata bahasanya, kosakatanya, seluruh pernak-pernik bahasa dan bagaimana menggunakannya secara padu (Brown, 2007:39). Adapun performa adalah manifestasi yang konkret dan bias diamati sebagai realisasi dari kompetensi. Performa merupakan produksi actual (berbicara, menulis) atau pemahaman (menyimak, membaca) terhadap peristiwa-peristiwa linguistik. Chomsky mencontohkan kompetensi dengan pembicara-pendengar “ideal” yang tidak memperlihatkan hambatan variabel-variabel performa seperti keterbatasan memori, kekacauan, pergeseran, perhatian dan minat, kesalahan, dan fenomena keraguan seperti pengulangan, ketersendatan, jeda, penghilangan, dan penambahan. Inti gahasan Chomsky mengenai hal ini adalah bahwa sebuah teori bahasa merupakan teori kompetensi tidak per;lu memilah-milah sedemikian banyak variable performa yang tidak mencerminkan kemampuan linguistik dasar pembicara-pendengar.
Dengan demokian dapat dikatakan bahwa dalam tata bahasa generatif ini yang menjadi objeknya adalah kemampuan atau kompetensi, meskipun performa juga penting; dan bagi seorang peneliti bahasa focus penelitiannya adalah system kaidah yang dipakai si pembicara untuk membuat kalimat yang diucapkannya. Jadi, tata bahasa harus mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
TGT juga membuat pembedaan antara tataran struktur batin dan struktur lahir. Struktur lahir jauh lebih menyerupai struktur yang oleh para strukturalis langsung diabstraksikan dari bentuk kalimat. Struktur batin merupakan abstraksi yang lebih berbeda. Dengan diakuinya struktur batin ini akan tersedia sistem yang jauh lebih kaya untuk menganalisis dan menjelaskan hubungan timbal balik antara sintaksis dan semantic dalam kalimat-kalimat bahasa alami.
Dengan kata lain dapat dijelaskan sebagai berikut. Ada dua tataran atau stuktur dalam TGT yakni tataran batin atau lapis batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure). Lapis batin merupakan tempat terjadinya proses berbahasa yang sebenarnya secara mentalistik sedangkan lapis permukaan adalah wujud lahiriah yang ditransformasi dari lapis batin. Hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai berikut.

Model Transformasional Perangkat Bahasa

Sintaksis
Kaidah SF
Kaidah Transformasi
Dasar

Stuktur batin Struktur lahir

Komponen semantic Komponen fonologis

Penafsiran semantic Penafsiran fonetis

Struktur dalam terdiri atas komponen dasar (base component) yang selanjutnya terbagi pula atas struktur frase dan aturan penyisipan leksikal (lexical insertion atau sub-categoriza¬tion). Ditambah lagi, komponen dasar ini memiliki leksikon dan kom¬ponen semantik yang menentukan arti bagi aturan-aturan struktur frase clan penyisipan leksikal. Struktur permukaan_terdiri atas kom¬ponen fonologik yang menentukan untaian pengucapan. Kedua tingkat ini dihubungkan oleh kaidah tranformasi. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada analisis kalimat.

4.2 Tokoh transformasi generatif di Indonesia
Konsep-konsep linguistik modern seperti yang dikembangkan oleh Chomsky yakni teori transformasi generatif gemanya di Indonesia pada akhir tahun Lima puluhan. Pendidikan formal linguistic fakultas sastra dan pendidikan guru sampai akhir tahun 50an masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa tradisional yang sangat bersifat normatif. Perkenalan konsep-konsep linguistic modern terjadi sejak kepulangan sejumlah linguis Indonesia dari Amerika yaitu Anton M. Moelyono dan T.W. Kamil. Gorys keraf, Harrimukti Kridalaksana Merekalah yang pertama-tama memperkanalkan konsep-konsep fonem,morfem dan klausa. Sebelumnya konsep-konep tersebut belum dikenal sebagai satuan lingual. Yang dikenal hanyalah satuan lingual.
Konsep linguistik modern sukar diterima oleh para guru bahasa dan pakar bahasa karena konsep tata bahasa tradisional sudah mendarah daging. Perkembangan waktu jualah yang kemudian menyebabkan konsep linguistic dapat diterima dan konsep linguistic tradisional agak tersisih. Awal tahun 70an dengan terbitnya buku tata bahasa Indonesia karangan Gorys Keraf, perubahan sikap terhadap linguistic modern mulai banyak terjadi.
Datangnya Prof. Verhaar, guru besar linguistic dari Belanda, yang kemudian disusul dengan adanya kerja sama kebahasan Indonesia-Belanda, menjadikan studi linguistic terhadap bahasa-bahasa daerah dan bahasa nasional Indonesia semakin marak. Sejalan dengan hal tersebut pada tanggal 15 november tahun 1975 atas prakarsa linguis senior maka berdirilah organisasi Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). MLI mengadakan musyawarah nasional 3 tahun sekali.mulai tahun 1983 menerbitkan jurnal yang diberi nama Linguistik Indonesia. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wadah bagi para anggota MLI untuk melaporkan atau mempublikasikan hasil penelitianya.




4.3 Terapan Umum Tata Bahasa Trasformasi Generatif
Dalam teori TG, seorang anak memperoleh kompetensinya dalam tahap awal dalam bahasa ibunya. Dalam setiap tahapan anak membentuk hipotesis tertentu tentang kode dan mengetesnya dengan ujaran yang didengarnya, sampai pada akhirnya anak mempelajari keseluruhan kode. Menurut pandangan ini ujaran anak yang menyimpang dari ujaran dewasa bukanlah suatu kesalahan (errors) melainkan suatu manifestasi dari sejenis kode yang telah dia kontrol dalam tahap yang bersangkutan. Apabila kita mengasumsikan bahwa belajar bahasa kedua sama dengan belajar bahasa pertama, kita dapat mengajukan asumsi yang lain untuk pengajaran bahasa yang berhubungan dengan ide kalimat inti (kernels) dan transformasi. Kita mengetahui bahwa ”Kernels” adalah struktur yang lebih kompleks.
Kernels atau kalimat inti adalah kalimat deklaratif yang tidak bermakna ganda dan terdapat dalam struktur dalam (deep structure); sedangkan kalimat transformasi adalah semua tipe kalimat yang diturunkan dari kalimat inti dengan bantuan /hasil kerja kaidah transformasi. Contoh kalimat ‘The boys watced the game’ dapat ditransformasikan menjadi kalimat pasif ‘The game was watched by the boys’. Adapun analisis struktur frase (perumusan awal TGT) adalah sebagai berikut.
• Analisis Kernels atau Komponen Dasar

K
FN FV
Art Nj
V FN
V pang lamp art N
The boy s wacth ed the game
Keterangan :
K : Kalimat; FN : Frase Nomina ; FV : Frase Verba ; Art : Artikel; Nj : Nomina jamak; Vpang : Verba pangkal; Lamp : lampau (Penanda lampau)



• Analisis Komponen Transformasional
K
FN FV
V FP

P FN
The game was watched by the boys


Salah satu versi terakhir dari gramatika generatif Chomsky dikenal sebagai teori penguasaan (government) dan pengikatan (binding). Istilah penguasaan merupakan perluasan dari pemakaian tradisional kata tersebut dalam gramatika. Kata-kata yang menguasai menentukan kasus bagi nomina, frase nomina, pronominal, yang mempunyai hubungan sistaksis khusus dengan kata-kata tersebut. Sedangkan pengikatan atau binding menyangkut hubungan antara anaphora dan pronominal dengan antesedennya. Anafora mengacu pada hal atau fungsi yang menunjuk kembali kepada sesuatu yang telah disebutka sebelumnya dalam kalimat atau wacana ( yang disebut anteseden) (Kridalaksana,1993: 14).

4.4 Analisis Kalimat dalam TGT
Bagian ini menguraikan analisis kalimat menggunakan kaidah komponen dasar, kaidah transformasional dan semantic genaratif.
A. Komponen dasar
Kaidah komponen dasar menurunkan kalimat-kalimat inti. Terdapat dua tipe kaidah dalam hal ini, yakni kaidah struktur frase dan kaidah penyisipan leksikal (Kaseng, 1989: 120). Kaidah struktur frase (SF) memiliki tipe seperti analisis bawahan langsung dalam tata bahasa struktural. Contoh kalimat “Ibu membaca buku” dapat dianalisis sebagai berikut.

K

FN FV
N 1
V FN (N2) Ibu membaca buku

B. Komponen transformasional
Kaidah transformasional bekerja dalam kalimat inti yang diturunkan dari komponen dasar. Dalam versi standar TGT, kaidah transformasional mempertahankan arti. Artinya, kaidah pengubahan kalimat inti ke struktur permukaan tanpa mengubah arti.
Terdapat tiga jenis proses transformasional yaitu penambahan, penghilangan, dan transposisi (addition, deletion, transposition). Contoh pengubahan adalah mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Kalimat “ Ibu membaca buku.” bisa diubah menjadi “Buku dibaca (oleh) ibu.” Analisisnya sama dengan komponen dasar yang dibalik.
K

FN FV
N 2
V FN (N1) Buku dibaca (oleh) ibu

Kalimat “ Buku dibaca oleh ibu” ataupun “Buku dibaca ibu” dikenal oleh penutur asli sebagai dua kalimat yang sama. Dalam kaidah transformasi dapat dikatakan kalimat kedua melepas (menghilangkan) kata oleh .

C. Semantik generatif
Semantik generatif seperti yang diurakan dalam subbab 2 makalaha ini, merupakan pengembangan dari murid-murid dan pengikut Chomsky. Kelompok Lakoff dikenal dengan sebutan kaum semantik generatif . Struktur semantic itu serupa dengan struktur logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argument dalam proposisi. Struktur logika itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Proposisi

Predikat Argumen1… Argumen n
Contoh kalimat “Ibu membaca buku” mempunyai struktur

Prop


Pred Arg1 Arg2

membaca Ibu buku

Atau dapat dirumuskan sebagai : Membaca (ibu, buku); Pred (Arg1,Arg2). Jadi proposisi kalimat itu berargumen 2.

V. Penutup
5.1 Simpulan
Aliran transformasi muncul menentang aliran strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa merupakan kebiasaan. TGT mempunyai pandangan bahwa bahasa bersifat mentalistik dan kognitif.
Adapun ciri-ciri aliran transformasi adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan faham mentalistik.
Aliran ini meganngap bahasa bukan hanya proses rangsang-tanggap akan tetapi merupakan proses kejiwaan. Aliran ini sagat erat dengan psikolinguistik.
2. Bahasa merupakan innate
Bahasa merupakan faktor innate(keturunan/warisan)
3. Bahasa terdiri dari lapis dalam dan lapis permukaan.
Teori ini memisah bahasa menjadi dua lapis yaitu deep structure dan surface structure. Lapis batin merupakan tempat terjadinya proses berbahasa yang sebenarnya secara mentalistik sedangkan lapis permukaan adalah wujud lahiriah yang ditransformasi dari lapis batin.
4. Bahasa terdiri dari unsur competent dan performance
Linguistic competent atau kemampuan linguistik merupakan pengetahuan seseorang tentang bahasanya termasuk kaidah-kaidah di dalamnya. Linguistic performance atau performansi linguistik adalah keterampilan seseorang menggunakan bahasa.
5. Analisis bahasa bertolak dari kalimat.
6. Membedakan kalimat inti dan kalimat transformasi.
Kalimat inti merupakan kaliamt yang belum dikenai transformasi sedangkan kalimat transformasi merupakan kalimat yang sudah dikenai kaidah transformasi yang ciri-cirinya yaitu lengkap, simpel, statemen, dan aktif. Lam pertumbuhan selanjutnya ciri itu ditambah runtut dan positif.
7. Analisis diwujudkan dalam diagram pohon dan rumus.
Analisis dalam teori ini dimulai dari struktur kalimat lalu turun ke frase menjadi frase benda (FN) dan frase kerja (FV) kemudian dari frase turun ke kata.
8. Gramatikal bersifat generatif.
Bertolak dari teori yang dinamakan tata bahasa generatif tansformasi (TGT).

4.2. Saran
Setiap aliran linguistik tentunya memiliki keunggulan-keunggulan sekaligus kelemahan-kelemahan. Demikian halnya aliran transformasi, tentu memiliki kelebihan dan kelemahan. Untuk itu, sebagai guru bahasa sebaiknya kita memanfaatkan berbagai teori yang tentunya disesuaikan dengan keadaan siswa. Dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan masing-masing teori, guru dapat merancang pembelajarannya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sejalan dengan hal tersebut J.B. Carol (1971), mengajukan sintesa kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan kebiasaan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini belajar bahasa adalah rangkaian antara latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. Tahap berikutnya siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan kalimat baru saja, tidak cukup. Tahap berikutnya menurut Carol, siswa harus diterjunkan dalam situasi komunikasi riil seperti yang terjadi pada penutur asli.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta:Pearson Ed.
Chaer. Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kaseng, Sjahruddin. 1989. Linguistik Terapan : Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
Samsuri,...
Saryono, Djoko. ... Gagasan Dasar Noam Chomsky tentang TTG. Malang : Jurnal FBS.


ANALISIS KALIMAT DALAM TATA BAHASA TRANSFORMASI GENERATIF

( Tugas Mata Kuliah Lingistik Umum
Dosen Pengampu Prof. Kisyani Laksono)




Oleh
Faiqotur Rosidah (09745005)




PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
November, 2009

tugas Fils pendidikan prof. Muhari

ALIRAN PERENIALISME, ESENSIALISME, DAN REKONSTRUKSIONISME DALAM PENDIDIKAN

I. Pendahuluan
A.Latar Belakang
Mengkaji filsafat pendidikan merupakan kegiatan ilmiah yang menarik dan cukup menantang. Hal ini dikarenakan filsafat pendidikan terlahir dari akar ilmu pengetahuan, yaitu filsafat. Perkembangan ilmu filsafat memiliki kontribusi yang cukup besar, terutama dalam ranah pendidikan.
Filsafat pendidikan juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau pedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu pula.
Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan, yang telah dikembangkan oleh para ahlinya , mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Artinya, mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut dapat diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat.
Ada sembilan filsafat pendidikan yang seringkali dikaji dalam rangka pengembangan pendidikan, khususnya di Negara Indonesia. Filsafat pendidikan tersebut adalah Idealisme, Realisme, Materialisme,Pragmatisme, Humanisme, Konstruktivisme Perenialisme, Essensialisme, dan Rekonstruksionisme.
Makalah ini membahas tiga filsafat pendidikan terakhir, yaitu Perenialisme, Essensialisme, dan Rekonstruksionisme.

B.Rumusan Masalah
Makalah ini membahas mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. sejarah filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme
2. tujuan filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme
3. penerapan filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme di bidang pendidikan, serta
4. kelebihan dan kekurangan filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme

C. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan :
1. sejarah filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme
2. tujuan filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme
3. kontribusi filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme
4. kelebihan dan kekurangan filsafat pendidikan perenialisme, essensialisme, dan rekonstrusionisme

D. Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat penulisan makalah ini secara akademis adalah memberikan kajian lebih mendalam mengenai ketiga filsafat pendidikan tersebut dan aplikasinya dalam dunia pendidikan di Indonesia.

II. Pembahasan

A. Sejarah Filsafat Pendidikan Perenialisme, Essensialisme, dan Rekonstruksionalisme

1. Filsafat pendidikan perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban – kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad (Sa’dullah, 2009:151).
Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler. Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum berdasarkan penelitian terhadap Great Books (Buku Besar Bersejarah) dan pembahasan buku-buku klasik.
Perenialis menggunakan prinsip-prinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas Aquino dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).

2. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah G.W. F. Hegel dan G. Santayana.
a. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
b. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
Esensialisme berbeda dengan progresivisme, perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.


3. Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

B. Tujuan Aliran Filsafat Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme

1. Tujuan Filsafat Perenialisme
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudyaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif. Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat pendidikan perenialisme adalah mengembalikan keadaan manusia seperti dalam kebudayaan ideal serta mencari dan menemukan arah pendidikan seperti di masa lampau.

2. Tujuan Filsafat Esensialisme
Filsafat Esensialis pada mulanya dirumuskan sebagai kritik terhadap tren-tren progresif di sekolah-sekolah. Aliran ini berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di kalangan muda (Bagley, 1934).
Esensialisme memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum dan yang harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti perennialisme yang menekankan pada kebenaran-kebenaran eksternal, esensialisme menekankan pada apa yang mendukung pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif.
Esensialisme muncul karena protes terhadap progresivisme, namun dalam protes tersebut tidak menolak atau menentang secara keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan perennialisme. Ada beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsipil tidak dapat diterimanya. Esensialis berpendapat bahawa betul-betul ada hal-hal yang esensial dari pengalaman anak yang memiliki nilai esensial yang perlu dibimbing.

3. Tujuan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekali sunyi dan substansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

C. Penerapan Filsafat Perenialisme, Esensialisme, dan Rekonstruksionisme dalam Pendidikan

1. Filsafat Perennialisme
Perennialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi, atau perennial. Tujuan pendidikan adalah memastikan bahwa siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah. Kaum perennealis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakekat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad. Jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman.
Lebih jauh lagi, filsafat perennialis menekankan kemampuan berpikir rasional manusia; filsafat itu merupakan pengolahan intelektual yang membuat manusia menjadi benar-benar manusia dan membedakan mereka dari binatang.
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai peranan sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:
1. Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2. Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya¬karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse¬but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni¬alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itu terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.

2. Filsafat Esensialisme
Gerakan back to basic pada pertengahan tahun 1970-an adalah salah satu dorongan untuk menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah. Esensialis beranggapan bahwa sekolah harus mendidik siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis. Keterampilan-keterampilan inti dalam kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, berbicara, dan berhitung serta sekolah memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan apakah semua siswa menguasai keterampilan-keterampilan tersebut.
Esensialis tidak memandang anak sebagai orang yang jahat dan tidak pula memandang anak sebagai orang yang secara alamiah baik. Anak-anak tersebut tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak-anak secara aktif dan penuh semangat diajarkan nilai disiplin, kerja keras dan rasa hormat pada pihak ‘yang punya otoritas’. Peran guru adalah membentuk para siswa, menangani insting-insting alamiah dan nonproduktif mereka di bawah pengawasan sampai pendidikan mereka selesai.
Menurut Esensialis pendidikan sekolah harus bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang logis yang mempersiapkan mereka untuk hidup, sekolah tidak boleh mencoba mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosiial.
Kurikulum esensialisme seperti halnya perennialisme, berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered) . Di sekolah dasar penekanannya pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan matematika. Di sekolah menengah diperluas dengan matematika, sains, humaniora, bahasa dan sastra.
Penguasaan terhadap materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang esensial bagi general education yang diperlukan dalam hidup. Bagi kaum esensial, menguasai fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial merupakan suatu keharusan.

3. Filsafat Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan lanjutan dari progressivisme. Kaum rekonstruksionis seperti George Counts menganggap bahwa proses edukatif harus didasarkan pada suatu pencarian yang terus-menerus untuk suatu masyarakat yang lebih baik (Sadullah, 2009:167). Sekolah harus mengarahkan perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini.
George S. Counts sebagai rekonstruksionisme mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat pembangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemunafikan, peperangan, dan kesukuan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial, daripada pendidikan hanya mempertahankan status quo (Sadullah, 2009:1968)
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula. Demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia (Jalaludin, 2007:119).
Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global dan memberi keterampilan pada mereka agar memiliki kemampuan untuk masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan.
Kurikulum merupakan subject matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi peserta didik itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin sains sosial dan proses penemuan ilmiah (inquiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Peranan guru menurut paham rekonstruksionisme sama dengan paham pregressivisme. Guru harus menyadarkan si peserta didik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu mereka mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya sehingga peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong mereka untuk dapat berpikir alternative dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh guru harus mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak.
Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan rekayasa sosial dengan tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan dating. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan.

III. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat disimpulkan kelebihan dan kelemahan tiap-tiap filsafat, yaitu sebagai berikut :

1. Filasafat Perenialisme
Kelebihan :
a. Pendidikan ditekankan pada kebenaran absolut yang bersifat universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu.
Perenialisme menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran, dan keindahan Perenialisme mengangkat kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam pandangan perenialisme pendidikan lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
b. Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada seni dan sains.
Untuk menjadi terpelajar secara kultural, para siswa harus berhadapan pada bidang-bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik dan paling significant yang diciptakan oleh manusia. Contohnya, seorang guru bahasa Inggris mengharuskan siswanya untuk membaca Moby Dick nya Melville atau drama-drama Shakespeare.

Kelemahan:
a. Perenialis kurang menerima adanya perubahan-perubahan, karena menurut mereka perubahan banyak menimbulkan kekacauan, ketidakpastian,dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural.
b. Focus perenialis mengenai kurikulum adalah pada disiplin-disiplin pengetahuan abadi , hal ini akan berdampak pada kurangnya perhatian pada realitas peserta didik dan minat-minat siswa.

2. Filsafat Esensialisme
Kelebihan :
a. esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam proses pendidikan, namun tidak mendukung perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah realitas abadi yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban barat. Great Book tersebut dapat digunakan namun bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
b. esensialis berpendapat bahwa perubahan merupaka suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan imtelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara bertindak, organisasi, dan fungsi sosial.

Kelemahan :
a. menurut esensialis, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan adanya orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan mengindoktrinasi siswa dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b. Para pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan garis karena mereka berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar-benar penting yang diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
c. Peran guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai lapangan, dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan pengawasan guru. Jadi, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.

4. Filsafat Rekonstruksionisme
Kelebihan :
a. rekonstruksionisme menekankan pada pengalaman yang dimiliki para siswa dengan interaksi ekstensif antara guru dan siswa dan diantara para siswa itu sendiri.
b. melalui suatu pendekatan rekonstruksionis sosial pada pendidikan, para siswa belajar metode-metode yang tepat untuk berhadapan dengan krisis-krisis significan yang melanda dunia : perang, depresi ekonomi, terorisme internasional, kelaparan, inflasi, dan percepatan peningkatan teknologi. Kurikulum disusun untuk menyoroti kebutuhan akan beragam reformasi sosial.
Kelemahan :
Karena tujuan sekolah adalah mengembangkan rekayasa sosial, beban dan tanggung jawab sekolah sangatlah berat.


DAFTAR PUSTAKA


Jalaluddin dan Idi Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogyakarta : Ar-Ruzz

Sa’dullah, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

http://edu-articles.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Main_Page
http://e-pendidikan.net/
http://gkagloria.or.id/index.php
http://hhmsociety.multiply.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama
http://mimbardemokrasi.blogspot.com/
http://rajasidi.multiply.com/
http://wordpress.com/
http://www.2bryan.com/
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/jurnal3.html
http://www.re-searchengines.com/artikel.html
http://wahyudisy.blogspot.com/2008/01/aliran-progresivisme-aliran.html

File tugas MP Kualitatif Prof Yu

STRUKTUR DAN FUNGSI SASTRA LISAN “KIDUNGAN” DALAM LUDRUK JOMBANGAN

( Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen Pengampu Prof. Dr. Setya Yuwana, MA )






Oleh

Faiqotur Rosidah (09745005)







PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Desember, 2009

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional Jawa Timur. Menurut Kasemin (1999:1) ludruk tergolong kesenian folkor setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan dimainkan di atas panggung atau dapat juga dikatakan sebagai teater (sandiwara) rakyat yang didalamnya mengandung unsure gerak, tari, kidungan, musik dekor, cerita, dan lain-lain. Adapun Peacock (2005: 59) menyatakan bahwa setiap pertunjukan ludruk adalah sekumpulan contoh dari genre ngremo, dagelan, dan cerita tertentu.
Seorang pelaku ludruk asal Jombang, Bayan Manan (Radar Mojokerto JP, 26 Juli 2009) pernah mengatakan bahwa ludruk merupakan kesenian hiburan rakyat yang murah juga istimewa. Satu-satunya hiburan jelata yang nyata benar menyesap di hati rakyat dan mewakili latar sosial dan dunia batin mereka. Karena itulah ia memutuskan sikap untuk terjun ke dunia ludruk. Akan tetapi, cerita itu sekarang menjadi sekadar kisah kenangan karena ludruk yang dulu sangat melekat dengan kehidupannya, sekarang ini sudah gulung tikar.
Mengapa kesenian tradisional ini akhir-akhir ini kian menyusut dan tidak lagi digemari masyarakat? Menurut Kasemin (1999: 2) ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal tersebut bias terjadi. Kendala internal antara lain selain kekurangan modal, juga masih terlalu sedikitnya tenaga kerja professional dalam dunia peludrukan, baik tenaga pendukung,seperti pemeran pria, wanita (travesti) ,maupun tenaga kreatif, seperti sutradara, penulis cerita, peñata artistik dan piñata musik gamelan.
Adapun kendala eksternal adalah akibat dari semakin berkembangnya televisi swasta dan semakin maraknya tempat hiburan seperti karaoke,diskotik, pub, dan klub malam. Hal inilah yang menyebabkan ludruk semakin terdesak jauh ke daerah pinggiran dan mencari penghidupan diantara masyarakat ekonomi lemah pedesaan sehingga kehidupan kesenian ludruk pun semakin memprihatinkan.
Untuk mengembalikan ludruk sebagaimana masa jayanya dulu tentu bukanlah hal yang mudah. Baru-baru ini Dinas Parbupora Jombang mengadakan festival ludruk se-Jawa Timur dengan harapan selain menggiatkan kembali kesenian tradisional ini juga mengharap agar ludruk tetap mampu eksis , di kota asal kesenian tradisional ini .
Membicarakan ludruk tentu tidak terlepas dari makna kata ludruk itu sendiri . Ludruk bisa berarti badhut (pelawak, pendagel); ludruk bisa juga berarti bangsane tledhek atau tledhek lanang, maksudnya penari laki-laki yang memakai pakaian wanita atau disebut travesti (Suripan dalam Kasemin,1999:11).
Ludruk sebagai seni pentas tradisional memiliki ciri-ciri struktur pertunjukan sebagai berikut.
1. Pembukaan, diisi dengan atraksi ngremo.
2. Atraksi bedayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan melantunkan nyanyian atau kidungan jula-juli.
3. Adegan lawak atau dagelan, biasanya diawali dengan melantunkan kidungan jula-juli yang bersambungan dan disusul dialog-dialog lawakan.
4. Penyajian lakon atau cerita, yang merupakan bagian inti cerita.
Ludruk memang selalu diisi dengan kidungan-kidungan. Menurut Sedyawati (dalam Suprianto, 1992:24) terdapat ciri kidungan dalam ludruk, baik kidungan tari ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, maupun kidungan adegan.
Istilah ‘kidungan’ menurut KBBI (1995:500) berasal dari kata ‘kidung’ yang berarti nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan); puisi,sanjak atau kidungan berarti nyanyian yang bersifat lirik yang melukiskan suatu perasaan. Kidungan dalam ludruk tentulah sangat menarik untuk ditelaah, dikaji, ataupun diteliti mengingat ludruk adalah sebuah seni pertunjukan tradisional yang kental dengan nilai-nilai sastra.

B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur kidungan (kidungan ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, maupun kidungan adegan) dalam ludruk Jombangan?
2. Apakah fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tentang kidungan dalam ludruk Jombangan ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur kidungan dalam ludruk Jombangan
2. Mendeskripsikan fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan.
D. Manfaat Penellitian
Melalui penelitian tentang struktur dan fungsi sastra lisan kidungan dalam ludruk jombangan ini diharapkan memiliki manfaat baik manfaat secara teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menghasilkan data yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian sejenis. Adapun secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi pelestarian kesenian tradisional terutama ludruk agar kesenian ini tidak semakin punah tergerus arus zaman.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian mengenai ludruk sudah banyak dilakukan. Salah satunya adalah thesis yang ditulis oleh Andi Yunus Firmansyah pada tahun 2002 dengan judul Lakon Ludruk Sawunggaling di Surabaya. Selain itu ada juga penelitian sejenis yang dilakukan oleh … dengan judul Lakon Joko Sambang Pendekar Gunung Gangsir Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Penelitian tersebut mengambil fokusnya mengenai struktur cerita, struktur pementasan cerita, dan fungsi sosial cerita.
Adapun penelitian lainnya mengenai ludruk juga pernah ditulis oleh Akhmad Taufiq tahun 2005 dengan judul Poskolonialisme Sastra dalam Ludruk. Dalam analisis itu, Akhmad taufik menerapkan teori poskolonial, konsep subaltern, konsep teori, konsep resistensi, konsep kekuasaan, konsep dampak colonial, konsep bahasa, dan konsep-konsep lainnya.
Penelitian mengenai ludruk memang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi penelitian ludruk yang memfokuskan pada kidungannya dapat dimungkinkan belum banyak dilakukan. Untuk itulah penelitian ini memfokuskan pada kidungan dalam ludruk yang memang meliliki aspek sastra, aspek fungsi dan kaya akan nilai-nilai kehidupan.

B. Kajian Teori
1. Ludruk dan kidungan
Seperti yang telah diuraikan pada bab pendahuluan di atas, ludruk merupakan kesenian tradisional yang ada di wilayah Jawa Timur, termasuk Jombang. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa asal-mula ludruk memang dari kota ini. Seperti halnya yang dikemukakan Henry Suprianto (dalam Kasemin, 1999: 12) bahwa masa awal ludruk Jawa Timur dirintis oleh Pak Santik asal Jombang. Ia mempunyai perwatakan lucu atau mempunyai tingkat humor yang tinggi dan pada tahun 1907 ia bekerja sebagai pengamen dengan membawa iringan musik lisan atau musik mulut.
Mengenai asal mula ludruk memang belum begitu jelas. Hal ini dikarenakan terbatasnya data tertulis, dokumentasi dalam bentuk prasasti atau gambar, karena ludruk tidak dapat direkonstruksi kembali, ludruk selalu hilang dalam dimensi ruang dan waktu (Suprianto dalam Kasemin, 1999:10).
Adapun mengenai cirri khas ludruk sebagai seni tradisional dari dulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Menurut Suprianto (dalam Kasemin, 1999: 10) ciri khas pertunjukan ludruk sebagai kesenian tradisional adalah sebagai berikut.
1) Pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris .
2) Peranan wanita sebagian besar dilakukan oleh laki-laki yang disebut tandak.
3) Dalam setiap pementasan selalu diiringi musik gamelan berlaras slendro atau pelog.
4) Ludruk memiliki ciri nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli yang disebut kidungan.
5) Dalam setiap pementasan selalu diawali dengan tari Ngremo.
6) Setelah ngremo dilanjutkan dengan bedayan.
7) Adegan berikutnya adalah lawak atau dagelan.
8) Rangkaian puncak pertunjukan ludruk adalah lakon atau cerita.
Pada ciri keempat atau kidungan tersebut, terdapat beberapa adegan kidungan, baik kidungan ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan. Menurut Peacock (2005:60) Kidungan-kidungan ludruk, entah menjadi bagian selingan, ngremo, ataupun dagelan semuanya memiliki struktur yang sama. Terdapat sekitar 200 kutrain atau kuplet berbeda yang popular dalam dunia ludruk. Setiap kidungan dalam sebuah pertunjukan ludruk terdiri atas lima sampai limabelas kuartrain atau kuplet. Dari beberapa kidungan ini yang paling diminati dan sering ditranskrip adalah kidungan dagelan.
Kidungan dagelan biasanya terbagi dalam empat bagian yaitu poos, lombo, debel, dan penutup. Contoh kidungan jula-juli threthek Jombangan : Nang Jombang tuku clana,
Songgoriti akeh ulane,
Paman ana perlambang sak bendino,
Sing ati-ati momong keluargane.
(Sindhunata, “Ilmu Ngglethek Prabu Minohek”, 2004 :86)

Jika dianalisis kidungan di atas memiliki rima a-b-a-b, seperti pantun dan ada sampiran pada larik 1,2 sedangkan larik 3,4 merupakan isi. Dari segi isinya pun kidungan ini kaya makna dan nilai-nilai hidup bahwa dalam membina, mengasuh keluarga haruslah selalu berhati-hati. Dengan demikian memang layak kidungan dikaji lebih dalam agar aspek-aspek yang terkandung di dalamnya tidak hilang begitu saja seiring dengan makin berkurangnya kesenian ludruk.

2. Teori Strukturalisme Levi Strauss : Bahasa dan Budaya
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang antropologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda semakin mudah dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persolan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya akan semakinmudah.
Levi Strauss (dalam Hidayat, 2006:113) meyakini bahwa analisis kebudayaan dapat dilaksanakan dengan menggunakan analisis bahasa sebagai model. Bukan hanya itu, menurut Levi Straus, sifat paling hakiki tentang aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-sifat bahasa. Ia juga meyakini bahwa kebudayaan memang merupakan suatu system seperti halnya dalam bahasa. Oleh karena itulah Levi Strauss menyamakan objek kebudayaan sama dengan objek linguistic.
Levi Strauss memandang perilaku budaya, upacara, ritus, kekerabatan, hukum perkawinan, cara memasak, system totem, bukan sebagai wujud yang instrinsik, yang diperhatikannya ialah hubungan-hubungan konstrastif (istilah linguistik) di antara unsur-unsur yang membentuk strukturnya masing-masing. Secara implisit teori Levi Strauss ini, menurut Hidayat (2006: 114) dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Bahasa dalam pandangan Levi Strauss adalah suatu system yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan tidak ada pengaruh dari luar.
2) Bahasa sebagai suatu sistem dan dalam penyelidikan bahasa harus menggunakan dua metode, yaitu synkronik dan diakronik.
3) Karena kebudayaan analog dengan bahasa yaitu sebagai system tanda, system itu harus dipelajari secara synkronik dan diakronik, dan yang harus didahulukan adalah synkronik sebelum menyelami asalah-masalah diakronik.
4) Hukum-hukum linguistik suatu taraf tak sadar dan kebudayaan dapat disamakan dengan bahasa.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa,2006;60).
Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the wordsform.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudyaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.


3. Teori Fungsi
Menurut Bascom folklore mempunyai empat fungsi (Dundes, 1965a:279), yakni sebagai (1) cermin / angan-angan pemiliknya; (2) alat pengasah pranata dan lembaga kebudayaan; (3) alat pendidikan, dan (4) alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat (means of social pressure) dan pengendalian prilaku masyarakat (exercisian social control). Fungsi-fungsi seperti ini dapat dilacak berdasarkan data di lapangan. Fungsi tersebut dapat berkembang sejauh didukung oleh data yang jelas.
Dalam bidang sastra lisan, sebagai bagian dari folklor, Sudikan (2001: 119) mengemukakan teori fungsi itu dipelopori oleh William R. Bascom, Alan Dundes, dan Ruth Finegan. Masing-masing ahli memiliki pandangan yang berbeda karena landasan filosofisnya berbeda. Menurut Bascom dan Dundes (dalam Endraswara, 2009:126) sastra lisan atau folklore lisan mempunyai empat fungsi: (1) sebagai bentuk hiburan (as a form of amusement), (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its ritual and institution to those who perform and observe them), (3) sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays in education, as pedagogical device) dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya (maintaining conformity to the accepted pattern of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control)
Berbagai konsep teoritis mengenai fungsi folklore telah banyak diterapkan oleh peneliti Indonesia. Peneliti-peneliti mengangkat aspek fungsi agar menemukan relevansi dan pragmatika folklore secara eksplisit. Misalnya Sudikan (2001: 110) mencoba menemukan fungsi pergelaran wayang krucil. Wibawa (1995) menelusuri folklore Cingcinggoleng bagi masyarakat Gunung Kidul.

BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Tahapan penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan dimulai dari pengumpulandata,penyusunan,penyeleksian,penganalisisan,dan penyimpulan. Proses ini akhirnya menghasilkan perian fokus permasalahan yang digarap yaitu berupa deskripsi tentang struktur dan fungsi kidungan dalam ludruk.
Dengan demikian, sesuai dengan rumusan masalah, tujuan maupun proses analisis data yang akan dilakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni penggambaran secara sistematis fakta dan sumber data penelitian. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah struktur dan fungsi sastra lisan ‘kidungan’ dalam ludruk Jombangan.

B. Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa pelakon ludruk (seniman) dan seorang koordinator tim pelestarian dan perlindungan seni budaya Jombang. Pelaku ludruk yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini adalah beberapa pelakon yang tergabung dalam ludruk “Bintang Baru”, “Budhi Wijaya”, dan “Sari Murni” yang tersebar di wilayah Jombang, yakni Ploso, Kabuh, dan Diwek. Adapun koordinator tim pelestarian dan perlindungan seni budaya Jombang yang akan peneliti jadikan informan bernama Fahrudin Nasrullah, seorang cerpenis dan pegiat seni di Jombang yang beberapa tulisan-tulisannya sering dimuat di media massa.

C. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data pada sejumlah pertunjukan ludruk asal Jombang, yakni ludruk “Bintang Baru”, “Budhi Wijaya”, dan “Sari Murni”. Secara terinci, teknik pengambilan data ini dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berikut.
a. Observasi lapangan
Dari observasi lapangan diharapkan diperoleh berbagai informasi, antara lain, (a) dokumen tentang ludruk termasuk didalamnya kidungan; (b) kehidupan ludruk; (c) narasumber yang dapat dimintai informasinya tentang ludruk, dan (d) respon penonton ludruk.
b. Perekaman dan wawancara
Pengambilan data mengenai struktur dan fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan ini dilakukan dengan merekam pementasan ludruk yang dijadikan sumber data. Sebagai data tambahan dilakukan juga wawancara tentang berbagai informasi mengenai ludruk terutama kidungan kepada narasumber atau informan dalam penelitian ini.

D. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan dilakukan dengan teknik analisis dan teknik pengolahan hasil analisis. Teknik analisis dimulai dengan (a) identifikasi data, (b) klasifikasi data, (c) penentuan teknik analisis, dan (d) analisis sesuai dengan rancangan yang digunakan.
Teknik pengolahan hasil analisis dibuat dalam bentuk table, yang berisi nomor, kode data,dan nama grup, dan judul lakon. Dengan teknik ini diharapkan akan mempermudah menguraikan hasil analisis data.

E. Teknik Keabsahan Data
Agar penelitian ini memiliki keabsahan data maka penelitian ini akan dilakukan dengan pengamatan langsung secara tekun, yakni menyaksikan secara langsung pertunjukan ludruk yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan agar memperoleh data secara lebih mendalam sehingga penelitian ini memiliki kredibilitas. Untuk memperkuat perolehan data dilakukan dengan perekaman dan wawancara.
Selain itu trianggulasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan beberapa informan sebagai subjek penelitian, melakukan diskusi dengan pelestari ludruk (dalam hal ini telah peneliti sebutkan pada sub bab sebelumnya) dan pengecekan ulang data dari informan-informan yang terlibat.






























DAFTAR PUSTAKA


Endraswara, Suwardi.2009. Metodologi Penelitian Folklor : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Firmansyah, Andi Yunus. 2002. Lakon Ludruk Sawunggaling di Surabaya. Thesis : PPS UNESA.

Hidayat, Asep Akhmad. 2006. Filsafat Bahasa : Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Rosda Karya.

Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial. Surabaya : Airlangga University Pers.

Nasrullah, Fahrudin. 2009. Tajuk Sutikno dan Ludruk Sari Murni. Artikel : Radar Mojokerto (30 Agustus 2009).

Peacock, James L. 2005. Ritus Modernitas : Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia. Jakarta: Desantara.

Sindhunata. 2004. Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Sleman: Bokoe Tjap Petruk.

Taufik, Akhmad. 2005. Poskolonialisme Sastra dalam Ludruk. Makalah Komprehensif :PPS UNESA.

File tgs S2

REFLEKSI SOSIAL DALAM CERPEN ‘KONVENSI’
KARYA A. MUSTOFA BISRI

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah
Sebagai simbol verbal, karya sastra memiliki andil besar di dalam masyarakat. Dituliskan Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Budaya dan Masyarakat (2006), andil besar sastra dalam masyarakat di antaranya sebagai cara pemahaman (model of comprehension), perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).
Lebih lanjut, Putu Wijaya dalam tulisannya yang berjudul sastra sebagai refleksi kemanusiaan, mengemukakan bahwa :
Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
Sastra, seperti halnya cerpen, menjadi cermin kondisi masyarakat. Nuraini Yussof , dosen sastra Universitas Utara Malaysia, dalam sebuah seminar satra, mengatakan bahwa karya sastra seperti cerita pendek (cerpen) sedikit banyak menggambarkan suasana sebenarnya dari kondisi masyarakat melalui pandangan pengarang (Kompas, 30 Juni 2009). Melalui cerpen, dapat dilihat kehidupan masyarakat, perjuangannya, dan masalah yang dihadapinya, seperti kemiskinan, pendidikan, politik, ekonomi, dan masalah-masalah lainnya.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra, termasuk di dalamnya cerpen, ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Cerpen “ Konvensi” karya A. Mustafa Bisri adalah salah satu cerpen yang dapat dikatakan sebagai cerminan atau refleksi sosial masyarakat. Cerpen ini mengisahkan hubungan kehidupan ‘dukun’ dan ‘politik’ di musim pemilihan kepala daerah. A. Mustofa Bisri menggambarkan kebiasaan masyarakat , dalam hal ini para calon kepala daerah maupun tim suksesnya, di masa pemilihan kepala desa yang suka ke ‘dukun’ untuk mensukseskan niatnya. Hal inilah yang menyebabkan cerpen ini menarik untuk dianalisis. Sudah bukan rahasia lagi bahwa masih ada kebiasaan sebagian masyarakat kita yang masih percaya pada dukun. Dukun dianggap sebagai orang ‘pintar’ yang memiliki hubungan metafisika dengan alam sehingga mampu membantu mereka menggapai harapannya.


2. Fokus Pembahasan
Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah refleksi sosial tokoh aku, refleksi sosial tokoh dia, serta refleksi sosial masyarakat umum yang tergambarkan dalam cerpen ‘Konvensi’ karya A. Mustofa Bisri.
3. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah mendiskripsikan refleksi sosial yang tergambarkan dari tokoh aku, tokoh dia, dan masyarakat secara umum yang ada dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri.

B. Kajian Teori
1. Sastra dan Sosiologi Sastra
Sastra (Sanskerta:, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (wikipedia.org). Adapun menurut Wellek dan Warren (1995: 109) sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. De Bonald (dalam Warren, 1995:110) mengatakan bahwa literatureis an expression of society atau sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Lebih jauh dikatakan oleh Wellek dan Warren(1995,109) bahwa sastra mempunyai fungsi sosial atau ‘manfaat’ yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah-masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), symbol, dan mitos.
Adapun sosiologi adalah studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia (Hurton dan Hunt, 1991:23). Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki. Dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3). Ilmu yang menggabungkan keduanya ( sosiologi dan satra) disebut sosiologi sastra.

Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
2. Refleksi Sosial dalam Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang ( wikipedia. org). Cerpen, sebagaimana karya sastra lain, bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu.
Salah satu klasifikasi kajian sosilogi sastra menurut Ian Watt dalam Damono (1989:4) adalah sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sastra sebagai refleksi sosial masyarakat.
Refleksi adalah gerakan , pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar atau dapat juga dikatakan bahwa refleksi adalah cerminan;gambaran (KBBI, 1995: 826). Adapun Refleksi sosial adalah gambaran atau cerminan sosial mayarakat. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah
(a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
(b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
(d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu.
Dari uraian kajian teori di atas, pembahasan dalam makalah ini memfokuskan refleksi sosial atau gambaran sosial masyarakat yang terdapat dalam cerpen ‘Konvens’i karya A. Mustofa Bisri.

C. Pembahasan
1. Refleksi Sosial Tokoh Aku
Tokoh aku dalam cerpen digambarkan sebagai seorang dukun yang terkenal dan laris. Dukun dianggap oleh masyarakat sebagai ‘orang pintar’ yang tidak hanya mampu mengobati berbagai penyakit, tetapi juga mampu membantu pasiennya dalam mewujudkan harapan-harapannya. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut.

Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, kini --sejak seorang sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah-- martabatku meningkat. Aku kini dikenal sebagai "orang pintar" dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang. Tujuan para pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari mencarikan jodoh, "memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri, hingga menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan tujuan agar jadi (paragraph 1).
Dalam kutipan tersebut digambarkan aktivitas dukun yang tidak hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, melainkan juga meminta tolong dalam mencarikan jodoh, “memagari sawah”, sampai menyelamatkan jabatan ataupun mewujudkan harapan pasiennya yang berkaitan dengan masalah politik, misalnya menjadi anggota legeslatif ataupun menjadi kepala daerah.
Hal tersebut tidak terlepas dari kepercayaan dan tradisi sebagian masyarakat yang masih menganggap dukun sebagai orang yang memiliki ‘keahlian lebih’ dibanding masyarakat lain pada umumnya. Tradisi dalam hal ini dapat diartikan keseleruhan benda materiil dan gagasan yang berasal dari masa lalu, namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan (Sztompka, 2004 : 70). Pada sebagian besar masyarakat (terutama Jawa) jika masih mempunyai anak balita yang akan disapih, ataupun rewel maka orangtuanya akan menganjurkan untuk dimintakan suwuk atau jupa-japu. Ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun sehingga keberadaan ‘dukun bayi’ sampai saat inipun masih dibutuhkan masyarakat.
Selain dukun bayi, keberadaan dukun-dukun lainpun masih eksis di zaman yang sudah modern ini. Yang datangpun tidak hanya kalangan menengah ke bawah tetapi juga kalangan atas. Hal tersebut tidak hanya ada pada kisah dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri saja, melainkan memang benar-benar ada dalam kehidupan masyarakat saat ini. Sebut saja Ki Joko Bodo, Mama Laurent, dan masih banyak lagi. Keberadaan mereka benar-benar ada dan dipercaya oleh sebagian masyarakat dari segala golongan.
Penggambaran tokoh aku dalam cerpen ini, selain menjadi dukun ia juga diceritakan sebagai seorang yang mau bersyukur, seperti dalam kutipan berikut.
Tuhan kalau mau memberi rezeki hamba-Nya memang banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah pantas disebut rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuberikan pembantuku, kini ke mana-mana aku naik mobil Kijang. Pergaulanku pun semakin luas (paragraf 2)
Meskipun berprofesi dukun, tokoh aku dalam cerpen ini digambarkan sebagai orang yang percaya pada Tuhan, hal ini sesuai dengan pernyataan awal kutipan tersebut, bahwa ia percaya rezeki diatur oleh Tuhan, bahwa ia mensyukuri perubahan nasib yang telah tuhan berikan padanya. Dan iapun bukan orang yang pelit karena dalam cerpen tersebut diceritakan ia memberikan sepeda onthelnya kepada pembantunya. Kontradiksi antara profesi dukun dengan agama yang dianutnya merupakan gejala yang memang nyata ada dalam masyarakat kita. Dukun pun adalah umat beragama bahkan dapat dimungkinkan mereka adalah orang yang taat beragama. Padahal dalam ajaran Islam tidak memperbolehkan percaya pada dukun sesuai dengan hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
"Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal lalu mempercayai apa yang dia ramalkan, maka ia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ." (HR. Tirmidzi No. 135, Abu Dawud No. 3904, Ibnu Majah No. 639 dan Ahmad No. 9252. Hadits itu dishahihkan oleh Al-Hakim [I : 49] dan diakui oleh Adz-Dzahabi.
(www.yaumi.com)

2. Refleksi Sosial Tokoh Dia
Tokoh dia dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri digambarkan sebagai seorang mantan petinggi militer yang menjabat bupati dan masih menginginkan jabatan tersebut sehingga ia mendatangi dukun (tokoh aku) untuk mendapatkan jabatannya lagi. Berikut kutipannya.
Pagi itu dia datang ke rumah sendirian. Tanpa ajudan. Padahal, kata orang-orang, ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan atau stafnya. Pakaian safari --kata orang-orang, sejak pensiun dari dinas militer, dia tidak pernah memakai pakaian selain stelan safari-- yang dikenakannya tidak mampu menampil-besarkan tubuhnya yang kecil. Demikian pula kulitnya yang hitam kasar, tak dapat disembunyikan oleh warna bajunya yang cerah lembut. ................................................................
(bag 2 pr 1)
Dia cerita bahwa sebentar lagi masa jabatannya sebagai bupati akan habis.
................................................ ( bag 2prg 2)

Jabatan bupati ataupun kepala daerah di Indonesia memang seringkali dijabat mantan petinggi militer seperti yang dikisahkan oleh A. Mustofa Bisri melalui tokoh dia. Contoh dalam dunia nyata kita mengenal Basofi Sudirman, Sutiyoso, dan masih banyak nama-nama lain yang pernah menjabat sebagai kepala daerah dan mereka adalah mantan militer.
Sebagaimana orang militer pada umumnya, dalam cerpen inipun dikisahkan watak dia yang selalu ingin mendominasi dan tidak suka mendengarkan nasehat atau komentar orang lain.
........................................................................................................................Bersemangat bila berbicara dan kelihatan malas bila mendengarkan orang lain. Mungkin karena aku justru termasuk orang yang agak malas bicara dan suka mendengar, maka dia tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang butut.(bag 2 prg 1)
Kebiasaan di tubuh militer berupa instruksi- instruksi yang harus dikerjakan dan tidak boleh ada bantahan. Apalagi yang sudah memiliki jabatan tinggi, akan terbiasa memerintah dan tidak mau diperintah. Hal tersebut dapat dimungkinkan akan membentuk kebiasaannya sehari-hari, bahkan ketika ia menjadi pemimpin daerah sekalipun. Tokoh dia dalam cerpen konvensi inipun memiliki kebiasaan tersebut. Dalam berbicarapun dia sangat bersemangat dan malas mendengarkan orang lain.
Sifat kepemimpinan tokoh dia yang otoriter ini juga tercermin dari pembicaraan yang dilakukan oleh tokoh sekda dengan tokoh aku ketika sekda mendatangi tokoh aku karena dia juga ingin maju dalam Pilkada di daerahnya itu. Berikut kutipannya.
........................................................................................................................
Saya yang selama ini mendampinginya setiap saat merasa prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup mata dan telinga bila melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya itu."

"Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah mengingatkan atau menegurnya bila tidak semestinya?" tanyaku.

"Ya tidak sekali dua kali," sahutnya, "tapi tak pernah didengarkan. Mungkin dia pikir saya kan hanya bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia selalu mengatakan bahwa dialah bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan........................................................................................................
(bag 3 prg 2)

Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa tokoh dia memiliki karakter tidak mau mendengarkan nasehat orang lain meskipun orang lain tersebut adalah orang dekatnya –dalam hal ini sekda- bahkan bila diingatkan akan mengatakan bahwa dialah ‘bos’nya dan dia akan berani mengambil resiko atas keputusan ataupun perbuatannya. Di lingkup militer prajurit memang dituntut tegas dan berani ambil resiko. Hal tersebut tercermin dalam gambaran watak tokoh dia dalam cerpen ‘Konvensi’ ini.
Apa yang disampaikan tokoh sekda kepada tokoh aku dalam cerpen ini sangat bertolak belakang dengan perkataan tokoh dia kepada tokoh aku ketika dia mendatangi tokoh aku. Dia menceritakan bahwa sebenarnya orang-orang terdekatnyalah yang menghianatinya, mencuranginya, seperti dalam kutipan berikut.
.......................................................................................................................
"Njenengan tahu, orang-orang yang selama ini ada di sekeliling saya, yang resminya merupakan pembantu-pembantu saya, justru malah hanya mengganggu. Sering menjegal saya. Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri dengan mengatasnamakan saya. Lha akhirnya saya kan yang ketiban awu anget, terkena akibatnya. Sekarang ini beredar isu katanya bupati menyelewengkan dana ini-itu; bupati menyunati bantuan-bantuan untuk masyarakat; bupati membangun rumah seharga sekian miliar di kampung asalnya; dan isu-isu negatif lain. Ini semua sumbernya ya mereka itu." (bag 2 prg 5)

Setiap orang akan mencari pembenaran akan hal yang sudah dilakukannya. Demikian halnya politikus, dia akan merasa bahwa yang dilakukannya itu sudah benar, sesuai prosedur, bahkan jika ada yang salah dia akan mencari ‘kambing hitam’ . Seperti halnya perilaku tokoh dia dalam cerpen ini. Dia tidak pernah merasa bersalah, dia menganggap bawahannyalah yang korup, mengatasnamakan dirinya untuk menyalahgunakan kekuasaan dan memperkaya diri. Jika membaca cerpen ini, pembaca disuguhkan pada kebenaran yang bersifat relatif. Artinya, kebenaran versi/ menurut siapa? Menurut Dia (bupati) atau menurut tokoh Sekda? Menurut bupati, Sekdanyalah yang bersalah menyalahgunakan wewenang. Akan tetapi, menurut Sekda, bupatilah yang korup, tidak mau mendengar perkataan bawahan, dialah yang berkuasa dan dia jugalah yang menyengsarakan rakyat.
Fenomena seperti ini memang terjadi dalam masyarakat kita. Jika ada penyelewengan ataupun kesalahan semua mencari pembenaran atas dirinya, bukan mengurai masalah untuk mencari kebenaran. Contoh aktual dalam masalah ini adalah kasus KPK versus Kepolisian atau lebih dikenal dengan istilah cicak versus buaya. Semua merasa dirinya yang paling benar, institusinya yang benar, tidak ada kesalahan prosedur maupun tidak ada rekayasa di dalamnya. Dalam masalah ini tentulah rakyat yang paling dirugikan. Semua mengatasnamakan rakyat, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, mencari kebenaran sama dengan mengurai benang kusut.
3. Refleksi Masyarakat dalam Cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri
Cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri mengisahkan tokoh Aku (dukun) yang laris di masa Pilkada. Semua orang yang akan maju dalam Pilkada mendatangi kediamannya untuk meminta dukungan dan minta restu. Tokoh yang saling berseberangan pun saling berebut simpati. Tiap-tiap calon merasa memiliki massa, memiliki pendukung. Keinginan mencalonkan diri dalam Pilkada pun mereka klaim bukan datang dari mereka tetapi karena keinginan masyarakat karena rasa keprihatinan dengan keadaan yang ada saat itu. Hal ini tergambarkan dalam kutipan berikut.
Nah, di musim pemilihan kepala daerah atau pilkada saat ini, tentu saja aku ikut sibuk. Dari daerahku sendiri tidak kurang dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para pendukung atau tim sukses mereka juga datang untuk memperkuat. Mereka umumnya minta restu dan dukungan. Sebetulnya bosan juga mendengarkan bicara mereka yang hampir sama satu dengan yang lain. Semuanya pura-pura prihatin dengan kondisi daerah dan rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon lain. Padahal, rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal kepingin. ... (prg 3)
.......................................................................................................
Tapi dia didorong-dorong --dia tidak menyebutkan siapa-siapa yang mendorong-dorongnya-- untuk maju mencalonkan lagi dalam pilkada mendatang. Sebetulnya dia merasa berat, tapi dia tidak mau mengecewakan mereka yang mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang terbelakang ini (bag 2 prg 2).
................................................................................................................
Terus terang kami kesulitan menolak kawan-kawan yang mendorong kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula memang selama periode kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu sendiri, tak ada kemajuan yang berarti (bag3prg2)

Pada kutipan di atas jelas tergambarkan ambisi untuk memimpin dengan mengatasnamakan masyarakat ataupun rakyat. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah rakyat yang mana? Mereka tidak mau dikatakan orang yang rakus atas kekuasaan. Mereka pun menjelek-jelekkan lawan politiknya dan mengagungkan dirinya, seolah-olah merekalah yang bisa tahu masalah rakyat dan yang mampu mengatasi masalah rakyat. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa di masa Pilkada para calon legeslatif maupun eksekutif berlomba-lomba obral janji, meninabobokkan rakyat dengan dalih kesejahteraan bersama, memberantas kemiskinan, anti korupsi, dan kata-kata indah lainnya. Terkadang cara-cara yang tidak baik pun dilakukan untuk menjegal lawan politiknya.
Mengenai hal ini Thomas Hobbes (dalam Narwoko, 2004: 257) mengatakan : jika dua orang (atau lebih) membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan. Pernyataan ini dalam kenyataannya memang banyak benarnya apalagi dikaitkan dengan perebutan jabatan. Seperti halnya yang dilakukan tokoh dia maupun tokoh Sekda dalam cerpen tersebut. Keduanya saling menjelekkan saingannya di depan sang dukun. Hal inipun terjadi pada dunia nyata. Beberapa waktu lalu pada masa pilpres terjadi perang pernyataan antara dua kubu yang menjadi lawan politik.
Dalam cerpen juga diceritakan mengenai pengaruh Kyai yang sangat besar di masyarakat. Bahkan, saat ini peran Kyia tidak hanya dalam kaitannya dengan agama melainkan berkaitan dengan politik. Banyak Kyai yang terjun dibidang politik, mendirikan partai politik, mendukung partai politik, dan hal lain yang berkaitan dengan politik. Kutipan berikut akan menjelaskan pengaruh dan keterlibatan Kyai dalam politik.
........................................................................................................
"Alhamdulillah, saya sudah melakukan pendekatan kepada Pak Kiai Sahil. Bahkan beliau mengikhlaskan putranya, Gus Maghrur, untuk mendamping Saya sebagai cawabup."

Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat berpengaruh di daerah kami. Partai terbesar di sini tak bakalan mengambil keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh cerdik orang ini, pikirku.

"Kiai Sahil sudah memanggil pimpinan partai Anu dan dipertemukan dengan saya. Dan tanpa banyak perdebatan, disepakati saya sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya sebagai cawabup (bag 2 prg 8) ………………………………………………………………………………………………..
Pada kutipan tersebut diceritakan mengenai strategi yang digunakan tokoh dia dalam upayanya memenangkan Pilkada, yakni dengan mendekati tokoh agama untuk meminta restu dan persetujuan. Dalam kutipan tersebut jelaslah merefleksikan kepercayaan masyarakat terhadap Kyai sangat tinggi bahkan keputusan apapun yang akan diambil oleh partai besar harus mendapat persetujuan Kyai. Mengenai hal ini pernah dikemukakan oleh Green ( dalam Narwoko,2004 : 233) bahwa agama, sebagaimana diakui oleh hamper semua kalangan sarjana, selalu berperan penting dalam masyarakat, terutama dalam perpaduan (integration) dan penyatuan (unifaction) masyarakat.
Hubungan agama dan pemerintahan sudah ada dan diakui sejak lama. Bahkan agama dapat dijadikan alat untuk melawan pemerintahan yang absolute, seperti yang pernah terjadi di Iran semasa pemerintahan Shah Iran, seorang raja yang absolute yang secara berlebihan memperlengkapi tentara dengan persenjataan modern. Pemimpin Islam, Ayatulloh Khomeini, waktu itu tidak punya tentara maupun uang bahkan hidup di pengasingan di Paris (Prancis). Akan tetapi, ia memerintahkan para muslim untuk memberontak melawan pemerintahan yang menurutnya dan menurut sebagian besar umat muslim di sana dianggap telah memperkosa agama sedemikian efektif hingga Shah melarikan diri dan pemerintahannya jatuh (Horton dan Hunt, edisi keenam : 314). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa agama memiliki kekuatan dan pengaruh yang sangat besar di masyarakat tidak hanya di Indonesia , melainkan juga di seluruh dunia.
Pada bagian akhir cerpen dan merupakan intisari judul diceritakan proses pencalonan bupati oleh dua partai besar untuk Pilkada di daerah itu melalui konvensi. Konvensilah yang menentukan siapa yang akan dicalonkan sebagai cabup dan cawabup. Proses demokrasi dalam partai berlangsung. Konvensi berjalan lancar meski cukup alot. Pada akhirnya diumumkan hasil konvensi bahwa cabup dan cawabup terpilih adalah Drs. Rozak sebagai cabup dan Ir. Sarjono sebagai cawagub yang ternyata keduanya adalah sama-sama ketua partai yang memimpin dan melaksanakan konvensi. Berikut kutipannya.
Singkat cerita, konvensi berjalan dengan mulus. Sesuai kesepakatan, calon bupati dipilih sendiri dan calon wakil bupati dipilih sendiri pula. Kemudian yang terpilih sebagai cabup dipasangkan dengan yang terpilih sebagai cawabup. Hasilnya sungguh mengejutkan banyak orang, terutama bupati lama dan sekdanya. Ternyata yang terpilih dan disepakati menjadi calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cabup dan Ir Sarjono, ketua Partai Polan sebagai cawabupnya (bag.4 prg 5).
Kutipan ini merupakan bagian akhir cerpen atau dapat dikatakan sebagai ending cerita pendek yang berjudul Konvensi ini. Dikisahkan meskipun tokoh dia maupun sekda sudah mendaftar dan merasa yakin memiliki dukungan dan massa namun pada kenyataannya keduanya tidak terpilih dan yang terpilih adalah ketua partai dari kedua partai besar yakni partai Anu dan partai Polan yang sedang melaksanakan konvensi. Cerita ini merefleksikan kondisi kehidupan berpolitik yang sebenarnya di Indonesia. Konvensi seperti ini sering dilakukan di Indonesia. Dalam politik segala hal bisa mungkin terjadi ,yang semula kawan bisa jadi lawan, yang semula lawan bisa jadi kawan. Tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi. Artinya, semua bergantung pada kepentingan. Kepentingan partai, kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan.
D. Penutup
1. Simpulan
Cerpen ‘Konvensi’ karya A. Mustofa Bisri merefleksikan kondisi sosial politik masyarakat di Indonesia pada umumnya. Ada beberapa refleksi sosial yang tergambarkan melalui tokoh aku, dia, dan masyarakat yang ada dalam cerpen. Refleksi sosial tersebut adalah sebagai berikut.
a. Di tengah masyarakat yang mengaku agamis, kepercayaan terhadap dukun masih tinggi.
b. Banyak penguasa baik di daerah maupun sampai tingkat Negara berasal dari petinggi militer yang sudah nonaktif.
c. Karakter pejabat apalagi mantan petinggi militer seringkali suka memerintah dan tidak mau mendengarkan perkataan orang lain apalagi bawahannya.
d. Di musim Pilkada banyak orang yang punya ambisi untuk mencalonkan diri dan mereka tebar pesona untuk memperoleh dukungan dari masyarakat.
e. Pengaruh Kyai sangat besar di masyarakat di segala bidang termasuk di bidang politik.
f. Dalam politik tidak ada yang pasti yang ada hanya kepentingan abadi, kepentingan untuk memperoleh kekuasaan.
2. Saran
Mengkaji karya sastra adalah suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan karena pembaca seolah-olah dibawa ke alam yang diciptakan pengarang melalui karyanya. Bermanfaat karena dengan membaca karya sastra pembaca diberi tambahan wawasan dan semakin memperkaya tidak hanya khazanah ilmu tetapi juga qolbu. Karena karya sastra yang baik akan memberikan tambahan kekayaan hati bagi pembacanya. Untuk itulah kegiatan seperti ini perlu lebih diintensifkan dan lebih digalakkan lagi baik di sekolah-sekolah maupun di lingkungan masyarakat sehari-hari.












DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra sebagai Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Depdiknas. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Horton, Paul B dan Chester L.Hunt. Edisi Keenam. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Prenada Media.
Sztompka,Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
http/:www.gusmus.com//
http/:www. pesantrenvirtual.com//
http/:www.yaumi.com//