Rabu, 29 September 2010

Eksploitasi dan pemberdayaan bersinonimkah?

Fenomena child abuse yang marak akhir-akhir ini membuatq berfikir terkadang ada segelintir orang yang mempolitisasi kata pemberdayaan (anak) yang sebenarnya mereka (si anak) mengalami eksploitasi. Coba qta bayangkan jika anak yng 'dibelenggu' dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tanpa diberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungan atau dengan teman sebaya, tanpa diberi uang jajan yang cukup, apakah itu yg dinamakan pemberdayaan? Bukankah ini eksploitasi 'terselubung'?. Pembantu saja mengurus pekerjaan rumah diberi makan dan digaji lo paling tidak 300-500 rb sebulan. So what do U think?

Senin, 27 September 2010

filologi (ilmu yg mempelajari naskah kuno) pengampu prof. Haris S

PANDANGAN TENTANG HAKEKAT MANUSIA DALAM PUJI-PUJIAN MENJELANG SHALAT FARDLU
(KAJIAN ILMU TASAWUF)


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang multikultural memiliki beragam budaya baik lisan, setengah lisan, maupun tulis. Budaya lisan yang sudah berumur ratusan tahun itu ada yang sudah terdokumentasikan dan banyak juga yang belum. Salah satu budaya lisan adalah puji-pujian menjelang shalat fardlu sebagai nyanyian rakyat.
Pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan salat berjamaah. Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer di kalangan nahdhiyin (sebutan untuk pengikut Nahdhatul Ulama) tersebut, terutama di desa-desa di Jawa Timur atau JawaTengah. Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh kalangan pesantren. Ada juga yang mengatakan bahwa pujian tersebut diperkenalkan oleh salah satu walisongo (penyebar agama Islam di Jawa).
Syair-syair dalam pujian tersebut sarat makna dan pesan moral. Ajaran yang terkandung dalam puji-pujian memberikan penyadaran kepada manusia akan keberadaannya sebagai makhluk ciptaan Sang Khaliq dan mengingatkan pafa kefanaan semua yang ada dunia serta pertanggung jawaban manusia pada Tuhan YME kelak di akhirat. Selain itu, puji-pujian tersebut biasanya diawali dan diakhiri dengan bacaan shalawat Nabi.


B. Fokus Penelitian

Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada pandangan tentang hakekat manusia dalam puji-pujian menjelang shalat fardlu. Penelitian ini dibatasi pada tiga pujian yang sering dikumandangkan di musala atau surau-surau di kampung di sekitar pondok pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Tiga pujian tersebut adalah Rukun Islam, Tombo Ati, dan Ilingo. Adapun kerangka teori yang digunakan adalah ilmu Tasawuf.

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan Fokus penelitian di atas, tujuan Penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan tentang hakekat manusia dalam puji-pujian menjelang shalat fardlu.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi penelitian-penelitian sejenis terutama penelitian sastra lisan. Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pelestarian kebudayaan lisan di Indonesia.





BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Puji-pujian sebagai Kajian Filologi Lisan
Istilah filologi biasanya selalu dikaitkan dengan teks-teks kuno yang tertulis. Akan tetapi Mac Edward Leach (dalam Hutomo, 1991: 14) berpendapat bahwa sastra lisan itu sebagai a lively fossil which refuses to die, teks-teks sastra lisan juga mengandung ‘kekunoan’ di samping’kekinian’. Dengan demikian, filologi sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan, dikenallah istilah filologi lisan sebagai cabang filologi tulis karena sastra sebagai kajiannya tidak hanya berupa sastra tulis tetapi juga sastra lisan.
Sastra lisan dibedakan antara sastra lisan primer dan sastra lisan sekunder (Sudikan, 2001: 2). Satra lisan primer memiliki ciri-ciri (1) penyebarannya melalui mulut. Artinya, ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang dilakukan melalui mulut atau secara oral, (2) lahir dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf, (3) menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, (4) tidak diketahui siapa pengarangnya dan karena itu menjadi milik masyarakat, (5) bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang, (6) tidak mementingkan fakta dan kebenaran, tetapi memiliki fungsi penting dalam masyarakatnya, (7) terdiri atas berbagai versi, dan (8) menggunakan gaya bahasa lisan –sehari-hari-, mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991: 3).
Satra lisan sekunder menurut Sudikan (2001: 3) merupakan sistem reproduksi sastra tulis sebagai perwujudan penyebarluasan informasi atau sosialisasi sastra tulis. Kehadiran teknologi komunikasi (radio, televisi, video, dan lainnya) telah memberi peluang tumbuhnya sastra lisan baru. Sastra lisan sekunder ini misalnya sastra lisan elektronika (drama radio, pembecaan puisi di TV, ketoprak humor, dan sejenisnya).
Pembagian sastra lisan menurut Hutomo (1991: 62) dibedadakan berdasarkan (1) bahan yang bercorak cerita, (2) bahan yang bercorak bukan cerita, dan (3) bahan yang bercorak tingkah laku. Bahan yang bercorak cerita berupa (1) cerita-cerita biasa (tales), (2) mitos (myths), (3) legenda (legends), (4) epik (epics), (5) cerita tutur (ballads), dan (6) memori (memorates). Sedangkan bahan yang bercorak bukan cerita berupa (1) ungkapan (folk speech), (2) nyanyian (songs), (3) peribahasa (proverbs), (4) teka-teki (riddlesa), (5) puisi lisan (rhymes), (6) nyanyian sedih pemakaman (dirge), dan (7) undang-undang atau peraturan adat (law). Bahan yang bercorak tingkah-laku atau drama terdiri atas drama panggung dan drama arena.
Berdasarkan pembagian bahan dalam sastra lisan di atas, puji-pujian yang disampaikan menjelang shalat fardlu tergolong bahan bercorak bukan cerita yang masuk kategori nyanyian rakyat. Digolongkan nyanyian karena puji-pujian yang disampaikan di musala atau masjid diucapkan dengan dilagukan seperti nyanyian. Nyanyian adalah bunyi (suara) yang berirama dan berlagu. Nyanyian rakyat ini ada bermacam-macam, misalnya nyanyian anak-anak, nyanyian nina-bobo, nyanyian kerja, nyanyian permainan, nyanyian himne atau puji-pujian, nyanyian situasional, dan nyanyian sedih (Hutomo, 1991: 66). Puji-pujian yang disampaikan di musala atau masjid merupakan nyanyian puitis sebagai nyanyian keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali menjadi "nyanyian" populer yang dilagukan di mesjid dan langgar dan dilakukan oleh mulai anak-anak sampai orangtua.
Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu. Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).
Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qodir Jaelani.
Puji-pujian yang dilagukan masyarakat pedesaan ini diperkirakan sudah dilakukan oleh masyarakat sebelumnya selama ’mungkin’ ratusan tahun yang lalu. Oleh karena itu puji-pujian sebagi salah satu produk budaya merupakan salah satu obyek kajian filologi. Selain itu puji-pujian ini juga sarat pesan moral pada manusia agar manusia sadar akan keberadaannya di dunia ini.

B. Ajaran Tasawuf
Tasawuf berasal dari kata saff artinya barisan dalam shalat berjamaah, dari kata shufiah artinya ilmu ketuhanan . Orang yang mengajarkan Tasawuf disebut Sufi. Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak dan membangun kehidupan jasmani dan ruhani untuk mencapai kebahagiaan abadi (Azra, dkk, 2002: 73).
Asal pokok dari ajaran Tasawuf adalah bertekun beribadah, berhubungan langsung pada Tuhan, menjauhkan diri dari kemewahan dan kemegahan duniawi, tidak suka pada harta dan tuah yang diburu orang banyak, dan bersunyi-sunyi diri dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhan (Dhuhrul Islam dalam Abbas, 1985: 35). Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang Tasawuf (Sufi) adalah orang-orang yang (1) bertekun beribadah kepada Tuhan, (2) memutuskan pergantungan hatinya selain kepada Allah –melakukan segala hal hanya karena Allah-, (3) menjauhkan diri dari kemewahan-kemewahan duniawi, (4) menjauhkan diri dari berfoya-foya dengan harta benda dan tuah, dan (5) berkhalwat atau bersunyi-sunyi dalam melaksanakan ibadah.
Orang-orang Tasawuf memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan Al-hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqat (tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Ajaran Tasawuf tetap mengedepankan tiga unsur penting dalam agama Islam, yakni Islam, Iman, dan Ihsan. Bimbingan menuju Ihsan inilah yang diajarkan dalam ilmu Tasawuf (Abbas, 1985:45). Beberapa tokoh Tasawuf antara lain Hasan Al-Bashri dari Madinah, Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali (Iran).
Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah). Menurutnya Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam kenyataannya, manusia seringkali lalai dan lupa kepada Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau lahiriah belaka. Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya ( Ghazali, 1981 vol.I: h. 119-125).
Dari sudut pandang Tasawuf (kesufian) hidup ini merupakan pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian, keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:
(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya; (2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya; (3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk memperolehnya; (4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan mendorong hawa nafsu; (5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan mengutamakan orang lain di kala berad; (6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu datangnya dari Allah semata; (7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah; (8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan harapannya; (9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti; (10) Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima nasib pahit.



BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Tahapan penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan dimulai dari pengumpulan data, penyusunan, penyeleksian, penganalisisan, dan penyimpulan. Proses ini akhirnya menghasilkan perian fokus permasalahan yang digarap yaitu berupa deskripsi tentang pandangan tentang hakikat manusia dalam puji-pujian menjelang shalat fardlu.
Dengan demikian, sesuai dengan rumusan masalah, tujuan maupun proses analisis data yang akan dilakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni penggambaran secara sistematis fakta dan sumber data penelitian. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah pandangan tentang hakikat manusia dalam teks puji-pujian menjelang shalat fardlu.

B. Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa pendendang puji-pujian di musala sekitar ponpes Darul Ulum Jombang . Pelaku atau pendendang puji-pujian ini adalah tiga orang dari tiga musala yang berbeda. Mereka adalah (1) Bpk. Wahid usia 75 tahun domisili Mancar, Peterongan, Jombang, di Musala Darul Hikmah, Mancar; (2) Bpk. Pardi usia 65 tahun domisili Plososantren, Sumobito, Jombang, di musala Ar-Ridlo, Plososantren; dan (3) Bpk. Kusaini usia 70 tahun, domisili Plosokerep, di masjid Darul Muttaqin.
Alasan pemilihan informan ini adalah keaktifan mereka dalam mendendangkan puji-pujian di musala masing-masing serta alasan praktisnya adalah karena kedekatan lokasi penelitian dengan tempat tinggal peneliti sehingga setiap hari peneliti mampu menyimak teks puji-pujian mereka. Ketiga informan di atas adalah orang-prang yang istiqomah dalam mendendangkan puji-pujian, baik puji-pujian yang berbahasa Arab maupun bahasa Jawa. Puji-pujian bahasa Arab misalnya berupa doa sapu jagat, doa kepada orangtua, doa Rabiah al Adawyah, dan lain-lain. Adapun peneliti membatasi teks puji-pujian berbahasa Jawa yang paling sering didendangkan atau disuarakan, yakni Rukun Islam, Tombo Ati, dan Iling-ilingo.

C. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan kegiatan-kegiatan berikut.
a. Observasi lapangan
Dari observasi lapangan diharapkan diperoleh berbagai informasi, antara lain, (a) ragam puji-pujian yang sering disampaikan; (b) informan yang akan dijadikan sumber data; (c) kehidupan informan, dan (d) respon pendengar atau jamaah.
b. Perekaman dan wawancara
Pengambilan data mengenai teks puji-pujian ini dilakukan dengan merekam pujian yang disuarakan narasumber yang dijadikan sumber data. Sebagai data tambahan dilakukan juga wawancara tentang berbagai informasi mengenai puji-pujian kepada narasumber atau informan dalam penelitian ini.

D. Teknik Pemindahan dan Terjemahan
Teknik pemindahan sastra lisan dari tuturan ke dalam bahasa tulis dalam penelitian ini dilakukan dengan menanskripsikan data mentah yaitu puji-pujian yang dijadikan sumber data, baik transkripsi pada saat pengamatan maupun dari rekaman. Tahap berikutnya dilakukan teknik terjemahan, yakni dari bahasa semula (bahasa Jawa dalam puji-pujian ) ke dalam bahasa Indonesia. Menurut J.C Catford dalam Hutomo (1991 : 87) ada tiga macam terjemahan, yaitu (1) free translation, (2) literal translation, dan (3) word-for-word translation.
Penelitian ini menggunakan terjemahan literal translation. Hal ini dilakukan karena teks ‘puji-pujian’ banyak mengandung kata kiasan. Adapun penyajian terjemahannya dalam penelitian ini menggunakan model I, yakni penyajian terjemahan ditempatkan di samping kanan teks asli (bahasa aslinya).

E. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan dilakukan dengan teknik analisis dan teknik pengolahan hasil analisis. Teknik analisis dimulai dengan (a) identifikasi data, (b) klasifikasi data, (c) penentuan teknik analisis, dan (d) analisis sesuai dengan rancangan yang digunakan.
Teknik pengolahan hasil analisis dibuat dalam bentuk tabel yang berisi nomor, kode data, dan hakekat hidup yang ada dalam data. Dengan teknik ini diharapkan akan mempermudah menguraikan hasil analisis data.

F. Teknik Keabsahan Data
Agar penelitian ini memiliki keabsahan data maka penelitian ini akan dilakukan dengan pengamatan langsung secara tekun, yakni menyinyak secara langsung puji-pujian yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan agar memperoleh data secara lebih mendalam sehingga penelitian ini memiliki kredibilitas. Untuk memperkuat perolehan data dilakukan dengan perekaman dan wawancara.
Selain itu trianggulasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan beberapa informan sebagai subjek penelitian, melakukan diskusi dengan pelaku tarekat dan pengecekan ulang data dari informan-informan yang terlibat.









BAB IV
PEMBAHASAN

Puji-pujian yang biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan salat berjamaah biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Bacaan shalawat Nabi memiliki berbagia keutamaan. Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya:
”Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya berharap semoga sayalah orangnya”.

Selain shalawatan, teks puji-pujian berisi banyak nasehat pada manusia agar selalu menjaga kualitas hidupnya yang bersifat sementara ini untuk mencapai kebaikan di akhirat nanti. Nasehat hidup atau pandangan tentang hidup yang terkandung dalam teks puji-pujian yang terekam dalam data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
A. Lima Kewajiban Manusia
Manusia dikatakan muslim jika telah memenuhi lima kewajiban. Lima kewajiban ini disebut rukun Islam, yakni membaca shahadat, mendirikan sholat, berzakat, puasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji bagi yang mampu. Sebagaimana tercermin dari sabda Rasulullah berikut.
” Islam itu didirikan di atas lima perkara yaitu menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan, dan beribadah haji di Baitullah bagi orang yang kuasa menjalankannya (HR Buchari-Muslim dalam Addymasqi, 1983: 113)”.

Ajaran tersebut sesuai dengan teks puji-pujian berikut.
1. Rukune Islam- rukune Islan ana lima 1. Rukunnya Islam ada lima
Siji syahadat, loro sholat,telu zakat Satu Syahadat, dua shalat, tiga zakat
Papat poso, lima haji ing Baitullah Empat Puasa, Lima haji ke Baitullah
Amin ya Allah, Amin ya Allah Amin Ya Allah, Amin Ya Allah
5. Robbal Alamin (Tr. I) Robbal Alamin (Tj.I)

Islam itu sasarannya syariat lahir, seperti shalat, puasa, zakat, berhaji. Adapun shahadat merupakan salah satu sendi Islam yang di dalamnya berisi pengakuan ke-Esa-an Allah sebagai sang Khaliq serta pengakuan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Allah memiliki sifat-sifat yang dikenal dengan asmaul husna. Allah maha kekal dan makhluk ciptaannya bersifat fana. Allah mengutus nabi Muhammad untuk menyampaikan ajaran Islam sebagai pembawa kebenaran.
Shalat adalah tiang agama yang merupakan pegangan yang meyakinkan, penghulu dari segala amal peribadatan. Perintah shalat ini terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa 103 yang artinya: ”Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan atas semua orang mukmin”.
Zakat dapat dibedakan atas zakat fitrah dan zakat mal atau harta. Zakat fitrah bertujuan membersihkan jiwa dan raga, serta agar mal baiknya bertambah. Fitrah artinya kejadian manusia (Abubakar, 1995: 432). Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan Buchari-Muslim dari Ibnu Umar r.a beliau berkata:
” Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan kepada seluruh umat Islam sebanyak satu sha’ korma atau sha’ syair, diberikan kepada tiap-tiap orang merdeka atau budak-budak muslim, baik laki-laki maupun perempuan”.

Perihal satu sha’ korma atau sha’ syair, beberapa ulam kemudian menyepakati bahwa zakat fitrah dibayarkan dengan bahan makanan pokok yang lumrah di daerah masing-masing. Ukuran satu sha’ menjadi berbeda-beda menurut jenis bahan makanan ysng dikeluarkan untuk zakat. Adapun syaratnya bahwa bahan makanan yang dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak boleh bahan yang sudah bubukan ataupun cacat ((Abubakar, 1995: 437).
Puasa di bulan Ramadhan merupakan amalan wajib bagi setiap muslim. Bagi kebanyakan orang puasa didefinisikan sebagai cara menahan perut dan kemaluan dari terpenuhinya kesyahwatan makanan, minum, bersetubuh dan lain-lain dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, secara khusus puasa diartikan tidak hanya menahan diri dari nafsu jasmaniah melainkan juga puasa hati, yakni menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang pada akhirnya mampu merusak hati serta berserah diri hanya kepada Allah semata (Addymasqi, 1983: 146).
Puasa merupakan salah satu upaya untuk memagari manusia dari nafsu syetan. Bahkan, dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan Tirmidzi dan Ibnu Majah menyebutkan Rasulullah SAW bersabda ” Puasa adalah separuh kesabaran” (dalam Addymasqi, 1983: 139).
Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Haji diwajibkan bagi muslim yang mampu baik secara fisik maupun ekonomi. Haji wajib dilaksanakan sekali sepanjang hidup. Dengan melaksanakan haji sempurnalah keislaman dan lengkaplah agama seseorang itu. Firman Allah surat Al-Haj 27 menyebutkan –yang artinya sebagai berikut.
”Dan permaklumkanlah kepada seluruh manusia itu untuk melakukan ibadah haji, niscaya mereka akan datang padamu dengan berjalan kaki dan mengendarai (unta dan lain-lain). Mereka itu datang dari segenap penjuru yang jauh”

Ibadah haji memiliki berbagai keutamaan-keutamaan. Dalam sebuah riwayat, Abul Laits Assamarqandi dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata : Ketika kami di Mina bersama Nabi SAW tiba-tiba datang rombongan dari Yaman, lalu mereka berkata: Beritakan kepada kami fadhillah hajji? Jawab Nabi SAW:
” Tiap orang yang keluar dari rumahnya niat haji atau umrah, pada tiap langkahnya berguguran dosa-dosa dari badannya bagaikan gugurnya daun kering dari pohon, maka apabila sampai di Madinah dan memberi salam lalu berjabat tangan padaku (shalawat di makam Nabi), dijabat tangannya oleh malaikat, ................................ ......................
.............................. jika wuquf di Arafat, dan gemuruh suara berdoa, maka Allah membanggakan kepada malaikat dan berfirman: Hai malaikat dan penduduk langit, tidakkah kamu melihat hambaku yang datang dari semua penjuru yang jauh-jauh dalam keadaan terurai dan berdebu, mereka telah mengorbankan harta dan tenaga, maka demi kemulyaan dan kemurahanku, aku akan memaafkan orang-orang yang berdosa, dan melepaskan mereka dari dosa sebagaimana bayi baru lahir dari perut ibunya, demikian pula bila telah melempar jumrah, dan mencukur rambut, lalu thawaf ifadah maka ada seruan dari bawah Arsy: ’kembalilah kamu, sudah diampunkan semua dosa-dosamu, dan perbaharuilah amal perbuatanmu” (dalam Assamarqondi, 1980:746).

B. Memperbaiki Diri (Obat Hati) dengan Lima Perkara
Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist. Al-Quran diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadist ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.
Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.
II. 1. Tombo ati iku limo sak wernane 1 Obat hati ada lima macam
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane Yang pertama membaca Quran dan maknanya
Kaping pindu shalat wengi lakonono Yang Kedua lakukan shalat malam
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono Yang ketiga berkumpullah dengan orang shaleh
5. Kaping papat kudu weteng engkang luwe 5 Yang keempat perut harus lapar
Kaping limo dzikir wengi engkang sue Yang kelima dzikir malam yang lama
Salah suwijine sapa bisa ngelakoni, Salah satunya siapa bisa melaksanakan
Insya Allah Gusti Allah ngijabahi Insya Allah Allah mengabulkan
(Tr. II) (Tj. II)
Keutamaan membaca Al-Quran diibaratkan sebagai sebaik-baik manusia sebagaiman Hadist yang diriwayatkan Buchari yang artinya sedbagai berikut: “Sebaik-baik kamu semua ialah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya” (dalam Addimasyqy, 1983: 182). Amr bin Ash (dalam Addimasyqy, 1983: 182) berkata: ” Barangsiapa membaca Al-Quran maka telah diletakkan tingkat kenabian itu di sekitar kanan kirinya, hanya saja ia tidak didatangi wahyu”.
Seseorang yang membaca Al-Qur’an dan membayangkan bahwa Allah SWT memantapkan hatinya dengan isi yang terkandung di dalamnya maka ia sebagaimana mendapat kesabaran dalam menghadapi kesukaran atau hal-hal yang menyakiti tubuh dan jiwanya. Sebagaimana firman Allah Surat Hud 120 yang artinya: ” Yang dapat memantapkan hatimu dengan itu”. Selain itu, Al-Quran juga sebagai penawar serta petunjuk kerahmatan, dan cahaya bagi seluruh alam semesta ini. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada seluruh manusia ini agar suka bersyukur dengan suatu kenikmatan yang maha besar yaitu dengan diturunkannya Al-Quranul Karim. Firman Allah Surat Al-Baqarah 231 yang artinya sebagai berikut.
Ingatlah pada kenikmatan Allah yang dikaruniakan padamu semua dan kenikmatan yang berupa sesuatu yang diturunkan padamu semua yang berupa Alkitab dan kebijaksanaan. Allah menasehati kamu semua dengannya itu.

Membaca Al-Qur’an dalam arti sebanarnya tidak sekedar menggerakkan lidah melainkan dalam arti sebenar-benarnya membaca, yakni perpaduan usaha antara lidah, akal, dan hati. Pekerjaan lidah ialah membenarkan huruf dengan jalan tartil –membaca perlahan-lahan dan teratur-, pekerjaan akal ialah mengenang-ngenangkan makna dan tujuannya, sedang pekerjaan hati ialah menerima nasehat dan peringatan dari apa yang difahaminya itu, membekas sekali tujuan-tujuannya dengan suka memperhatikan apa yang dilarang dan diperintah. Jadi ringkasnya, lidah membaca, akal memahamkan dan hati menerima peringatan (Addimasyqy, 1983: 196).
Obat hati yang kedua adalah menjalankan shalat malam. Shalat malam yag dimaksudkan adalah shalat sunnah yang dikerjakan disepertiga malam. Shalat bisa berarti berdoa, memohon ampun, maupun meminta kepada Allah. Keutamaan shalat sunnah malam ini menurut sebuah Hadist yang diriwayatkan Buchari- Muslim (dalam Baqi, 1996: 226) yang artinya sebagai berikut.
Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tuhan Allah Ta’ala turun pada tiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga dari waktu malam dan berseru: Siapakah yang berdo’a niscaya aku terima, siapakah yang meminta niscaya aku beri, siapakah yang minta ampun niscaya Aku ampunkan.

Berdasarkan hadist di atas jelaslah bahwa shalat (sunnah) malam memiliki fadhilah yang besar, yakni sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah, sarana berdoa, dan sarana memohon ampun. Selain itu, dengan shalat malam hati akan menjadi tentram dan damai. Inilah yang dimaksudkan shalat malam sebagai obat hati. Setiap muslim akan mendapat pencerahan hati, cahaya hati melalui memperbanyak shalat di sepertiga malam.
Berkumpul atau bergaul dengan orang shaleh adalah obat hati yang ketiga. Bergaul yang dimaksudkan disini adalah memperdalam ilmu dan mendatangi majelis-majelis ilmu. Orang shaleh yang dimaksud adalah orang yang selalu berusaha menjalankan perbuatannya hanya menurut perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Termasuk orang shaleh adalah orang berilmu atau ulama. Mengenai definisi ulama, Abu Laits Assamarqandi meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: ”Ulama itu sebagai orang-orang yang dipercaya oleh para Rasul (Nabi-nabi) untuk memimpin dan mengajari hamba-hamba Allah selama mereka tidak menjilat kepada raja (pemerintah) dan tidak rakus pada dunia. Apabila telah memasuki urusan dunia maka telah menghianati Nabi-nabi dan Rasul, maka jauhilah mereka dan berhati-hatilah dari mereka” (dalam Assamarqandi, 1980: 658).
Seseorang dikatakan ulama menurut hadist di atas memiliki beberapa persyaratan selain menguasai ilmu agama. Syarat-syarat tersebut adalah (1) mampu memimpin dan mengajari hamba-hamba Allah, (2) tidak menjilat pada raja atau pemerintah, dan (3) tidak rakus pada dunia.
Keutamaan berkumpul dengan orang shaleh diperumpamakan orang yang membawa kasturi, jika ia tidak memberi padamu, maka kamu tetap merasakan bau harumnya. Adapun contoh bergaul dengan orang fasiq diumpamakan tukang besi, jika tidak membakar pakaianmu, maka kamu akan kena asap apinya (Abdullah bin Mas’ud dalam Assamarqandi, 1980: 668).
Abu Laits berkata: Orang yang duduk bersama orang shaleh atau alim dan tidak dapat mengingati ilmunya (lupa), ia akan mendapat tujuh kebesaran, yakni :
(1) kebesaran orang yang belajar; (2) selama ia duduk dengan orang alim itu ia tertahan dari perbuatan dosa; (3) jika keluar menuju kepeda orang alim dituruni rahmat; (4) jika duduk dengan orang alim itu dan turun rahmat kepada orang alim itu ia mendapat bagian; (5) selama ia mendengar ajaran-ajarannya maka tercatat baginya hasanat; (6) Malaikat selalu meliputinya dengan sayapnya karena ridla padanya; dan (7) tiap langkahnya tertulis baginya hasanat, dan penebus dosa serta naik derajat (Assamarqandi, 1980: 668).
Demikianlah fadhilah orang yang mau bergaul dengan orang shaleh. Walaupun ia lupa akan ilmu yang dipelajarinya ia masih mendapat berbagai kemuliaan karena kedekatannya tersebut. Apalagi jika ia selalu mengingat dan mengamalkan ilmu yang didapat, tentu pahala dan fadhilah yang diterimanya lebih banyak lagi.
Obat hati yang keempat adalah mampu menahan lapar atau sering berpuasa sunnah. Seorang muslim diharapkan mampu menahan lapar dan apabila makan Dalam sebuah Hadist diriwayatkan pahala yang terbesar dalam beribadah ialah puasa karena hanya Allah yang mengetahuinya. Enam macam kebaikan yang pernah Rasulullah SAW sampaikan adalah (1) berjihad memerangi musuh-musuh Allah, (2) puasa di musim kemarau, (3) sabar ketika menghadapi musibah, (4) tidak berdebat meskipun ia merasa benar, (5) sembahyang tepat pada waktunya di musim kemarau, dan (6) sempurna wudlu di musim dingin (Assamarqandi, 1980: 506).
Ada berbagai puasa sunnah yang dapat dilaksanakan, antara lain puasa Senin-Kamis, puasa Syawal, puasa Nabi Daud a.s., puasa Nabi Sulaiman a.s, puasa Nabi Isa a.s, dan masih banyak lagi. Abuhurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: ” Siapa yang puasa bulan Ramadhan lalu dilanjutkan enam hari pada bulan Syawal maka sama dengan puasa sepanjang masa” (Assamarqandi, 1980: 510).
Dalam sebuah hadist Qudsi disebutkan bahwa Puasa itu merupakan tameng yang dengannya seorang hamba terlindung dari api neraka, dan puasa itu hanya bagi-Ku (Allah) dan akulah yang akan langsung membalasnya (HQR Ahmad dan Baihaqi yang bersumber dari Jabir bin Abdillah r.a dalam Dahlan, dkk, 1988: 185) .
Obat hati yang terakhir adalah berdzikir di malam hari. Menurut asal katanya dzikir berarti mengingat sesuatu dalam hati atau akal dan dapat dilakukan dengan hati maupun lisan (qauli) dan dzikir fi’li seperti bertaubat, menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan niat yang baik, dan sejenisnya. Adapun dzikir qauli hendaknya memberikan bekas dan pengaruh ke dalam hati. Kesan ini hendaknya dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang menunjukkan bahwa dirinya selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT (Dahlan, dkk, 1988: 239). Diantara ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan keutamaan berdzikir adalah surat Al-Baqarah 152 dan Surat Al-Ahzab 41 yang artinya: ” Maka berdzikirlah (ingatlah) padaKu, pasti Akupun ingat padamu” (S. Al-Baqarah: 152). ”Berdzikirlah (ingatlah) kepada Allah dengan dzikir yang banyak” (S. Ahzab 41).
Ibnu abbas memberikan tafsiran terhadap ayat di atas adalah bahwa manusia jangan pernah lepas dari berdzikir, baik di waktu pagi, siang, maupun malam di daratan, di lautan, maupun di udara, di saat di rumah maupun bepergian, dalam keadaan kaya ataupun miskin, waktu sehat maupun sakit, dan dalam keadaan sunyi ataupun banyak orang (Addimasyqy, 1983: 199). Dzikir ada permulaan dan ada akhirnya. Permulaannya ialah ketenangan dan kecintaan dan akhirnya ialah ketenangan dan kecintaan yang dapat menjelma dan timbul dari dirinya. Adapun keutamaan berdzikir di malam hari telah diuraikan pada sub shalat malam.
Dzikir yang tertinggi adalah tafakkur tentang makhluk-makhluk Allah yang ada di sekitar kita. Karena itulah orang-orang yang arif, orang yang benar-benar-benar kenal Khaliqnya, disebut orang berdzikir dalam setiap situasi dan kondisi. Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa suatu ketika para sahabat Nabi SAW bertanya: Siapakah orang yang mendapat keutamaan dan kelebihan itu Ya Rasul? Lalu diterangkan oleh Nabi bahwa mereka itu ialah orang-orang yang suka duduk di dalam masjid berdzikir kepada-Nya, bertafakkur tentang makhluk-makhluknya ( Dahlan, dkk,1988: 242).
Demikianlah beberapa fadhilah berdzikir yang juga merupakan salah satu obat hati bagi semua muslim. Dengan berdzikir manusia menjadi lebih banyak mengingat Allah dan semakin takut hanya pada Allah serta menanggalkan keduniawiaan yang dapat menghancurkan batinnya. Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah bersabda yang artinya: ” Dzikir pada Allah itu tanda adanya iman, dan kebebasan dari nifaq, dan benteng dari syaithon, dan penjagaan dari api neraka” (dalam Assamarqandi, 1980: 592).

C. Mengingat Kematian
Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.
III. 5. Ilingono para timbalan 5. Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil
Timbalane ora keno wakilan Panggilannya tak bisa diwakilkan
Timbalane kang maha mulya Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Gelem ora bakal lunga Mau-tak mau harus pergi
(Tr.III) (Tj.III)
Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya. Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.
Syaqiq bin Ibrahim (dalam Assamarqandi, 1980: 884) berkata: tidak ada kawan yang lebih baik bagi seseorang, lebih daripada risau memikirkan dosa-dosanya yang lampau, dan takut terhadap apa yang akan datang, yang belum diketahui apakah yang akan menimpa padanya. Ayat mengenai takut atau khauf kepada Allah dan adzab-Nya antara lain terdapat dalam surat An-Naziat: 40-41, yang artinya: ” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rab-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat kembali(nya).
Orang yang benar-benar merasa takut hanya pada Allah akan membawanya pada tingkat zuhud, yakni memalingkan muka dari keduniaan yang berlebih-lebihan dan menghapus harta benda di dalam hati, yang tidak ada hubungannya dengan akhirat (Abbas, 1985: 60).Mereka yang takut pada Allah akan mendapat imbalan surga. Bahkan, Anas bin Malik r.a. berkata: Nabi bersabda yang artinya sebagai berikut.
”Tiada berlinang air mata karena takut kepada Allah melainkan Allah mengharamkan neraka untuk membakarnya, dan bila air mata itu mengalir ke muka, maka muka itu tidak akan diliputi kusut atau kehinaan. Dan tiada suatu amal kebaikan melainkan ada ketentuan pahalanya kecuali air mata, maka ia dapat memadamkan beberapa lautan api, dan andaikan seseorang hamba menangis karena takut kepada Allah untuk suatu ummat itu, niscaya Allah akan memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba itu” (dalam Assamarqandi, 1980: 885).

Berdasarkan hadist di atas, orang yang menangis karena takut pada Allah airmatanya tersebut akan menyelamatkannya dari api neraka. Artinya, orang-orang yang takut pada Allah sungguh-sungguh menjaga perilaku selalu di jalan Allah karena ia sadar bahwa hidupnya akan berakhir dengan kematian dan ada kehidupan lain setelah kematian. Orang yang sudah meninggal dunia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Islam mengajarkan tatacara memperlakukan mayat mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, hingga menguburkan. Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
9. Klambine diganti putih 9. Bajunya diganti putih
Nek budal ora bisa mole Jika berangkat tak bisa kembali
Tumpak ane kereta jawa Kendaraannya kereta Jawa
Roda papat rupa menongsa Beroda empat berupa manusia

13. Oma e rupa goa 13. Rumahnya serupa Go’a
Ora bantal ora keloso Tak ada bantal ataupun tikar
Omah e gak nok lawange Rumahnya tidak ada pintunya
Turu ijen gak nok rewange Tidur sendirian tak ada yang menemani
(Tr.III) (Tj.III)
Bajunya diganti putih berarti orang yang meninggal dikafani. Kendaraannya kereta jawa beroda empat berupa manusia, artinya sesudah dishalatkan mayat tersebut dibawa menuju kuburan dengan alat berupa tempat khusus mayat yang dibawa ’digotong’ manusia. Setelah itu dikuburkan tanpa alas dan hanya berteman tanah. Inilah teks puji-pujian yang disuarakan untuk mengingatkan manusia akan kefanaan dunia. Memang, di antara pesan tasawuf (kesufian) yang terpenting adalah ajakan agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang kekal hanyalah Allah semata, maka dunia ini dipandang benar-benar bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Surat Jumu’ah 8 yang artinya sebagai berikut.
” Katakanlah bahwa sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri dari padanya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke-Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata. Selanjutnya Dia akan memberitahukan padamu semua apa-apa yang kamu lakukan”.

Perintah untuk mmperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.
”Secerdik-cerdik manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.





BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teks puji-pujian yang menjadi data dalam penelitian ini mengandung nilai-nilai hakekat hidup sebagai berikut.
a. Adanya lima kewajiban muslim yang dikenal dengan rukun Islam sebagaimana ajaran Islam, yakni membaca shahadat, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji ke Baitullah.
b. Memperbaiki diri (obat hati) dengan lima perkara, yakni (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2)memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Siapa yang mampu menjalankan salah satunya akan mendapat ridlo dari Allah SWT dan mendapat ketenangan hati.
c. Memperbanyak mengingat kematian karena mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian. Inilah inti ajaran Tasawuf yaitu melakukan zuhud, artinya yakni memalingkan muka dari keduniaan yang berlebih-lebihan dan menghapus harta benda di dalam hati, yang tidak ada hubungannya dengan akhirat, memperbanyak mengingat Allah dan mendekatkan diri pada Allah.

B. Saran
Puji-pujian sebagai salah satu produk budaya dan kajian sastra lisan saat ini kebedaannya masih dapat dilacak di kampung-kampung di daerah sekitar Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Sebagai produk budaya khas Indonesia tentunya keberadaannya perlu mendapat apresiasi positif dari masyarakat terutama para pakar budaya maupun pakar sastra lisan. Untuk itu, diharapkan pengkajian-pengkajian ilmiah lebih marak agar ada pendokumentasian yang lebih sistematis mengenai hal tersebut.











DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin. 1985. 40 Masalah Agama Jilid III. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
Abubakar, Imam Taqiyudin bin M Al-Husaini. 1995. Kifayatul Akhyar : Kelengkapan Orang Saleh. Syarifuddi Anwar (Terj.) Surabaya: Bina Ilmu.
Addimasyqi, M. Jamaluddin Alqasimi. 1983. Mau’izhatul Mukminin (Ringkasan dari Ihya Ulumuddin). Abdai Rathony (Terj.). Bandung: CV Diponegoro.
Assamarqandi, Abu Laits. 1980. Tanbihul Ghofilin (Peringatan bagi Yang Lupa). Salim Bahreisy (Terj.). Surabaya: Bina Ilmu
Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Baqi, M. Fuad Abdul. 1990. Al’Lu’lu wal Marjan 1 (Himpunan Hadist Shahih Yang Disepakati Buchari dan Muslim 1). Salim Bahreisy (Terj.) Surabaya: Bina Ilmu.
Baqi, M. Fuad Abdul. 1990. Al’Lu’lu wal Marjan 2 (Himpunan Hadist Shahih Yang Disepakati Buchari dan Muslim 2). Salim Bahreisy (Terj.) Surabaya: Bina Ilmu.
Dahlan, M.D, dkk. 1988. Hadist Qudsi , Firman Allah yang Tidak Tercantum dalam AlQur’an (Pola Pembinaan Akhlak Muslim). Bandung: CV Diponegoro
Depag RI (Ed.). 2007. Alqur’an Terjemah Per-Kata. Distributed by Sygma.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan (Pengantar Studi Sastra Lisan). Jatim: HISKI Komisariat Jatim.
Rahimsyah, MB. Tanpa tahun. Kisah Perjuangan Wali Songo (Penyebar Agama Islam di Jawa). Surabaya: Sandi Tama.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.






Lampiran

Transkripsi dan Terjemah Puji-pujian Menjelang Jamaah Sholat Fardlu

I. Rukun Islam

2. Rukune Islam- rukune Islan ana lima 1. Rukunnya Islam ada lima
Siji syahadat, loro sholat,telu zakat Satu Syahadat, dua shalat, tiga zakat
Papat poso, lima haji ing Baitullah Empat Puasa, Lima haji ke Baitullah
Amin ya Allah, Amin ya Allah Amin Ya Allah, Amin Ya Allah
6. Robbal Alamin Robbal Alamin

II. 1. Tombo ati iku limo sak wernane Obat hati ada lima macam
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane Yang pertama membaca Quran dan maknanya
Kaping pindu shalat wengi lakonono Yang Kedua lakukan shalat malam
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono Yang ketiga berkumpullah dengan orang shaleh
5. Kaping papat kudu weteng engkang luwe Yang keempat perut harus lapar
Kaping limo dzikir wengi engkang sue Yang kelima dzikir malam yang lama
Salah suwijine sapa bisa ngelakoni, Salah satunya siapa bisa melaksanakan
Insya Allah Gusti Allah ngijabahi Insya Allah Allah mengabulkan

III.1. Shalatulloh salamullah
Ala toha Rasulillah
Shalatulloh salamullah
Ala yasin habibilllah

5. Ilingono para timbalan 5. Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil
Timbalane ora keno wakilan Panggilannya tak bisa diwakilkan
Timbalane kang maha mulya Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Gelem ora bakal lunga Mau-tak mau harus pergi

9. Klambine diganti putih 9. Bajunya diganti putih
Nek budal ora bisa mole Jika berangkat tak bisa kembali
Tumpak ane kereta jawa Kendaraannya kereta Jawa
Roda papat rupa menongsa Beroda empat berupa manusia

13. Oma e rupa goa 13. Rumahnya serupa Go’a
Ora bantal ora keloso Tak ada bantal ataupun tikar
Omah e gak nok lawange Rumahnya tidak ada pintunya
Turu ijen gak nok rewange Tidur sendirian tak ada yang menemani





PANDANGAN TENTANG HAKEKAT MANUSIA DALAM PUJI-PUJIAN MENJELANG SHALAT FARDLU
(KAJIAN ILMU TASAWUF)



Tugas Mata Kuliah Filologi
Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Haris Supratno














Faiqotur Rosidah
(09745005)


PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Juli, 2010