Jumat, 05 September 2008

KPK

Tarik ulur pemerintah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) ke DPR RI pada akhir Juli 2008, selain memperlihatkan keseriusan penegakan hukum, juga menimbulkan pertanyaan kritis. Apakah RUU ini sengaja dibuat seperti itu untuk mengebiri pemberantasan korupsi yang sekarang tengah menyeret sejumlah anggota DPR? Ataukah ada maksud lain?
Sejumlah pakar hukum yang membaca draf RUU ini menggeleng-gelengkan kepala. Karena, ada pasal, yang bagi pemerhati hukum korupsi, bisa diterjemahkan sebagai upaya mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada juga yang membatasi kewenangan hakim ad hoc yang selama ini dikenal galak dibandingkan hakim karier.
Pasal 27 pada draft RUU itu menyebutkan, Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) menentukan komposisi hakim tipikor.
Ahli hukum UGM, Denny Indrayana, misalnya, menyoroti masalah itu sebagai peluang melemahkan keberadaan KPK.
Soalnya, jika draf itu disetujui menjadi undang-undang, pasal tersebut memungkinkan ketua MA dan ketua Pengadilan Negeri mengatur hakim yang mengurus tipikor dengan komposisi lebih berat ke hakim karier ketimbang hakim ad hoc.
Draf itu tidak sejalan dengan Pasal 58, 59, dan 60 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan komposisi hakim ad hoc itu berjumlah tiga orang dan hakim karier dua orang.
Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan hakim karier yang lebih banyak akan melenyapkan peluang penegakan hukum kasus korupsi. Posisi KPK, yang selama ini memperlihatkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi, dikhawatirkan sia-sia.
Itu merujuk pada hasil pantauan ICW selama Januari-Juli 2008 terhadap 196 terdakwa kasus korupsi yang ditangani peradilan umum.
Dari 196 kasus korupsi yang ditangani peradilan umum itu, sebanyak 104 terdakwa divonis bebas. Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang semester I tahun 2008, sekira 53 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas.
Kekhawatiran adanya upaya pengebirian terhadap KPK juga muncul ketika publik mengetahui adanya upaya MA untuk menggodok hakim yang memiliki kemampuan menangani korupsi dan langkah kejaksaan membentuk tim khusus penanganan kasus korupsi. "Kita harus mewaspadai akan adanya upaya melemahkan keberadaan KPK," kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Denny Indrayana, dalam suatu seminar, belum lama ini.
Menurut dia, mengingat kondisi demikian maka publik harus mewaspadai akan adanya serangan balik dari pemerintah dan DPR terhadap KPK melalui UU.
Pernyataan pakar hukum pidana UGM itu seiring dengan kenyataan bahwa saat ini kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif terlihat tak kuasa menghadapi langkah KPK yang memeriksa hingga kantor mereka.
Denny Indrayana menyatakan, celah DPR untuk mematikan keberadaan KPK itu bisa terlaksana melalui UU Anti-Korupsi, UU KPK, dan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang saat ini draf-nya akan diajukan pemerintah.
"Ketiga UU itu dapat digunakan untuk melakukan serangan balik terhadap keberadaan KPK," katanya.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, mengatakan, upaya melemahkan keberadaan KPK melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor merupakan suatu kemunduran. "Suatu kemunduran bagi suatu lembaga KPK dengan pengaturan komposisi hakim oleh Pengadilan Negeri," katanya.
Peneliti ICW, Febri Diansyah, meminta pemerintah merevisi pasal itu dan mengatur agar komposisi hakim ad hoc lebih dominan. "Jika tidak diubah, berarti pemerintah melakukan langkah mundur dalam upaya perang melawan korupsi," katanya.
Adanya kemungkinan skenario pengebirian keberadaan KPK melalui pendidikan hakim tipikor di lingkungan MA dibantah Ketua MA Bagir Manan.
Menurut Bagir Manan, pendidikan yang digelar itu ditujukan untuk meningkatkan kemampuan para hakim dalam menangani kasus korupsi dan tidak ada kaitannya dengan soal draf RUU Pengadilan Tipikor.
"Kalian jangan hanya menilai negatif saja kepada hakim itu, justru kita ingin meningkatkan kemampuan hakim," katanya.
Sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah dan DPR diberi tenggat waktu selama tiga tahun, yakni sejak 2006 hingga 2009 untuk merealisasi Pengadilan Tipikor. MK beralasan bahwa tidak boleh ada dualisme pengaturan keberadaan pengadilan. "MK menyatakan, akhir 2009 sudah harus berjalan," kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata.
Mengapa RUU Pengadilan Tipikor begitu lama dibahas, sementara tenggat waktu yang diberikan MK semakin dekat? Men-kumham memberikan tiga alasan atas pertanyaan tersebut. Status Pengadilan Tipikor, Hakim ad hoc, dan keterbatasan jangkauan pasal tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor, menurut Andi, menjadi tiga masalah utama yang mengganjal.
Dalam putusannya dua tahun lalu, kata Andi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan semua perkara korupsi diperiksa di satu pengadilan, yakni Pengadilan Tipikor. Saat ini, terdapat dua pengadilan yang memeriksa perkara korupsi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor saat ini hanya ada di Jakarta, khusus memeriksa perkara-perkara korupsi . yang disidik KPK.
Jika semua perkara korupsi harus diperiksa di Pengadilan Tipikor, seperti mau-nya MK; pemerintah wajib menyediakan Pengadilan Tipikor hingga tingkat kabupaten/kota yang jumlahnya mencapai 450-an. Sekuen penanganan perkaranya menjadi penyidikan bisa dilakukan kejaksaan, kepolisian, atau KPK; penuntutan bisa ditangani kejaksaan atau KPK, tapi pengadilannya hanya satu. Pengadilan Tipikor. Dalam suatu kesempatan, Jaksa Agung Hendarman Supandji berkomentar, "Anggaran pemerintah mampu nggak untuk membangun pengadilan sebanyak itu."
Pengadilan Tipikor yang ada saat ini memiliki kekhasan tersendiri dengan hadirnya hakim ad hoc (hakim nonkarier-Red). Dalam tiap persidangan, hakim di Pengadilan Tipikor berjumlah lima orang dengan komposisi tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier. Komposisi tersebut tidak berubah jika suatu perkara korupsi diperiksa hingga tingkat banding, bahkan kasasi.
Paradigma menghadirkan hakim ad hoc dalam Pengadilan Tipikor, awalnya adalah ketidakpercayaan terhadap hakim karier yang memiliki stigma korup. Karena itu, perbandingan jumlah menjadi penting tatkala suatu putusan perkara korupsi harus ditentukan melalui mekanisme voting. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor saat ini, kata Andi, paradigma keberadaan hakim ad hoc bukan lagi masalah ketidakpercayaan terhadap hakim karier, tapi kebutuhan.
Perubahan paradigma ini, menurut Andi, sejalan dengan modus korupsi yang diyakini semakin canggih. Setiap Pengadilan Tipikor, mau tidak mau, nantinya memerlukan hakim ad hoc sesuai kebutuhan penanganan kasus korupsi yang ditangani. Jika suatu Pengadilan Tipikor tengah memeriksa kasus korupsi perbankan misalnya, diperlukan hakim ad hoc dengan keahlian perbankan.
Dengan paradigma seperti itu, hakim ad hoc juga diperlukan jumlahnya hingga ke tingkat kabupaten/kota. Ini, tambah Andi, juga menjadi masalah. "Kan tak setiap hari, di suatu daerah, ada persidangan kasus korupsi perbankan misalnya. Ini yang harus dipikirkan. Ketersediaan dan efektivitas kerja hakim ad hoc," kata Andi. Masalah ketiga, yang menurut Andi adalah masalah paling berat pemecahannya, perlunya perluasan jangkauan UU Tipikor yang ada saat ini. Jika setiap perkara korupsi harus ditangani di Pengadilan Tipikor, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi harus menggunakan UU Tipikor, bukan menggunakan KUHP. Pengadilan Negeri saat ini memungkinkan adanya dakwaan kumulatif yang menyertakan UU Tipikor dan KUHP dalam satu dakwaan.
Jika KUHP tidak boleh digunakan dalam penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, Andi khawatir, nasib penanganan kasus korupsi menjadi sama seperti kasus pelanggaran HAM berat. Banyak kasus pelanggaran HAM berat terdakwanya bebas di tingkat MA karena yang digunakan hanya UU HAM berat tanpa menyertakan pasal pembunuhan/pembunuhan berencana, yaitu Pasal 338 dan 340 KUHP.
Ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengaku khawatir dengan lambannya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Padahal, kata Romli, RUU Pengadilan Tipikor juga diperlukan untuk menjaga eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang treng-ginas dibanding kejaksaan. Jika hingga tenggat Desember 2009 Pengadilan Tipikor belum bisa terbentuk, menurut Romli, akan terjadi skandal terbesar di negeri ini.
Menurut Romli, aturan hukum saat ini tidak membeberkan celah hukum kepada KPK yang memberikan hasil peyidikan dan penuntutan perkara korupsinya ke Pengadilan Negeri. Jika RUU Pengadilan Tipikor tidak selesai dibahas tepat tenggat waktu, KPK juga tidak bisa menyerahkan

Tidak ada komentar: