Minggu, 07 September 2008

-->


Arsip Berita


Arsip Cetak


Arsip Foto


Versi Cetak




-->

AC_FL_RunContent( 'codebase','http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=9,0,28,0','width','600','height','115','src','../imgs/bannerflashbaru','quality','high','pluginspage','http://www.adobe.com/shockwave/download/download.cgi?P1_Prod_Version=ShockwaveFlash','movie','../imgs/bannerflashbaru2' ); //end AC code







HOME
BERITA UTAMA
INTERNASIONAL
POLITIKA
OPINI
EKONOMI BISNIS
SPORTIVO
METROPOLIS
EVERGREEN
DETEKSI
SHOW SELEBRITI
MINGGUAN
Senin, 08 September 2008





-->


-->
Berita Utama

[ Senin, 08 September 2008 ]
Myra Sidharta, Psikolog yang 34 Tahun Teliti Kesastraan
Gembira Pergoki Jenderal Orde Baru Serius Baca Kho Ping Ho Penelitian 34 tahun menjadikan Myra Sidharta pakar cabang ilmu langka, kesastraan Melayu-Tionghoa. Ia hafal seluk-beluk semua karya penulis peranakan Tionghoa, mulai Kwee Tek Hoay hingga legenda penulis cerita silat Kho Ping Ho. Ternyata, semua itu berawal dari kebosanan menjadi psikolog. Eri Irawan-Anggit Satriyo, JAKARTA Tiga majalah Sin Po tergeletak di meja baca Myra Sidharta di rumahnya di bilangan Prapanca Raya, Jakarta Selatan. Tak jauh dari majalah terbitan awal abad ke-20 itu, ratusan literatur soal kebudayaan Tiongkok tertata rapi. Saat ditemui kemarin, perempuan 81 tahun itu masih tampak gesit bolak-balik mengambil berbagai buku untuk ditunjukkan kepada Jawa Pos. Saban hari aktivitas Myra banyak dihabiskan di balik komputer dan ruang baca yang terletak di beranda belakang rumahnya. Sisi-sisinya dikelilingi kaca tipis, sehingga sinar mentari bisa leluasa menembus ruangan. Di pelataran beranda terdapat kolam kecil dengan pepohonan lumayan rindang. Di sanalah Myra yang terlahir dengan nama Ew Yong Tjhoen Moy biasa menghabiskan waktu untuk membaca. Di belakang ruang seluas 4 x 6 meter itu terdapat ruang berukuran 1 x 2 meter tempat Myra menulis. Ada PC dan laptop, lengkap dengan lemari besar berisi ratusan buku. "Saya biasanya baru tidur di atas pukul 24.00. Baca dan nulis, itu membuat saya terus semangat," ujar perempuan kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, tersebut. Di luar itu, perempuan sepuh tersebut masih kerap beraktivitas dalam organisasi Hasta Dasa Guna. Yang ini organisasi orang-orang yang berusia 80 tahun sampai 100 tahun namun masih aktif. Myra bergabung dengan banyak istri tokoh, salah satunya Ny Rosihan Anwar. Memang, menyusuri setiap depa rumah Myra ibarat kita dibawa ke sebuah galeri. Pintu masuknya berukir naga. Memasuki ruang tamu, ada puluhan guci dan ukiran kayu berbagai bentuk. Meja dan kursi kayu ada di ruang tengah, dikelilingi lukisan berbagai corak. Dari ruang tamu yang bercampur ruang tengah itu, terdapat dua anak tangga menurun. Setelah lewat anak tangga itulah, dengan sisi tembok penuh sketsa, beranda ruang baca berada. Tepat di sisi bawah anak tangga itu terdapat lorong selebar dua meter. Di sisi kiri dan kanan lorong sepanjang sekitar delapan meter itu penuh dengan ribuan buku, mulai literatur klasik sampai modern. Buku-buku berbahasa Tionghoa tersebut kebanyakan dari warisan para saudaranya. Ada pula warisan kolega. "Kalau saya memang beda. Saya lebih suka mendapat peninggalan buku," ungkapnya. Lantai dasar itulah sejatinya "denyut nadi" rumah alumnus Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, tersebut. Myra adalah istri almarhum psikolog Prof Priguna Sidharta. Dia satu dari sedikit pemerhati kesastraan Melayu-Tionghoa di tanah air. Sebenarnya, Myra tak punya latar belakang pendidikan sastra. Gelar doktorandus bidang psikologi justru disandangnya. Dia sejatinya dosen di Fakultas Psikologi UI. Namun, bagi dirinya, ilmu tersebut terlalu membosankan. "Begitu pulang 1958 dari Belanda, di sini praktik psikolog belum sebanyak sekarang. Orang masih sulit menerima psikolog," ceritanya. Kala itu, cerita dia, masyarakat belum bisa menerima hasil pekerjaan psikolog anak. Sebab, hasilnya tidak bisa kasat mata. "Ibaratnya, ada anak nakal, orang tuanya minta anaknya disuntik. Mana ada suntik untuk ngobati kenakalan? Dan, orang tidak percaya bahwa psikolog bisa membawa kepribadian sang anak ke arah yang lebih baik," tutur nenek lima cucu tersebut. Sedekade setelahnya, pada 1968, dia mengikuti sang suami hijrah mengajar di Malaysia. Di negeri jiran itu, dia tinggal sampai 1970. Pulang ke tanah air, Myra aktif membantu sebuah yayasan yang digawangi istri Jenderal Nasution. Baru pada 1976 dia masuk Fakultas Sastra UI hingga pensiun pada 1994. Di sana dia mengajarkan sinologi, ilmu tentang kebudayaan Tiongkok. Ibu tiga anak itu sempat protes karena kurikulum sinologi tak memasukkan kajian tentang kebudayaan peranakan Tionghoa di tanah air. Padahal, kata dia, itu perlu untuk membumikan ilmu tersebut di tanah air, agar lebih dekat kajiannya sehingga memudahkan mahasiswa mempelajarinya. "Jadi, dulu itu yang dipelajari hanya kebudayaan Tiongkok asli dari tanah leluhur sana, tidak ada kajian soal kisah Tionghoa di Indonesia, proses migrasinya, dan sebagainya," ujarnya.Kondisi semacam itu, menurut dia, disebabkan politik Orde Baru yang cenderung antikebudayaan Tionghoa. Lantas, bagaimana awal mula ketertarikannya di dunia kesastraan Melayu-Tionghoa? "Semua bermula dari persahabatan saya dengan Romo (M.A.W.) Brouwer," katanya. Brouwer adalah pastur cum psikolog yang kerap mengisi rubrik konsultasi di media massa medio 1970-an. "Dia yang terus mendorong saya dengan meminjami literatur-literatur kesastraan Melayu-Tionghoa," ujar penulis buku Antara Dua Tanah Air: Biografi Romo M. A. W. Brouwer itu. Semula Myra enggan menanggapi dorongan sang sahabat. Myra hanya ingin mempelajari sejarah peranakan Tionghoa, terlepas dari kesastraannya. Namun, dia akhirnya luluh juga dengan ajakan karibnya itu. "Kalau kamu ingin mempelajari masyarakat peranakan, ya kamu harus baca kesastraannya," cerita dia menirukan omongan sang sahabat. Akhirnya, sejak 1974 hingga kini dia terus bergelut dengan riset-riset soal kebudayaan dan kesastraan peranakan Tionghoa.Ketertarikan itu tidak terlepas dari latar belakang keluarganya. Sang kakek dari Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Tiongkok, yang pada 1872 menetap di Belitung. Sang kakek ingin agar Myra, yang telah mengecap pendidikan tinggi hingga ke Belanda, tidak tercabut identitasnya sebagai peranakan Tionghoa. Bagi Myra, sastra Melayu-Tionghoa adalah deru napasnya. Dia mengaku terkagum-kagum, sekaligus merasa sangat beruntung bisa mendalami kesastraan peranakan Tionghoa. Dia menilai, kesastraan Melayu-Tionghoa sangat dahsyat. Kontribusinya juga besar terhadap sastra Indonesia secara umum, sehingga tidak bisa dikesampingkan. Dia lantas mencontohkan buku karya sahabatnya, Claudine Salmon, berjudul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia yang diterbitkan 1981 di Paris, Prancis. Di buku itu, ada 1.398 novel karya asli pengarang peranakan Tionghoa. "Hanya, memang tidak semua diakui dan dikenal. Ya, karena juga tidak semuanya bagus," kata dia. Salmon adalah peneliti sastra Melayu-Tionghoa asal Prancis, istri sejarawan Denys Lombard. Selama bertahun-tahun Myra membaca banyak karya sastrawan Tionghoa. Nukilan-nukilan kisah, dari asmara hingga silat, dilahapnya. Dia juga bersua dengan sastrawannya langsung, juga dengan keluarga sang penulis. "Saya mewawancarai Kho Ping Ho sebelum beliau meninggal, saat itu pemilu (1992)," ceritanya. Asmaraman Sukowati Kho Ping Ho adalah penulis cerita silat yang kisah-kisahnya bahkan dibaca hingga saat ini. Dia juga menemui janda Njoo Cheong Seng di Malang dan pengarang "seribu wajah" Tan Hong Boen di Slawi. Secara khusus Myra mengidolakan karya Kwee Tek Hoay (KTH) yang lahir pada 1885. Dari gaya bahasanya, Myra memandang karya KTH relatif biasa. Namun, sambung dia, tema dan jalinan kisah yang dirajutnya membuat Myra angkat topi. Karya-karya KTH yang digilainya, antara lain, Drama di Boven Digoel dan drama terkenal Bunga Roos dari Tjikembang. Karya yang terakhir ini, kata dia, banyak diilhami A Midsummer's Night Dream karya Shakespeare. Membacanya, kata dia, membuat orang terharu dan meneteskan air mata. "Meski pandangannya terkesan menggurui, buku-bukunya menarik karena dia (KTH, Red) memasukkan unsur-unsur spiritual. Misalnya, dia membicarakan masalah agama dan mistik, reinkarnasi," terangnya. Meski mengaku cinta, Myra awalnya mendapat tentangan dari rekan-rekannya ketika meneliti kebudayaan dan kesastraan Melayu-Tionghoa. Hampir setiap hari sejawatnya mengingatkan Myra agar cooling down dulu karena awal-awal Orde Baru yang begitu anti kebudayaan Tionghoa. "Sudah banyak intel yang ngikutin kamu," ujarnya menirukan omongan koleganya. "Namun, saya nggak peduli," imbuh ibunda Silvia, Julie, dan Amir Sidharta itu. Myra tetap saja menggeluti sastra Melayu-Tionghoa.Namun, ada satu pengalaman menarik yang dialami Myra terkait stereotip negatif sastra Melayu-Tionghoa semasa Orba. Ketika itu, dia bermaksud mengunjungi seorang rekannya yang tengah sakit. Rekannya itu istri seorang jenderal. Tak disangka, saat masuk ke kamar rekannya, dia mendapati sang jenderal tengah serius membaca cerita silat Kho Ping Ho. Dia heran karena saat itu karya-karya Tionghoa masih dipojokkan. Begitu tahu Myra masuk kamar, jenderal itu langsung berusaha menyembunyikan karya-karya Kho Ping Ho. Namun, Myra mengetahuinya. "Bapak suka Kho Ping Ho juga, ya?" tanyanya ke sang jenderal. Akhirnya, sang jenderal mengakui bila menyenangi karya-karya pengarang Sin-kun Butek (Si Tangan Halilintar) itu. "Saya tersenyum saja, gembira." tutur Myra. (*)



Penalti Hamilton, Victory Massa
Ada Peluang Jerat Anwar
OPEC Tahan Tren Turun Harga Minyak
Kejagung Masih Tunggu Laporan Kejari Jombang
Banyolan dalam Tayangan Ramadan
Makau Gencar Ubah Image
The Venetian, setelah Setahun Beroperasi di Makau
Orang Jakarta Berjudi Serius
Mencoba Berjudi Caribbean Stud yang Populer di Makau
Australia dan Korsel Tujuan Magang Wisata
Konvoi Kenang Kematian Munir
Mantan Ketua KNKT Tutup Usia
50 Kontrak Ekspor LNG Merugikan
Kena Kanker Payudara, TKW Tewas Mengenaskan
HALAMAN KEMARIN
Laba-Laba Raksasa Bikin Heboh
KPK Cueki Rekaman Antony
Aset Bakrie di Bursa Susut
Suami Benazir Bhutto Pimpin Pakistan
Topeng Kekuasaan dalam Puasa
Kajari Usut Tuduhan Jaksa Terima Suap
Penasihat Keluhkan Staf Khusus SBY
Banyak Yang Lebih Baik dari Super Toy
Anwar Janji Hapus Hukum Cambuk bagi TKI
Bareng Lebaran, Upacara Dini Hari
HOME
BERITA UTAMA
INTERNASIONAL
POLITIKA
OPINI
EKONOMI BISNIS
SPORTIVO
METROPOLIS
EVERGREEN
DETEKSI
SHOW SELEBRITY
MINGGUAN

Copyright @2008 IT Dept. JawaPos Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

Tidak ada komentar: