Jumat, 11 Maret 2011

Humanity Side " The Kite Runner"

Melihat Sisi Kemanusiaan Novel The Kite Runner
(Tinjauan Sosiologi Sastra)

A. Pengantar
“Kisah yang sangat kuat… tidak ada yang sia-sia, tidak ada omong kosong, semuanya disajikan dengan keras dan apa adanya… tentang keluarga, persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa. Tidak perlu berpikir panjang untuk menikmati buku ini. Beberapa bagian dari The Kite Runner memang membawa kepedihan, tetapi keseluruhan buku ini ditulis dengan indah.” , demikian pernyataan yang ditulis oleh The Washington Post Book World dalam pengantar buku ini.
Sebagai novel bestseller The Kite Runner memiliki banyak kelebihan sehingga digemari banyak bahkan berjuta orang di seluruh dunia. Novel yang berlatar Negara yang penuh dengan gejolak politik dan peperangan, Afganistan, di tahun 1970-an hingga 2000-an ini, yang memukau lebih dari 8 juta orang, telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa, lebih dari dua tahun menjadi novel bestseller di daftar New York Times Bestseller. Bahkan di tahun 2008, isi novel ini telah dibuat menjadi film oleh Paramount Pictures.
Seperti halnya karya sastra yang lain, novel ini menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan yang universal. Karena pengarang adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus, pengarang memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu (Wellek dan Warren, 1995 : 109). Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut teori sosiologi sastra (Damono, 1978: 6). Istilah dan pengertian sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra. Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Kembali pada novel The Kite Runner yang kaya akan sisi kemanusiaan, tulisan ini mencoba mengkaji novel tersebut dari segi sosiologi sastra. Hal ini sudah jelas dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa karya sastra memang merupakan cerminan masyarakat dan karya satra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya, karya sastra termasuk di dalamnya novel, ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah kajian sosiologi sastra dalam novel The Kite Runner dengan batasan-batasan : (1) kondisi sosial, ekonomi, politik dalam novel, dan (2) sisi kemanusiaan dalam novel. Dengan demikian tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran mengenai (1) kondisi sosial, ekonomi, politik, dan (2) sisi kemanusiaan dalam novel The Kite Runner. Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang rinci tentang situasi dan kondisi politik, sosial dan ekonomi yang berkembang pada saat kondisi-kondisi tersebut menjadi tema sentral novel ini, ditinjau dari teori sosiologi sastra. Dengan demikian, akan terbukti bahwa novel ini merupakan karya sastra yang tegolong dalam kategori bestseller.


B. Kajian Teori
1. Kritik Sastra
Berdasarkan bidang kegiatannya, kritik sastra dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pendifinisian, pengklasifikasian, penganalisisan, dan pengevaluasian karya sastra (Abrams, 1981 : 35) atau ‘pembicaraan atau tulisan yang membanding-bandingkan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra’ (Sudjiman, 1990 : 46). Sementara Budi Darma ( Ed. Mursal Esten, 1988 : 63) mengemukakan bahwa hakikat kritik sastra adalah menjabarkan, menganalisis, membuktikan, menjuruskan, dan memberikan argumentasi terhadap karya sastra, sehingga kritikus dituntut untuk menalarkan intuisinya.
Kritik sastra dibedakan atas kritik sastra teoritis (theoretical criticism),dan kritik praktis atau terapan (practical critisism). Kritik teoritis berusaha menyususn, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat peristilahan yang koheren, perbedaan, dan kategori, yang diaplikasikan dalam mempertimbangkan dan menginterpretasi karya sastra (Sudjiono, 2003 : 4). Kritik teoritis juga berupaya menetapkan kriteria, standar, atau norma yang digunakan untuk mengevaluasi karya sastra dan pengarangnya. Sementara itu kritik praktis atau krititk terapan adalah kritik yang pembahasan atau pengevaluasian karya sastra dengan prinsip-prinsip teoritis yang implisit (Abrams, 1981).

2. Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia (Hurton dan Hunt, 1991:23). Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3). Ilmu yang menggabungkan keduanya ( sosiologi dan satra) disebut sosiologi sastra.
Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren (1995) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Pembagian yang dikemukakan Wellek dan Warren hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1978) bahwa telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal : (1) konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya; (2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat; dan (3) fungsi sosial sastra, dalam hal ini sampai berapa jauh nilai sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyrakat pembaca.
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi pada zaman karya sastra itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat lepas darinya. Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra mengkaji hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sitem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Sosiologi sastra juga merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai lingkup yang luas, beragam, dan rumit, menyangkut pengarang, karyanya, dan pembacanya.
Salah satu kajian sosiologi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan. Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada tempat-waktu-suasananya, sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya (Putu Wijaya dalam tulisannya yang berjudul Sastra sebagai Refleksi Kemanusiaan).
Menurut Putu Wijaya (pb@diknas.go.id) Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
C. Metode Kajian
Sesuai dengan kajian teori pada bagian sebelumnya, metode kajian novel ini adalah dengan menggunakan pendekatan sosiologi satra. Dengan prosedur sebagai berikut. Pertama, novel The Kite Runner dibaca secara mendalam (close reading). Kedua, memahami dan menganalisis aspek yang menonjol dalam novel untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam kegiatan kritik sastra. Ketiga, menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk analisis novel. Adapun tahap terakhir adalah mendeskripsikan hasil kritik sastra berdasarkan pendekatan dan fokus bahasan dalam kajian ini.

D. Pembahasan
1. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam Novel The Kite Runner
Adanya perbedaan kelas sosial dalam kisah The Kite Runner, yaitu kelas atas yang direpresentasikan oleh Amir dan keluarganya, dan kelas bawah yang direpresentasikan oleh Hasan. Selain itu juga terdapat perbedaan etnis antara Hasan dan Amir yang memunculkan jarak diantara mereka. Berikut kutipannya.
”Semua orang setuju bahwa ayahku, Babaku telah membangun rumah tercantik di distrik Wazir Akbar Khan, lingkungan baru dan mewah di bagian utara kota Kabul. Beberapa orang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah terindah si seluruh Kabul. Jalan masuk luas yang dihiasi oleh rumpun-rumpun mawar membentang menuju rumah besar berlantai marmer dengan jendela-jendela yang lebar. Ubin mosaik berpola rumit, dipilih sendiri oleh Baba di Isfahan, melapisi lantai keempat kamar mandinya. Permadani-permadani bersulam benang emas yang dibeli Baba di Kalkuta terpasang berjajar di dinding; seperangkat lampu gantung kristal menghiasi langit-langit yang melengkung (prg.4 hlm.16).”

Kondisi keluarga Amir pada kutipan di atas sangat berbeda dengan kondisi keluarga Hasan yang menjadi pelayan keluarga Amir. Rumah Hasan berada cukup jauh di belakang rumah Amir, akan tetapi masih berada dalam lingkup pekarangan rumah keluarga Amir. Berikut kutipannya.
”..............................................................................................................
Hasan menuju pondok tanah liat tempatnya dilahirkan, tempat ia menjalani seluruh hidupnya. Dalam pondok itu, dua matras terletak berseberangan , diantaranya terbentang sehelai karpet Herati usang dengan pinggir menipis, juga sebuah bangku kecil berkaki-tiga dan meja kayu di sudut tempat Hassan menggambar. Dinding ruangan itu diniarkan telanjang. Hanya tertempel satu permadani bersulam manik-manik yang membentuk kata Allahuakbar yang dibeli Baba untuk Ali. Dalam salah satu kunjungannya ke Mashad (prg. 2 hlm. 19).”

Berdasarkan dua kutipan di atas, pembaca dapat mengetahui perbedaan kelas sosial-ekonomi kedua tokoh tersebut. Amir sebagai majikan dan Hasan sebagai pelayannya. Tidak hanya itu, perbedaan etnis juga mewarnai kisah kehidupan dua sahabat dalam novel ini. Amir berasal dari etnis Pasthun yang dianggap kelas tinggi sedangkan Hasan berasal dari etnis kelas rendah. Berikut kutipannya.

”................................................................................................................ Di dalamnya, aku membaca bahwa kaumku, kaum Pasthun, telah menindas dan memperlakukan kaum Hazara dengan buruk. Di situ dikatakan bahwa pada abad ke-19 kaum Hazara pernah mencoba melawan kaum Pasthun, namun kaum Pasthun telah ”menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan”. Buku itu menjelaskan bahwa kaumku telah membantai bangsa Hazara, mengusir mereka dari tanah mereka, membakar rumah mereka, dan menjual para wanitanya. Buku itu menjelaskan bahwa sebagian kaum Pasthun menindas kaum Hazara adalah karena kaum Pasthun menganut mazhab Sunni, sedangkan kaum Hazara menganut mazhab Syi’ah. Buku itu menjelaskan beberapa hal yang tak pernah disebut-disebut oleh guruku, juga menjelaskan beberapa hal yang sudah kuketahui, seperti nama-nama yang digunakan orang untuk menyebut kaum ini; pemakan tikus, pesek, keledai pengangkut barang. Aku pernah mendengar beberapa anak di lungkungan kami meneriakkan nama-nama itu pada Hasan (prg. 1 hlm. 23).”

Kutipan di atas, sesuai dengan penjelasan pada halaman sebelumnya.
”Mereka menyebutnya ”pesek” karena begitulah ciri-ciri fisik Ali dan Hasan, ciri-ciri kaum Mongol Hazara. Selama bertahun-tahun, hanya hal itulah yang kuketahui tentang kaum Hazara, bahwa mereka berasal dari keturunan Mongolia, dan mereka sedikit mirip dengan orang Cina. Mereka hampir tidak pernah disebut-sebut dalam buku pelajaran sekolah dan kalaupun pernah, hanya asal usul mereka yang dibahas sambil lalu (prg. 3 hlm.22).”

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan kelas sosial-ekonomi menyebabkan kelas atas lebih berkuasa atas kelas bawah. Demikian halnya dengan Amir dan Hassan. Meskipun mereka ’bersahabat’, dominasi Amir atas Hassan sangat tampak dalam kisah ini. Hassan selalu menuruti apapun yang diperintahkan Amir bahkan akan membela Amir dengan segenap nyawanya. Pernah suatu ketika Amir diejek dan akan dianiaya oleh Assef, anak tetangga dari etnis Pasthun keturunan Jerman di komplek mereka tinggal, cepat-cepat Hassan membela Amir dengan mengarahkan ketapelnya ke arah mata Assef dan mengancam Assef seperti dalam kutipan berikut.
”Aku berbalik dan berhadapan langsung dengan ketapel Hasan. Hasan telah menarik tali elastisnya yang lebar jauh ke belakang. Di tengahnya batu sebesar biji kenari siap dibidikkan. Hasan mengarahkan ketapelnya, tepat ke wajah Assef. Tangannya gemetar menahan tegangan tali elastis dan butiran-butiran keringat bermunculan di keningnya (prg. 4 hlm. 64).”

Lain halnya dengan Amir yang tidak mampu melindungi Hasan ketika Hasan berada dalam bahaya. Sewaktu Hasan dianiaya oleh Assef dan kedua temannya, Amir tidak mampu membela Hasan. Bahkan ia bersembunyi dan hanya menyaksikan perlakuan Assef yang tidak senonoh terhadap Hasan.
”Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan. Satu kesempatann terakhir untuk memutuskan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hasan-seperti yang selalu dilakukannya untukku- dan menerima apapun yang mungkin terjadi padaku. Atau aku bisa melarikan diri. Akhirnya, aku melarikan diri karena aku adalah seorang pengecut. Aku takut terhadap Assef dan apapun yang mungkin dilakukannya untukku.... (prg. 3, hlm. 110).”

Kisah The Kite Runner berlatar Afganistan sekitar tahun 1970-an sampai dengan 2000-an. Kisah ini menggambarkan keadaan negara Afganistan yang kacau akibat perang saudara dan krisis politik. Pada masa itu Afganistan dikuasai Rusia. Selanjutnya Kabul diduduki Shorawi. Dan pada bagian akhir cerita dikisahkan kekuatan Taliban yang menguasai negara itu, seperti dalam kutipan berikut.
”Kalaupun saat itu belum berakhir, setidaknya itu adalah awal dari sebuah akhir. Akhir yang sebenarnya terjadi pada April 1978 saat kaum komunis melakukan kudeta, lalu pada Desember 1979, saat tank-tank Rusia berjalan melewati jalanan kota tempat aku dan Hasan biasa bermain, mengambil nyawa orang-orang Afganistan yang kukenal dan memulai masa-masa pertumpahan darah yang terus berlangsung hingga sekarang (prg. 1 hlm. 57).”

Pada malam 17 Juli 1973, masa kekuasaan monarki berlalu. Raja Zahir Shah sedang berada di Itali, sepupunya Daud Khan melakukan kudeta tanpa pertumpahan darah. Namun warga Afganistan merasa cemas dan takut karena mereka menutup semua jalan dan memutus saluran telepon. Dan sekitar tahun 1978-1979, Afganistan dikuasai oleh Rusia. Empat tahun kemudian, Kabul berada di bawah pendudukan Shorawi. Saat itulah keluarga Amir mengungsi ke Amerika. Seperti yang tertulis dalam novel ini.

“………………………………………………………………………… Karim adalah seorang penyelundup pengungsi-saat itu pekerjaan ini menghasilkan uang melimpah. Dia memberikan tumpangan pada setiap orang yang melarikan diri dari Kabul yang berada di bawah pendudukan Shorawi ke Pakistan yang relatif aman. Saat itu, dia sedang membawa kami ke Jalalabat, sekitar 170 km di sebelah tenggara Kabul… (prg. 3 hlm. 154).”

Pada akhir 1990-an atau sekitar tahun 1998 sebagian Afghanistan dikuasai oleh tentara Taliban. Namun demikian, pendudukan Taliban tidak membawa ketentraman bagi warga Afghanistan bahkan terjadi pembantaian kaum Hazara. Seperti dalam kutipan berikut.
“Aku membaca berita di surat kabar tentang pembantaian kaum Hazara di Mazar-i-Sharif. Peristiwa itu terjadi beberapa saat setelah Taliban mengambil alih Mazar, salah satu dari kota-kota terakhir yang jatuh ke tangan mereka... (prg. 4 hlm. 369).”

Situasi politik Afghanistan yang dikisahkan dalam novel ini sesuai dengan kenyataan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan berita berikut.
”Jakarta, RMOL. Sejarah akan berulang. Seperti Uni Soviet, Amerika Serikat pun tak akan dapat menaklukkan Afghanistan. Begitu keyakinan mantan komandan pasukan Tentara Merah Uni Soviet Jenderal Victor Yermakov. Ia memimpin Divisi ke-40 Tentara Merah di Afghanistan antara Mei 1980 sampai November 1983, dan merupakan satu dari enam panglima Uni Soviet yang memimpin Tentara Merah di Afghanistan sejak invasi tahun 1979.
Upaya Kremlin menginstal pemerintahan Marxis di Afghanistan yang berlangsung selama sembilan tahun berakhir dengan duka. Tak kurang dari 15 ribu tentara Soviet tewas, sementara pertumbuhan ekonomi terjerambab. Antara 1988 sampai 1989, dengan rasa malu yang tak tertahankan Soviet menarik mundur 100 ribu tentaranya dari belantara Afghanistan yang kejam (Rakyat Merdeka. co. id)
”Afghanistan telah mengalami 20 tahun perang, dan tahun ini telah membawa dampak terburuk dalam beberapa dasawarsa. Taliban, terlatih sejak zaman negeri mereka diperangi Russia pada tahun 1980-an, dan kini oleh AS dan sekutunya, terus berdiri di atas kaki mereka. “Ini tanah kami. Meski luka dan mati tertanam di sini.” ( Eramuslim.com).
Kisah nyata negeri Afghanistan yang memilukan tergambar jelas dalam The Kite Runner ini. Dalam novel ini dikisahkan secara kronologis mulai pendudukan Jerman, Rusia, sampai pada Taliban, seolah pembaca menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa tersebut.

2. Sisi Kemanusiaan The Kite Runner
Hal yang menjadi perhatian utama dalam novel ini adalah masalah persahabatan yang diwarnai dengan pengkhianatan. Dikisahkan tokoh Amir yang bersahabat dengan Hassan. Usia Amir yang hanya terpaut satu tahun dengan Hassan membuat pertemanan mereka terasa alamiah. Seringkali mereka berjalan-jalan ke bukit yang tak jauh dari rumah mereka ataupun bermain layang-layang bersama. Amir sering membacakan cerita untuk Hassan. Namun demikian, Amir terkadang membohongi Hassan dengan membelokkan cerita dengan mengarang ceritanya sendiri. Hassan akan selalu bersorak jika ceritanya telah berakhir dan ia takkan pernah tahu jika Amir membelokkan ceritanya karena Hassan tidak bisa membaca.
Suatu ketika Amir dibantu Hassan memenangi turnamen layang-layang yang diadakan di distriknya. Ia ingin kemenangannya itu menjadi pembuktian pada Babanya-sebutan untuk ayah- bahwa ia anak laki-laki yang bisa dibanggakan orangtuanya. Amir merasa ayahnya tidak pernah menyayanginya karena ia anak yang lemah. Ia tidak suka main bola ataupun permainan-permainan lain yang dianggap ’keras’ olehnya. Hal ini sangat berbeda dengan karakter ayahnya yang seorang pemburu hebat, penyuka olah raga keras dan juga seorang pengusaha yang hebat. Amir lebih suka tenggelam dalam buku-bukunya ataupun menulis ceritanya.
Hassan yang setia ingin menghadiahkan layang-layang kemenangannya pada Amir meski dia harus mengalami peristiwa yang membuat hidupnya berubah sejak saat itu. Peristiwa itulah yang mengubah persahabatan mereka karena sebenarnya Amir menyaksikan pelecehan seksual yang dilakukan Assef pada Hassan dari kejauhan. Sejak itulah Amir mencari cara untuk mengusir Hassan dari rumahnya karena ia tidak ingin melihat wajah ’tak berdosa’ Hassan dan Hassan berhasil.
”Baba tidak membuang waktu untuk bertanya, ”Benarkah kau mencuri uang itu?” ”Benarkah kau mencuri arloji Amir, Hassan?” Hasan menjawabnya dengan satu kata, dengan suara serak dan bergetar: ”Ya.” Wajahku mengernyit. Rasanya seperti baru ditampar. Hatiku teriris dan akupun hamper meneriakkan segala kebenaran. Namun tiba-tiba aku memahami: Inilah pengorbanan terakhir Hassan untukku………………………………………………………………….
Dia tahu bahwa aku telah mengkhianatinya dan dia tetap menyelamatkanku sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saat itulah aku menyadari bahwa aku menyayangi Hassan. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar daripada rasa sayangku pada siapapun juga. Dan aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah ular yang merayap di rerumputan, monster yang bersembunyi di danau. Aku tidak pantas mendapat anugerah pengorbanannya. Aku adalah seorang penipu, pengkhianat, dan pencuri. Namun sebagian dari diriku merasa lega. Aku merasa lega karena semua ini akan berakhir. Baba akan memecat mereka, akan ada sedikit rasa sakit, namun kehidupan akan tetap berjalan. Aku menginginkannya, melanjutkan kehidupanku, melupakan, memulai dengan awal baru. Aku ingin bisa bernafas lagi... (prg.2 hlm. 146).”
Pada bagian tersebut, Amir sebenarnya membohongi dirinya sendiri dengan cara mengusir Hassan dari rumahnya. Karena pada hakikatnya di dalam lubuk hatinya, ia sangat menyayangi Hassan, bahkan ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri ketika tidak mampu membela Hassan waktu itu. Rasa bersalahnya selalu menghantui dirinya sepanjang hidupnya. Hingga pada bagian akhir dia ingin menebus kesalahan itu dengan mengadopsi Sohrab, putra Hassan satu-satunya.
E. Penutup
The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Pengarang dengan cerdas menghadirkan sisi-sisi lain Afghanistan, negeri indah yang menyimpan banyak duka.
Masalah-masalah sosial yang dikemukakan pengarang adalah masalah perbedaan kelas sosial, status ekonomi, dan etnis. Selain itu, masalah seputar politik juga digambarkan dalam novel ini yang diwarnai dengan berbagai sisi kemanusiaan lainnya.
Dengan membaca novel ini, kita akan semakin memaklumi mengapa novel inii begitu disukai banyak orang dan mendapatkan berbagai pengahrgaan. Selain mendapat hiburan, pembaca juga mendapat banyak manfaat dengan membaca novel ini. Seperti halnya prinsip karya sastra Dulce et Utile, dengan membaca kita mendapat manfaat.

























DAFTAR PUSTAKA

Abram, M.H. 1981. A Glossary of Literature Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas.
Hosseini, Khaled. 2008. The Kite Runner. Bandung: Qanita.
Horton, Paul B dan Chester L.Hunt. Edisi Keenam. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Soedjiono. 2003. Kritik Sastra. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Diknas.
Welleck, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
//http : //www. pb@diknas.go.id
//http ://www. eramuslim.com
//http : //www. rakyatmerdeka.co.id

















Melihat Sisi Kemanusiaan Novel The Kite Runner
(Tinjauan Sosiologi Sastra)

( Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Sastra Umum
Dosen Pengampu Prof.Dr. Fabiola D Kurnia, M.A )















Oleh
Faiqotur Rosidah (09745005)








PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Mareti, 2010

Lampiran Sinopsis
The Kite Runner
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Amir yang tumbuh bersama Hasan, anak pelayannya. Waktu kecil Amir dan Hassan senantiasa bersama. Ibu Amir telah meninggal saat melahirkan Amir. Ayahnya seorang yang berpengaruh dan dihormati dalam masyarakatnya. Ayahnya seorang pria sejati, pemberani dan berkemauan keras. Kenyataan bahwa karakter Amir jauh dari pandangan ayahnya tentang pria sejati membuat jarak antara mereka. Amir yang penggemar sastra, pandai membuat cerita. Tapi bukannya ayahnya, malah Rahim Khan, sahabat rekan bisnis ayahnya yang memberikan apresiasi atas kepandaiannya ini. Selama ini, Rahim Khanlah yang dapat menyelami perasaan Amir atas sikap keras ayahnya. Harapan ayahnya, puteranya pandai sepakbola dan kegemaran lain semacamnya yang lebih 'bersifat lelaki'. Amir kecil menjadi merasa dirinya tak cukup baik bagi ayahnya, bahkan berprasangka ayahnya membencinya karena ia membunuh ibunya..
Hassan dan ayahnya, Ali, sebagai pembantu keluarga Amir tinggal di gubuk kecil di belakang rumah Amir yang besar. Ibu Hassan adalah seorang penari cantik yang kabur setelah melahirkan Hassan. Hassan memiliki segala hal yang dapat membuat anak-anak berandal seusianya mencemoohnya. Ia keturunan Hazara, sebuah etnis minoritas yang dalam masyarakatnya di anggap rendah. Ia juga berbibir sumbing, dan ayahnya menderita polio.
Meski Amir dan Hassan layaknya kawan bermain yang akrab, tapi kenyataan bahwa Amir adalah tuan dan Hassan adalah pelayan mewarnai persahabatan mereka. Tanpa diminta, Hassan selalu bertanggungjawab atas kenakalan mereka yang sebenarnya muncul dari ide Amir. Hassan anak yang cerdas dan berbakat, hanya saja ia tak bersekolah. Amir menyadari bahwa bakat Hassan melebihi dirinya. Ayah Amir juga sangat menyayangi Hassan. Hal ini membuat Amir memendam iri dan kerap berbuat tak adil terhadap Hassan, yang selalu bersikap menerima dan tak pernah marah. Sikap inilah yang semakin membuat Amir marah pada dirinya sendiri, tapi melampiaskannya pada Hassan.
Titik terpenting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Amir adalah saat turnamen layang-layang pada musim dingin 1975. Turnamen ini sangat bergengsi dan diikuti dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Turnamen baru berakhir jika di langit tinggal hanya satu layang-layang pemenang, tak peduli berapa lamanya pertandingan berlangsung. Layang-layang yang paling akhir terputus menjadi buruan paling dinantikan semua orang. Layang-layang itu menjadi simbol kebanggaan bagi yang berhasil menangkapnya.
Momen ini menjadi sangat penting bagi Amir yang ingin merebut perhatian dari ayahnya. Jika dia berhasil menjadi pemenang, dan mendapatkan layang-layang terakhir yang putus... Kala ragu menjelang momen ini, Hassan selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk meyakinkan Amir..
Amir memang mendapatkannya, tapi dengan harga mahal. Ia berhasil menyingkirkan layang-layang lain hingga tinggal punyanya sendiri dan sebuah layang-layang biru tangguh yang lain di langit. Atas strategi arahan Hassan, akhirnya layang-layang biru itu putus juga. Segera Hassan bersedia mengejar dan tangkapkan layang-layang itu untuk Amir. Saat itulah kalimat itu terucap, "Untukmu, yang keseribu kalinya". Sebuah kalimat kesetiaan Hassan yang tak habis-habisnya untuk Amir.Larinya Hassan sangat cepat, hingga Amir tak bisa mengejarnya. Amir sembunyi saat melihat Hassan dengan layang-layang biru ditangannya, dihadang sekelompok anak berandal dipimpin Assef yang kejam.
Dibalik persembunyiannya, ia saksikan semuanya. Assef memaksa Hassan serahkan layang-layangnya. Assef mendendam pada Hassan yang pernah mengancam menembakkan ketapel pada matanya untuk membela Amir. Assef janji akan membebaskannya jika Hassan serahkan layang-layang. Tapi Hassan bergeming. Baginya, layang-layang itu untuk Amir.
Batin Amir bergejolak, apa ia akan membela Hassan seperti Hassan membela dia, dan kesampingkan bahaya? Tapi ia terlalu takut. Ia tidak kesana, sampai hal mengerikan terjadi. Hassan disodomi oleh Assef.
Sejak itu semua berubah. Amir tak bisa mengusir rasa bersalah. Ia bertanya-tanya adakah Hassan tahu, ia melihat semuanya? Meski Hassan bersikap biasa padanya, Amir tak bisa mengimbanginya. Tak tahan, Amir merasa perlu berjauhan dengan Hassan. Ia malah merancang sebuah tuduhan agar Hassan diusir. Meski ayahnya tak mau mengusir mereka, Hassan dan Ali tetap pergi. Dan hidup Amir justru semakin hampa.
Waktu berlalu, Amir dewasa kini tinggal di San Fransisco. Sejak pendudukan Rusia ke Kabul, Amir dan Ayahnya meninggalkan tanah air. Banyak hal telah dialami, ketegangan di pengungsian, jatuh miskin, usaha ayahnya untuk membiayai hidup di negeri orang dan sekolah Amir, hingga Amir menikah namun tak kunjung punya anak, sampai ayahnya wafat. Sebuah telepon dari Rahim Khan mengembalikan seluruh memori traumatis masa lalunya. Afganistan masih bergejolak dan tengah diduduki Taliban, tapi Rahim Khan justru memanggilnya kesana.
Orang seperti Amir mau meninggalkan San Fransisco yang nyaman & justru kembali ke tanah kelahiran yang sama sekali tak aman? Keputusan itu memang gila, tapi akhirnya Amir tahu itulah yang terbaik yang harus dilakukan untuk menebus dosanya. Seperti kata Rahim Khan, ”Ada jalan untuk kembali baik, Amir”.
Amir mendapati kebohongan terbesar selama hidupnya dari almarhum ayahnya sendiri, yang mengatakan bohong adalah mencuri kebenaran, dan mencuri adalah satu2nya dosa yang ada di dunia. Kebenaran justru terungkap dari Rahim Khan, bahwa Hassan adalah saudara tirinya, hasil perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali. Hassan dan istrinya sudah syahid, hanya meninggalkan sepucuk surat dan sebuah foto ia dan puteranya.
Misi Amir ke Afghanistan adalah mencari anak Hassan, Sohrab dan membawanya menjauh dari segala kengerian yang kerap terjadi bagi anak-anak dalam kondisi perang.Tentu tak semudah itu. Tapi Amir menjalaninya, menyaksikan negeri kelahirannya menjadi puing, merasakan seluruh kenangan masa kecilnya yang jauh, bahkan harus berhadapan dengan ketua Taliban yang berbahaya. Demi Sohrab, ia menempuh seluruh kesulitan. Ia kembali harus berhadapan dengan Assef yang menjadi pimpinan Taliban dan hampir membunuhnya jika saja saat itu ia tidak diselamatkan oleh Sohrab. Dengan segala perjuangannya ia mampu mengadopsi Sohrab dan mengasuhnya bersama Soraya.









Lampiran : Biografi singkat Khaled Hosseini


Khaled Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan di tahun 1965. Ayahnya adalah seorang diplomat dengan Kementrian Luar Negeri Afghanistan. Ibunya mengajar bahasa Farsi dan Sejarah di sebuah sekolah menengah yang besar di Kabul. Pada tahun 1976, Kementrian Luar Negeri Afghanistan merelokasikan keluarga Hosseini ke Paris. Pada saat mereka ingin kembali ke Kabul tahun 1980, sebuah kudeta komunis serta serangan pasukan Soviet membatalkannya.
Keluarga Hosseini kemudian pindah ke San Jose, California. Hosseini lulus dari SMA tahun 1984 dan meneruskan sekolah di Santa Clara University, di mana dia mendapatkan gelar S1 di Biologi di tahun 1988. Tahun berikutnnya ia masuk University of California – San Diego, di departemen Kedokteran. Ia menyelesaikan praktek kuliah kerjanya di Cedars-Sinai Hospital, Los Angeles
Hosseini adalah seorang Internist dan dia mulai menulis “The Kite Runner” di bulan Maret 2001, saat dia juga sedang praktek sebagai dokter. “The Kite Runner” telah diterbitkan dan menjadi bestseller di 38 negara. Novel ini juga mendapat penghargaan Humanitarian Award 2006 dari UNHCR. Novel keduanya “A Thousand Splendid Suns” diterbitkan di Amerika di Mei 2007 dan telah menjadi bestseller.

code mixing

CODE SWITCHING DAN CODE MIXING

A. Code Switching
“Code Switching atau alih kode adalah a linguistics term denoting the concurrent use of more than one language, or language variety, in conversation. Multilinguals, people who speak more than one language, sometimes use elements of multiple languages in conversing with each other. Thus, code-switching is the syntactically and phonologically appropriate use of more than one linguistic variety (wikipedia.com). Alih kode adalah istilah linguistik yang digunakan dalam dua bahasa atau lebih atau variasi bahasa dalam percakapan. Orang-orang multilingual seringkali menggunakan beberapa bahasa dalam percakapannya dengan orang lain. Oleh karena itu alih kode secara sintaksis dan fonologi sesuai dengan penggunaan bahasa yang beragam atau bervariasi.
Appel (1974:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Contoh peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh dua pembicara bahasa Sunda karena berubahnya situasi yakni datangnya Sitogar dari Tapanuli. Hymes (1974:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi juga dapat terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Lengkapnya Hymes mengemukakan, ”Code switching has become a common term for alternate us of two or more languages, varieties of language, or even speech style”.
Kridalaksana (1993:9) mendefinisikan alih kode sebagai penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Nababan (1989:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi, misalnya kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian alih kode di atas, kami menyimpulkan bahwa alih kode merupakan peralihan penggunaan bahasa yang bisa terjadi pada penutur monolingual, bilingual, dan multilingual. Pada umumnya, alih kode tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Pribadi pembicara; ini berkaitan dengan peran pembicara dalam satu komunikasi, misalnya seorang anak yang berbahasa Jawa dalam sebuah keluarga.
2. Hubungan pembicara dengan mitra pembicara; misalnya pembicara berkomunikasi dengan anggota keluarga dan masing-masing anggota keluarga tersebut memiliki cara berkomunikasi yang berbeda sesuai dengan perannya dalam keluarga.
3. Topik atau subtopik; misalnya di kantor yang semula membahas topik tentang pekerjaan beralih ke topik individu.
4. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga yang berlatar belakang bahasa berbeda. Misalnya dalam situasi nonformal yang melibatkan dua pembicara berbahasa sama, kemudian muncul orang ketiga yang berbeda bahasa dengan dua pembicara sebelumnya.
5. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; misalnya dalam situasi di kantor, antara bos dan karyawannya membicarakan topik yang bersifat formal beralih ke topik nonformal.
Berikut contoh dalam dialog sehari-hari.
Percakapan di bawah ini terjadi antara si A dan si B di kelas sambil menunggu dosen datang.
A : Kapan tugasnya dikumpulin?
B : Katanya seminggu lagi. Kamu udah selesai ta?
A : Mboh ki, kelompokku padha mbeler kabeh, kelompokmu piye?
B : Alah padha ae, aku pusing jadinya.
Pada contoh percakapan di atas ada alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya hubungan personal antara si A dan si B yang memiliki latar belakang bahasa yang sama. Kedua bahasa tersebut digunakan dalam konteks kehidupan sehari-hari mereka.
B. Code Mixing
Campur kode tidak bisa terlepas dari alih kode. Kedua istilah ini sering digunakan dalam satu peristiwa bahasa. Thelander dalam Chaer (2004:103) menjelaskan perbedaan antara alih kode dan campur kode. Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa yang lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.
Fasold (1984) memberikan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dan alih kode. Campur kode terjadi apabila seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa. Sedangkan alih kode terjadi apabila seseorang menggunakan satu klausa dalam struktur gramatika satu bahasa dan klausa-klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain.
Nababan (1989:32) menegaskan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaanya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Ciri yang menonjol dari campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian, hal ini disebabkan tidak ada ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
Berdasarkan uraian di atas perbedaan alih kode dan campur kode telah jelas teruraikan bahwa alih kode terjadi minimal dalam tataran klausa sedangkan dalam tataran fonem, morfem, kata, dan frasa percampuran bahasa tersebut dikategorikan campur kode. Salah satu judul yang dapat dikembangkan dalam sebuah penelitian mengenai alih kode dan campur kode ini adalah “ Alih kode dan campur kode dalam percakapan mahasiswa di kantin PPS UNESA”.

CODE SWITCHING DAN CODE MIXING

( Tugas Mata Kuliah Sosiolingistik
Dosen Pengampu Prof. Kisyani Laksono)











Oleh
Faiqotur Rosidah (09745005)









PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
April , 2010

DAFTAR PUSTAKA

Appel, Rene, dkk. 1976. Sosiolinguistiek. Utrech : Het Spectrum.
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Fasold, Ralp. 1984. Sociolinguistics of Society. New York : Basil Blacwell.
Kridalaksana, Harimurti. 11993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia
Nababan, P.W.J. 1989. Sosiolinguistik. Jakarta : Gramedia.

Selasa, 08 Maret 2011

Pengembangan Silabus

PENGEMBANGAN SILABUS DALAM PEMBELARAN BAHASA

1. Pengantar

Pada hakekatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis dan yang bersifat reseptif maupun produktif. Pendekatan semacam ini dikenal dengan istilah pendekatan komunikatif.
Istilah pendekatan (approach) dalam hal ini dibedakan dengan metode dan teknik. Anthony (1963) yang melahirkan istilah approach (pendekatan), method (metode) dan technique (teknik): Approach adalah “seperangkat asumsi yang berhubungan dengan hakikat bahasa, belajar, dan mengajar.” Method ialah “suatu rencana menyeluruh mengenai panyajian bahasa yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu. ” Technique ialah “kegiatan-kegiatan khusus yang diwujudkan di dalam kelas yang konsisten dengan metode, dan oleh karena itu juga sejalan dengan pendekatan.
Sejalan dengan Anthony, metode dalam pengajaran bahasa menurut Richards, (1986:176) adalah cara mengajarkan suatu bahasa yang didasarkan kepada prinsip dan prosedur yang sistematis, yakni penerapan pandangan tentang cara bahasa diajarkan dan dipelajari. Metode pengajaran bahasa yang berbeda seperti Direct method, audio-lingual method, grammar translation method, the silent way dan communicative approach merupakan hasil dari pandangan yang berbeda tentang; (a) hakikat bahasa; (b) hakikat belajar bahasa; (c) tujuan pengajaran; (d) jenis silabus yang digunakan; (e) peran guru, pelajar, dan materi pembelajaran; dan (f) teknik dan prosedur yang digunakan.
Di dalam pendekatan komunikatif, pengajaran bahasa haruslah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh berbagai kemampuan berbahasa yang dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pembelajaran dan penilaian bahasa harus melibatkan berbagai aspek kebahasaan sekaligus atau pengajaran yang bersifat whole language (Nurgiyantoro, 2001 : 186).
Dalam whole language terkandung pengertian keterpaduan antara berbagai fungsi bahasa dengan tata bahasa. Fungsi komunikatif bahasa berupa pemahaman (aktif reseptif) dan penggunaan (aktif produktif) bahasa, sedangkan tata bahasa adalah semua aspek yang terkait dengan sistem bahasa.
Richards & Rodgers (1989) mengemukan butir-butir penting berikut yang merupakan teori yang melandasi pengajaran bahasa. (1) Bahasa adalah suatu sistem pengungkapan gagasan; (2) Fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi; (3) Unit utama bahasa bukanlah semata-mata butir-butir tata bahasa dan strukturnya, melainkan kategori makna fungsi dan makna komunikatif.
Richard (2001 : 36) juga mengemukakan bahwa Communicative Langunge Teaching (CLT) is a broad approad to teaching that resulted from a focus on communication as the organizing principle for teaching rather than a focus on mastery of the grammatical system of the language. Pendekatan komunikatif adalah sebuah pendekatan yang luas mengenai pengajaran dengan lebih memfokuskan pada bahasa sebagai komunikasi daripada memfokuskan penguasaan sistem gramatikal bahasa.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa 5 ciri khas utama Pembelajaran Bahasa Komunikatif, yaitu: (1) Penekanan pada pembelajaran untuk berkomunikasi melalui interaksi dalam bahasa sasaran; (2) Pengenalan teks otentik dalam situasi pembelajaran;(3) memberikan kesempatan bagi pelajar untuk berfokus bukan saja pada bahasa tetapi juga pada proses belajar itu sendiri; (4) Peningkatan pengalaman pribadi pelajar sendiri sebagai unsur yang memberikan sumbangan terhadap hasil belajar di kelas; dan (5) Upaya menghubungkan pembelajaran bahasa di kelas dengan pengaktifan bahasa di luar kelas.
Dalam pembelajaran bahasa, pengembangan silabus dan kurikulum juga seharusnya mengacu pada pendekatan komunikatif. Silabus yang dikembangkan setidaknya mencakup tujuan, isi, strategi, dan evaluasi (Richard, 2001 : 39). Silabus yang pada hakekatnya adalah penjabaran kurikulum didesain untuk memberikan garis besar pokok-pokok materi (kompetensi) pembejaran dan menjawab pertanyaan apa yang harus dipelajari dan bagaimana membelajarkannya. Dengan demikian, pengembangan silabus pembelajaran bahasa diarahkan untuk menjabarkan keempat hal tersebut.
Kewajiban pengajar dalam mengembangkan silabus ini sesuai dengan amanat PP RI No. 19 Tahun 2005 Pasal 20 menyatakan : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Makalah ini akan menguraikan dua hal, yakni (1) pengertian silabus dan kurikulum; dan (2) pengembangan silabus. Penjelasan mengenai kedua hal tersebut akan ada pada bagian-bagian berikut.

2. Silabus dan Kurikulum
Rodgers (dalam Richard, 2001 : 39) mengemukakan bahwa Syllabi, which prescribe the content to be covered by a given course, form only a small part of the total school prrogram. Curriculum is a far broader concept. Curriculum is all those activities in which children engage under the auspices of the school. This includes not only what pupils learn, but how they learn it, how teachers help them to learn, using what supporting materials, styles and methods of assesment, and in what kind of facilities. Intinya adalah bahwa silabus merupakan bagian kecil dari keseluruhan program sekolah. Adapun kurikulum adalah keseluruhan aktifitas yang melibatkan siswa di bawah pengawasan sekolah. Keterlibatan itu tidak hanya mengenai apa yang harus mereka pelajari, tetapi juga bagaimana mereka mempelajarinya, bagaimana guru membantu siswa untuk mempelajarinya dengan menggunakan materi, gaya, dan alat penilaian serta menggunakan fasilitas pendukung lainnya.

Senada dengan pengertian di atas, Nurhadi (2004 : 65) mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Adapun silabus merupakan penjabaran kompetensi dan tujuan ke dalam rincian kegiatan dan strategi penilaian, kegiatan dan strategi penilaian, dan alokasi waktu per mata pelajaran per satuan pendidikan dan per kelas. Dengan demikian, silabus merupakan rancangan pembelajaran yang berisi rencana bahan ajar tertentu pada jenjang dan kelas tertentu, sebagai hasil dari seleksi, pengelompokan, pengurutan, dan penyajian materi kurikulum, yang telah dipertimbangkan berdasarkan ciri dan kebutuhan sekolah setempat.
Pengertian silabus di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil belajar. Kedua, komponen silabus menjawab : (1) kompetensi apa yang akan dikembangkan pada siswa; (2) bagaimana cara pengembangannya; dan (3) bagaimana cara mengetahui bahwa kompetensi sudah dicapai siswa. Ketiga, tujuan pengembangan silabus adalah membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya menjabarkan kompetensi dasar menjadi perencanaan belajar-mengajar. Keempat, sasaran pengembangan silabus adalah guru, kelompok guru mata pelajaran di sekolah, kelompok guru MGMP, dan dinas pendidikan.
Jelaslah bahwa silabus memuat garis-garis besar isi atau materi pembelajaran yang di dalamnya terdapat beberapa komponen, yakni standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, strategi pembelajaran, alokasi waktu, media dan sumber pembelajaran, dan penilaian.
Meskipun tampaknya silabus begitu banyak memuat rencana pembelajaran, silabus sebenarnya belum bisa diterapkan langsung ketika guru mengajar. Silabus haruslah dijabarkan lagi menjadi rencana pembelajaran atau lesson plan . Secara umum, silabus hanya berisi unit-unit (pengelompokan) kompetensi dasar yang disajikan dalam tabel. Silabus hanya memberikan keterangan per bagian sebatas pokok-pokoknya. Misalnya, dalam kolom strategi strategi pembelajaran tercantum keterangan ‘pengamatan langsung’, dalam RPP strategi ini diuraikan tahap-tahapnya, media, dan lingkungan belajar.

3. Pengembangan Silabus
Silabus memuat beberapa hal, yakni standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, strategi pembelajaran, media pembelajaran, alokasi waktu, sumber belajar, dan penilaian. Standar kompetensi adalah kebulatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu aspek keterampilan berbahasa (Nurhadi, 2004 :75). Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual.
Indikator merupakan ciri-ciri pencapaian kompetensi dasar. Adapun materi pokok atau bahan ajar adalah pokok-pokok materi yang dipakai untuk pembelajaran sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar. Strategi pembelajaran merupakan pola umum kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun lunak untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Penilaian dalam silabus berisi jenis tagihan, bentuk instrumen dan contoh instrumen ( Bahan materi pelatihan guru SMP/MTs Jombang, 2005).
Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan pengembanga silabus, yakni desain materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penilaian.

A. Desain standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pembelajaran
Materi atau bahan ajar yang akan dipelajari oleh siswa disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini diketahui dari standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Namun demikian, pengajar yang baik diharapkan mengetahui entri behavior serta menentukan analisis kebutuhan siswa. Munthe (2009 : 8) mengemukan ada beberapa pertimbangan yang harus diketahui pengajar untuk menentukan materi pembelajaran yang sesuai untuk siswa. Butir-butir pertimbangan ini mencakup : (1) desain atau organisasi bahan ajar mutlak harus menjawab visi dan misi sekolah; (2) urgensi mata pelajaran yang diajarkan, apakah mata pelajaran pengantar atau pendalaman; (3) alokasi waktu mata pelajaran per minggu; (4) jenjang sekolah yang diajar; (5) latar belakang kompetensi pembelajar; dan (6) prior knowledge yang dimiliki pembelajar.
Entri behavior adalah kompetensi yang ada dalam diri pembelajar sebelum proses pembelajaran diberikan. Menurut Dick and Carey (1985 : 125) entry behavior pembelajar dapat diketahui melalui pretes. “The pretest may consist of item that measure entry behavior and items that test skills that will be taught in the instruction”. Akan tetapi, entri behavior ini juga bisa diketahui melalui observasi, interview, maupun pengisian angket. Entri behavior ini cukup penting untuk mengetahui sejauh mana pembelajar memahami kompetensi dasar dan langkah yang harus diambil oleh pengajar. Siswa yang pernah mengikuti lomba pidato tentu entri behaviornya berbeda dengan siswa yang belum pernah berpidato dalam pembelajaran kompetensi dasar berpidato.
Seleksi materi diperlukan agar KD tidak meluas dan melebar. Kriteria penyeleksian materi ini adalah : (1) materi telah teruji kebenaran dan aktual (valid); (2) materi penting untuk dipelajari (significance); (3) materi bermanfaat secara akademis maupun non akademis (utility); (4) materi memungkinkan untuk dipelajari (learnability); (5) materi hendaknya menarik minat dan memotivasi siswa untuk mempelajari lebih lanjut (interest) (Materi Diklat MBS Diknas Jombang, 2005).
Materi yang akan disajikan sesuai dengan kompetensi dasar maupun indikator tersebut sebelumnya perlu dicermati termasuk dalam domain yang mana dan bagaimana tingkat kompleksitasnya. Di bawah ini tabel domain dalam level pembejaran.
Tabel Level Perubahan Belajar
Domain Kognitif, Afeksi, dan Psikomotor

Kognitif
Afektif Psikomotor Keterangan

1. Knowledge
2. Comprehension
3. Application
4. Analysis
5. Synthetis
6. Evaluation
1. Receiving
2. Responding
3. Valuing
4. Organizing
5. Characteristizing
1. Perception
2. set
3. Guided Respon
4. Mechanism
5. Complex Over Response
6. Origination Makin kebawah makin sulit
(Diadopsi dari Munthe, 2009 : 36)

Domain kognisi berorientasi pada kemampuan berpikir intelektual, dari yang paling sederhana sampai yang kompleks. Knowledge berupa menyebut ulang atau menghafal data, fakta, nama, benda. Seperti menyebutkan kalimat majemuk, jenis kata, dan lain-lain. Comprehension berupa menjelaskan dengan bahasa sendiri ( siswa ). Seperti menjelaskan dengan kalimat mereka sendiri definisi-definisi misalnya paragraf deskripsi adalah bla, bla, bla, dan sejenisnya. Application, contohnya menggunakan rumus, formula ke dalam kasus contoh menyusun kalimat dalam bentuk Simple Present Tense atau menyusun paragraf deskripsi. Analysis adalah menguraikan elemen, unsur, faktor, dan sebab-sebab contoh menguraiakan unsur-unsur instrinsik novel. Synthesis adalah kegiatan merangkum sesuatu yang terpisah pisah jadi satu. Contoh menentukan kesimpulan sebuah wacana. Adapun Evaluation merupakan kegiatan memberikan penilaian berdasar perspektif, sudut pandang atau kepentingan. Contohnya memberi komentar tentang penampilan drama.
Domain Kognisi di atas dalam membelajarkan satu kompetensi dapat dimungkinkan muncul beberapa tahapan domain. Misalkan dalam kompetensi dasar menulis paragraf deskripsi, tahap pertama siswa diberikan beberapa contoh paragraf deskripsi untuk memberikan pemahaman mengenai konsep deskripsi. Berikutnya, siswa menjelaskan apa yang dimaksud deskripsi beserta ciri-cirinya dan pada tahahan berikutnya baru siswa membuat paragraf deskripsi.
Domain Afeksi berorientasi pada perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap. Di bawah ini tabel domain afeksi beserta penjelasannya.
Tabel Domain Afeksi
No Tahapan Penjelasan
1 Recieving Aware of: passively attending to certain phenomenonand stimuli; e.g. listening
2 Responding Complies to give expectation by attending or reacting to stimuli or phenomenon; e .g. interests
3 Valuing Display behavior consistent with single belief of attitude in situation where he/she is not forcedto comply or obey
4 Organizing Commited to set of values as displayed by behavior
5 Characterizing Total behavior is consistenwith values internalized

(Adapted by Munthe, 2009 : 37)


Domain psikomotor berorientasi pada keterampilan motorik fisik, yaitu keterampilan yang berhubungan dengan anggota badan yang memerlukan koordinasi syaraf dan otot yang didukung oleh perasaan dan mental. Tahapan domain ini adalah sebagai berikut. Perseption adalah kegiatan menyiapkan gerakan. Set adalah tahap mencoba gerakan. Guilded response adalah meniru gerakan dengan contoh yang tersedia. Mechanism adalah bergerak dan meniru pola tanpa komando. Complex overt response adalah bergerak secara lancar, luwes, gesit, dan lincah. Adaptation adalah menyesuikan gerakan dengan konteks atau modifikasi gerakan. Origination adalah menciptakan gerakan baru ( Munthe, 2009 : 37).
Setelah mengetahui karakteristik kompetensi, pengajar menentukan indikator pencapaian siswa. Agar indikator ini mampu diukur, pengajar seharusnya menggunakan kata kerja operasional. Kata kerja operasional adalah kata kerja yang dapat diukur, dievaluasi, dicapai, dan dibuktikan (IAPBE, 2005). Kata kerja ini dapat membantu pengajar untuk menentukan indikator ketercapaian siswa. Ketepatan menggunakan kata kerja operasional perlu memperhatikan karakter kemampuan internal mental.

Konseptual Metafora

“The Figure in the Carpet”
(Penemuan atau ‘pengenalan’ kembali)
Yanna Popova

A. Ringkasan Cerita “The Figure in the Carpet”
Narator (Aku) memiliki teman penulis bernama Hugh Vereker. Narator, sebagai seorang pembaca sekaligus kritikus sangat tertarik dengan novel Vereker terbaru. Ia pun membuat review dan diterbitkan. Ia menemukan penulis ini "pintar," dan, tak lama setelah meninjau diterbitkan, Vereker bertemu di sebuah pesta akhir pekan. Seseorang ada salinan publikasi, dan memberikan kepada Vereker untuk membaca.
Dia menolak dan menganggap itu sebagai "omong kosong biasa," dan mengatakan bahwa penulis "tidak melihat apa-apa." Ketika narator sedang menuju ke kamar tidurnya, dia menyeberangi Vereker serta meminta maaf atas komentarnya, ia mengatakan bahwa narator hanya menemukan "petunjuk sedikit.". Mereka pun duduk untuk mendiskusikan hal tersebut. Namun demikian, Vereker tetap menolak usahanya dan menjelaskan bahwa semua kritik memiliki "kehilangan titik kecil saya," "hal tertentu saya telah menulis buku-buku saya yang paling baik menurut saya," "Inilah barang untuk kritikus untuk menemukan," "rahasia saya," "seperti sebuah kompleks tokoh dalam sebuah karpet Persia (gambar-tokoh dan cerita dalam karpet Persia).
Narator pun berdiskusi mengenai hal tersebut dengan Corviks , seorang editor media ‘The Middle ’, dan memiliki tunangan seorang novelis bernama Gwendolyn. Corviks sangat tertarik dan ia ingin menemukan misteri “The Figure in the Carpet”ini. Untuk mencapai harapan tersebut Corviks pergi ke India. Di India Corviks merasa menemukan jawaban atas teka-tekinya.
Corviks meninggal dalam sebuah kecelakaan tak lama setelah ia menikan dengan Gwendolyn. Narator pun ingin mengorek rahasia “The Figure in the Carpet” dari Gwendolyn. Akan tetapi, dia menolak.
Sejak Gwendolyn menolak untuk berbagi pengetahuan, narator berspekulasi, mungkin "angka” di karpet [itu] dapat dilacak . Selain itu, Narator juga menggunakan pendekatan personal pada suami Gwendolyn, Drayton Deane (setelah Corviks meninggal Gwendolyn menikah dengan Drayton Deane). Deane malah terkejut dan ‘terhina’ karena istrinya menyimpan rahasia itu. Pada akhirnya kedua orang ini (narrator dan Deane) berusaha menemukan “The Figure in the Carpet.

B. Linguistik Kognitif dan Konseptual Metafor
Kognitivisme mengacu pada teori linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97). Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik fungsional yang menawarkan prinsip yang sangat berbeda dari linguistik formal dalam memandang bahasa. Secara eksternal, linguis fungsional berpendapat bahwa prinsip penggunaan bahasa terwujudkan dalam prinsip kognitif yang sangat umum; dan secara internal mereka berpendapat bahwa penjelasan linguistik harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).
Metafora dapat didefinisikan sebagai penggunaan kata atau frasa untuk makna yang berbeda dari makna literalnya (Cruse 2004: 198). Dasar utama struktur konseptual metafor adalah hubungan antara visi dan intelektualitas di satu sisi serta sentuhan dan emosi di sisi lain. Proses intelektualitas dan emosional inilah yang membentuk makna terhadap kata, kalimat, atau wacana yang akan ‘ditafsirkan’. Lakoff dan Johnson (1987) mengemukakan bahwa hubungan metafora antara visi dan pemahaman, visi dan pengetahuan, visi dan manipulasi mental tidak arbitrar tetapi secara langsung ‘terpaksa’ (strictly constrained) atau apa yang disebutnya dengan istilah ‘perwujudan’ atau embodiment. ‘Perwujudan’ ini merupakan pola-pola berulang yang dihasilkan dari gerakan tubuh , manipulasi objek, dan interaksi persepsi dengan dunia (lingkungan atau alam), struktur konsep-konsep kita dan bahasa kita.
Kajian popova dalam “The Figure in the Carpet” dengan menafsirkan makna kata-kata yang diungkapkan tokoh mengenai istilah ini. Dia menggunakan pola konseptual metafor yang terwadahi dalam semantik kognitif. Artinya, dia mengungkapkan makna dengan pendekatan konseptual metafor pada kata-kata yang belum jelas atau ambigu dalam teks tersebut.
Konseptual metaphor dalam semantic kognitif merupakan penggabungan dari pengetahuan sebelumnya tentang perlambangan metafora. Terhadap kata-kata yang bermakna metaforis, pembaca atau pendengar dapat memahaminya dengan reinterpretasi dan menghubungkan makna kata tersebut dengan cara ‘konseptualisasi’. Dengan demikian kajian naskah dengan pendekatan Konseptual metaphor adalah kajian tentang sistem metaforis dengan tidak hanya melihat makna lateral suatu kata tetapi juga menafsirkan kata-kata tersebut dari sisi lain.








Popova menerapkan konseptual metaphor dengan cara (a) Understanding is seeing yang mengandalkan hubungan antara pengetahuan atau pemahaman yang mengandalkan brain (kognisi) dengan pemahaman yang mengandalkan vision atau seeing atau penampakan visual dari obyek yang dianalisis, di suatu sisi, atau pemahaman tentang sesuatu yang dihasilkan dari hubungan antara perasaan (emotion) dan sentuhan (touching); (b) Essence is internal yang mengandalkan pengetahuan dan pemahaman tentang ‘ciri2 khas atau keberadaan atau fitur-fitur internal yang menentukan keseluruhan atau keutuhan sesuatu’. Artinya, kekhasan yang sering tidak terlihat secara visual.
Dalam kajian ini, Popova juga menggunakan istilah Ironic readings dan Non-ironic readings. Ironic reading mengemukakan bahwa ‘the figure is simply an illusion’ (figure tersebut hanya sebuah ilusi belaka), dia bukanlah sebuah obyek riil yang harus dikejar-kejar dan dibuat menjadi nyata. Sebaliknya dengan non-ironic reading. Temuan melalui ironic reading ini sebenarnya akan sama dengan temuan dalam menerapkan konseptual metafor berbasis understanding is seeing dan essence is internal.