Jumat, 11 Maret 2011

Humanity Side " The Kite Runner"

Melihat Sisi Kemanusiaan Novel The Kite Runner
(Tinjauan Sosiologi Sastra)

A. Pengantar
“Kisah yang sangat kuat… tidak ada yang sia-sia, tidak ada omong kosong, semuanya disajikan dengan keras dan apa adanya… tentang keluarga, persahabatan, pengkhianatan, dan penebusan dosa. Tidak perlu berpikir panjang untuk menikmati buku ini. Beberapa bagian dari The Kite Runner memang membawa kepedihan, tetapi keseluruhan buku ini ditulis dengan indah.” , demikian pernyataan yang ditulis oleh The Washington Post Book World dalam pengantar buku ini.
Sebagai novel bestseller The Kite Runner memiliki banyak kelebihan sehingga digemari banyak bahkan berjuta orang di seluruh dunia. Novel yang berlatar Negara yang penuh dengan gejolak politik dan peperangan, Afganistan, di tahun 1970-an hingga 2000-an ini, yang memukau lebih dari 8 juta orang, telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa, lebih dari dua tahun menjadi novel bestseller di daftar New York Times Bestseller. Bahkan di tahun 2008, isi novel ini telah dibuat menjadi film oleh Paramount Pictures.
Seperti halnya karya sastra yang lain, novel ini menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan yang universal. Karena pengarang adalah warga masyarakat yang memiliki status khusus, pengarang memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu (Wellek dan Warren, 1995 : 109). Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut teori sosiologi sastra (Damono, 1978: 6). Istilah dan pengertian sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda dengan pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra. Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Kembali pada novel The Kite Runner yang kaya akan sisi kemanusiaan, tulisan ini mencoba mengkaji novel tersebut dari segi sosiologi sastra. Hal ini sudah jelas dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa karya sastra memang merupakan cerminan masyarakat dan karya satra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya, karya sastra termasuk di dalamnya novel, ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah kajian sosiologi sastra dalam novel The Kite Runner dengan batasan-batasan : (1) kondisi sosial, ekonomi, politik dalam novel, dan (2) sisi kemanusiaan dalam novel. Dengan demikian tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran mengenai (1) kondisi sosial, ekonomi, politik, dan (2) sisi kemanusiaan dalam novel The Kite Runner. Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang rinci tentang situasi dan kondisi politik, sosial dan ekonomi yang berkembang pada saat kondisi-kondisi tersebut menjadi tema sentral novel ini, ditinjau dari teori sosiologi sastra. Dengan demikian, akan terbukti bahwa novel ini merupakan karya sastra yang tegolong dalam kategori bestseller.


B. Kajian Teori
1. Kritik Sastra
Berdasarkan bidang kegiatannya, kritik sastra dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pendifinisian, pengklasifikasian, penganalisisan, dan pengevaluasian karya sastra (Abrams, 1981 : 35) atau ‘pembicaraan atau tulisan yang membanding-bandingkan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra’ (Sudjiman, 1990 : 46). Sementara Budi Darma ( Ed. Mursal Esten, 1988 : 63) mengemukakan bahwa hakikat kritik sastra adalah menjabarkan, menganalisis, membuktikan, menjuruskan, dan memberikan argumentasi terhadap karya sastra, sehingga kritikus dituntut untuk menalarkan intuisinya.
Kritik sastra dibedakan atas kritik sastra teoritis (theoretical criticism),dan kritik praktis atau terapan (practical critisism). Kritik teoritis berusaha menyususn, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat peristilahan yang koheren, perbedaan, dan kategori, yang diaplikasikan dalam mempertimbangkan dan menginterpretasi karya sastra (Sudjiono, 2003 : 4). Kritik teoritis juga berupaya menetapkan kriteria, standar, atau norma yang digunakan untuk mengevaluasi karya sastra dan pengarangnya. Sementara itu kritik praktis atau krititk terapan adalah kritik yang pembahasan atau pengevaluasian karya sastra dengan prinsip-prinsip teoritis yang implisit (Abrams, 1981).

2. Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia (Hurton dan Hunt, 1991:23). Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3). Ilmu yang menggabungkan keduanya ( sosiologi dan satra) disebut sosiologi sastra.
Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren (1995) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Pembagian yang dikemukakan Wellek dan Warren hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1978) bahwa telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal : (1) konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya; (2) sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat; dan (3) fungsi sosial sastra, dalam hal ini sampai berapa jauh nilai sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyrakat pembaca.
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi pada zaman karya sastra itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat lepas darinya. Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra mengkaji hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sitem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Sosiologi sastra juga merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai lingkup yang luas, beragam, dan rumit, menyangkut pengarang, karyanya, dan pembacanya.
Salah satu kajian sosiologi adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan. Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada tempat-waktu-suasananya, sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya (Putu Wijaya dalam tulisannya yang berjudul Sastra sebagai Refleksi Kemanusiaan).
Menurut Putu Wijaya (pb@diknas.go.id) Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
C. Metode Kajian
Sesuai dengan kajian teori pada bagian sebelumnya, metode kajian novel ini adalah dengan menggunakan pendekatan sosiologi satra. Dengan prosedur sebagai berikut. Pertama, novel The Kite Runner dibaca secara mendalam (close reading). Kedua, memahami dan menganalisis aspek yang menonjol dalam novel untuk menentukan pendekatan yang tepat dalam kegiatan kritik sastra. Ketiga, menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk analisis novel. Adapun tahap terakhir adalah mendeskripsikan hasil kritik sastra berdasarkan pendekatan dan fokus bahasan dalam kajian ini.

D. Pembahasan
1. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam Novel The Kite Runner
Adanya perbedaan kelas sosial dalam kisah The Kite Runner, yaitu kelas atas yang direpresentasikan oleh Amir dan keluarganya, dan kelas bawah yang direpresentasikan oleh Hasan. Selain itu juga terdapat perbedaan etnis antara Hasan dan Amir yang memunculkan jarak diantara mereka. Berikut kutipannya.
”Semua orang setuju bahwa ayahku, Babaku telah membangun rumah tercantik di distrik Wazir Akbar Khan, lingkungan baru dan mewah di bagian utara kota Kabul. Beberapa orang menganggap bahwa rumah itu adalah rumah terindah si seluruh Kabul. Jalan masuk luas yang dihiasi oleh rumpun-rumpun mawar membentang menuju rumah besar berlantai marmer dengan jendela-jendela yang lebar. Ubin mosaik berpola rumit, dipilih sendiri oleh Baba di Isfahan, melapisi lantai keempat kamar mandinya. Permadani-permadani bersulam benang emas yang dibeli Baba di Kalkuta terpasang berjajar di dinding; seperangkat lampu gantung kristal menghiasi langit-langit yang melengkung (prg.4 hlm.16).”

Kondisi keluarga Amir pada kutipan di atas sangat berbeda dengan kondisi keluarga Hasan yang menjadi pelayan keluarga Amir. Rumah Hasan berada cukup jauh di belakang rumah Amir, akan tetapi masih berada dalam lingkup pekarangan rumah keluarga Amir. Berikut kutipannya.
”..............................................................................................................
Hasan menuju pondok tanah liat tempatnya dilahirkan, tempat ia menjalani seluruh hidupnya. Dalam pondok itu, dua matras terletak berseberangan , diantaranya terbentang sehelai karpet Herati usang dengan pinggir menipis, juga sebuah bangku kecil berkaki-tiga dan meja kayu di sudut tempat Hassan menggambar. Dinding ruangan itu diniarkan telanjang. Hanya tertempel satu permadani bersulam manik-manik yang membentuk kata Allahuakbar yang dibeli Baba untuk Ali. Dalam salah satu kunjungannya ke Mashad (prg. 2 hlm. 19).”

Berdasarkan dua kutipan di atas, pembaca dapat mengetahui perbedaan kelas sosial-ekonomi kedua tokoh tersebut. Amir sebagai majikan dan Hasan sebagai pelayannya. Tidak hanya itu, perbedaan etnis juga mewarnai kisah kehidupan dua sahabat dalam novel ini. Amir berasal dari etnis Pasthun yang dianggap kelas tinggi sedangkan Hasan berasal dari etnis kelas rendah. Berikut kutipannya.

”................................................................................................................ Di dalamnya, aku membaca bahwa kaumku, kaum Pasthun, telah menindas dan memperlakukan kaum Hazara dengan buruk. Di situ dikatakan bahwa pada abad ke-19 kaum Hazara pernah mencoba melawan kaum Pasthun, namun kaum Pasthun telah ”menghentikan perlawanan mereka dengan kekerasan yang tidak terkatakan”. Buku itu menjelaskan bahwa kaumku telah membantai bangsa Hazara, mengusir mereka dari tanah mereka, membakar rumah mereka, dan menjual para wanitanya. Buku itu menjelaskan bahwa sebagian kaum Pasthun menindas kaum Hazara adalah karena kaum Pasthun menganut mazhab Sunni, sedangkan kaum Hazara menganut mazhab Syi’ah. Buku itu menjelaskan beberapa hal yang tak pernah disebut-disebut oleh guruku, juga menjelaskan beberapa hal yang sudah kuketahui, seperti nama-nama yang digunakan orang untuk menyebut kaum ini; pemakan tikus, pesek, keledai pengangkut barang. Aku pernah mendengar beberapa anak di lungkungan kami meneriakkan nama-nama itu pada Hasan (prg. 1 hlm. 23).”

Kutipan di atas, sesuai dengan penjelasan pada halaman sebelumnya.
”Mereka menyebutnya ”pesek” karena begitulah ciri-ciri fisik Ali dan Hasan, ciri-ciri kaum Mongol Hazara. Selama bertahun-tahun, hanya hal itulah yang kuketahui tentang kaum Hazara, bahwa mereka berasal dari keturunan Mongolia, dan mereka sedikit mirip dengan orang Cina. Mereka hampir tidak pernah disebut-sebut dalam buku pelajaran sekolah dan kalaupun pernah, hanya asal usul mereka yang dibahas sambil lalu (prg. 3 hlm.22).”

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan kelas sosial-ekonomi menyebabkan kelas atas lebih berkuasa atas kelas bawah. Demikian halnya dengan Amir dan Hassan. Meskipun mereka ’bersahabat’, dominasi Amir atas Hassan sangat tampak dalam kisah ini. Hassan selalu menuruti apapun yang diperintahkan Amir bahkan akan membela Amir dengan segenap nyawanya. Pernah suatu ketika Amir diejek dan akan dianiaya oleh Assef, anak tetangga dari etnis Pasthun keturunan Jerman di komplek mereka tinggal, cepat-cepat Hassan membela Amir dengan mengarahkan ketapelnya ke arah mata Assef dan mengancam Assef seperti dalam kutipan berikut.
”Aku berbalik dan berhadapan langsung dengan ketapel Hasan. Hasan telah menarik tali elastisnya yang lebar jauh ke belakang. Di tengahnya batu sebesar biji kenari siap dibidikkan. Hasan mengarahkan ketapelnya, tepat ke wajah Assef. Tangannya gemetar menahan tegangan tali elastis dan butiran-butiran keringat bermunculan di keningnya (prg. 4 hlm. 64).”

Lain halnya dengan Amir yang tidak mampu melindungi Hasan ketika Hasan berada dalam bahaya. Sewaktu Hasan dianiaya oleh Assef dan kedua temannya, Amir tidak mampu membela Hasan. Bahkan ia bersembunyi dan hanya menyaksikan perlakuan Assef yang tidak senonoh terhadap Hasan.
”Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan. Satu kesempatann terakhir untuk memutuskan apa jadinya diriku. Aku bisa melangkah memasuki gang itu, membela Hasan-seperti yang selalu dilakukannya untukku- dan menerima apapun yang mungkin terjadi padaku. Atau aku bisa melarikan diri. Akhirnya, aku melarikan diri karena aku adalah seorang pengecut. Aku takut terhadap Assef dan apapun yang mungkin dilakukannya untukku.... (prg. 3, hlm. 110).”

Kisah The Kite Runner berlatar Afganistan sekitar tahun 1970-an sampai dengan 2000-an. Kisah ini menggambarkan keadaan negara Afganistan yang kacau akibat perang saudara dan krisis politik. Pada masa itu Afganistan dikuasai Rusia. Selanjutnya Kabul diduduki Shorawi. Dan pada bagian akhir cerita dikisahkan kekuatan Taliban yang menguasai negara itu, seperti dalam kutipan berikut.
”Kalaupun saat itu belum berakhir, setidaknya itu adalah awal dari sebuah akhir. Akhir yang sebenarnya terjadi pada April 1978 saat kaum komunis melakukan kudeta, lalu pada Desember 1979, saat tank-tank Rusia berjalan melewati jalanan kota tempat aku dan Hasan biasa bermain, mengambil nyawa orang-orang Afganistan yang kukenal dan memulai masa-masa pertumpahan darah yang terus berlangsung hingga sekarang (prg. 1 hlm. 57).”

Pada malam 17 Juli 1973, masa kekuasaan monarki berlalu. Raja Zahir Shah sedang berada di Itali, sepupunya Daud Khan melakukan kudeta tanpa pertumpahan darah. Namun warga Afganistan merasa cemas dan takut karena mereka menutup semua jalan dan memutus saluran telepon. Dan sekitar tahun 1978-1979, Afganistan dikuasai oleh Rusia. Empat tahun kemudian, Kabul berada di bawah pendudukan Shorawi. Saat itulah keluarga Amir mengungsi ke Amerika. Seperti yang tertulis dalam novel ini.

“………………………………………………………………………… Karim adalah seorang penyelundup pengungsi-saat itu pekerjaan ini menghasilkan uang melimpah. Dia memberikan tumpangan pada setiap orang yang melarikan diri dari Kabul yang berada di bawah pendudukan Shorawi ke Pakistan yang relatif aman. Saat itu, dia sedang membawa kami ke Jalalabat, sekitar 170 km di sebelah tenggara Kabul… (prg. 3 hlm. 154).”

Pada akhir 1990-an atau sekitar tahun 1998 sebagian Afghanistan dikuasai oleh tentara Taliban. Namun demikian, pendudukan Taliban tidak membawa ketentraman bagi warga Afghanistan bahkan terjadi pembantaian kaum Hazara. Seperti dalam kutipan berikut.
“Aku membaca berita di surat kabar tentang pembantaian kaum Hazara di Mazar-i-Sharif. Peristiwa itu terjadi beberapa saat setelah Taliban mengambil alih Mazar, salah satu dari kota-kota terakhir yang jatuh ke tangan mereka... (prg. 4 hlm. 369).”

Situasi politik Afghanistan yang dikisahkan dalam novel ini sesuai dengan kenyataan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan berita berikut.
”Jakarta, RMOL. Sejarah akan berulang. Seperti Uni Soviet, Amerika Serikat pun tak akan dapat menaklukkan Afghanistan. Begitu keyakinan mantan komandan pasukan Tentara Merah Uni Soviet Jenderal Victor Yermakov. Ia memimpin Divisi ke-40 Tentara Merah di Afghanistan antara Mei 1980 sampai November 1983, dan merupakan satu dari enam panglima Uni Soviet yang memimpin Tentara Merah di Afghanistan sejak invasi tahun 1979.
Upaya Kremlin menginstal pemerintahan Marxis di Afghanistan yang berlangsung selama sembilan tahun berakhir dengan duka. Tak kurang dari 15 ribu tentara Soviet tewas, sementara pertumbuhan ekonomi terjerambab. Antara 1988 sampai 1989, dengan rasa malu yang tak tertahankan Soviet menarik mundur 100 ribu tentaranya dari belantara Afghanistan yang kejam (Rakyat Merdeka. co. id)
”Afghanistan telah mengalami 20 tahun perang, dan tahun ini telah membawa dampak terburuk dalam beberapa dasawarsa. Taliban, terlatih sejak zaman negeri mereka diperangi Russia pada tahun 1980-an, dan kini oleh AS dan sekutunya, terus berdiri di atas kaki mereka. “Ini tanah kami. Meski luka dan mati tertanam di sini.” ( Eramuslim.com).
Kisah nyata negeri Afghanistan yang memilukan tergambar jelas dalam The Kite Runner ini. Dalam novel ini dikisahkan secara kronologis mulai pendudukan Jerman, Rusia, sampai pada Taliban, seolah pembaca menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa tersebut.

2. Sisi Kemanusiaan The Kite Runner
Hal yang menjadi perhatian utama dalam novel ini adalah masalah persahabatan yang diwarnai dengan pengkhianatan. Dikisahkan tokoh Amir yang bersahabat dengan Hassan. Usia Amir yang hanya terpaut satu tahun dengan Hassan membuat pertemanan mereka terasa alamiah. Seringkali mereka berjalan-jalan ke bukit yang tak jauh dari rumah mereka ataupun bermain layang-layang bersama. Amir sering membacakan cerita untuk Hassan. Namun demikian, Amir terkadang membohongi Hassan dengan membelokkan cerita dengan mengarang ceritanya sendiri. Hassan akan selalu bersorak jika ceritanya telah berakhir dan ia takkan pernah tahu jika Amir membelokkan ceritanya karena Hassan tidak bisa membaca.
Suatu ketika Amir dibantu Hassan memenangi turnamen layang-layang yang diadakan di distriknya. Ia ingin kemenangannya itu menjadi pembuktian pada Babanya-sebutan untuk ayah- bahwa ia anak laki-laki yang bisa dibanggakan orangtuanya. Amir merasa ayahnya tidak pernah menyayanginya karena ia anak yang lemah. Ia tidak suka main bola ataupun permainan-permainan lain yang dianggap ’keras’ olehnya. Hal ini sangat berbeda dengan karakter ayahnya yang seorang pemburu hebat, penyuka olah raga keras dan juga seorang pengusaha yang hebat. Amir lebih suka tenggelam dalam buku-bukunya ataupun menulis ceritanya.
Hassan yang setia ingin menghadiahkan layang-layang kemenangannya pada Amir meski dia harus mengalami peristiwa yang membuat hidupnya berubah sejak saat itu. Peristiwa itulah yang mengubah persahabatan mereka karena sebenarnya Amir menyaksikan pelecehan seksual yang dilakukan Assef pada Hassan dari kejauhan. Sejak itulah Amir mencari cara untuk mengusir Hassan dari rumahnya karena ia tidak ingin melihat wajah ’tak berdosa’ Hassan dan Hassan berhasil.
”Baba tidak membuang waktu untuk bertanya, ”Benarkah kau mencuri uang itu?” ”Benarkah kau mencuri arloji Amir, Hassan?” Hasan menjawabnya dengan satu kata, dengan suara serak dan bergetar: ”Ya.” Wajahku mengernyit. Rasanya seperti baru ditampar. Hatiku teriris dan akupun hamper meneriakkan segala kebenaran. Namun tiba-tiba aku memahami: Inilah pengorbanan terakhir Hassan untukku………………………………………………………………….
Dia tahu bahwa aku telah mengkhianatinya dan dia tetap menyelamatkanku sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saat itulah aku menyadari bahwa aku menyayangi Hassan. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar daripada rasa sayangku pada siapapun juga. Dan aku ingin memberitahunya bahwa aku adalah ular yang merayap di rerumputan, monster yang bersembunyi di danau. Aku tidak pantas mendapat anugerah pengorbanannya. Aku adalah seorang penipu, pengkhianat, dan pencuri. Namun sebagian dari diriku merasa lega. Aku merasa lega karena semua ini akan berakhir. Baba akan memecat mereka, akan ada sedikit rasa sakit, namun kehidupan akan tetap berjalan. Aku menginginkannya, melanjutkan kehidupanku, melupakan, memulai dengan awal baru. Aku ingin bisa bernafas lagi... (prg.2 hlm. 146).”
Pada bagian tersebut, Amir sebenarnya membohongi dirinya sendiri dengan cara mengusir Hassan dari rumahnya. Karena pada hakikatnya di dalam lubuk hatinya, ia sangat menyayangi Hassan, bahkan ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri ketika tidak mampu membela Hassan waktu itu. Rasa bersalahnya selalu menghantui dirinya sepanjang hidupnya. Hingga pada bagian akhir dia ingin menebus kesalahan itu dengan mengadopsi Sohrab, putra Hassan satu-satunya.
E. Penutup
The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Pengarang dengan cerdas menghadirkan sisi-sisi lain Afghanistan, negeri indah yang menyimpan banyak duka.
Masalah-masalah sosial yang dikemukakan pengarang adalah masalah perbedaan kelas sosial, status ekonomi, dan etnis. Selain itu, masalah seputar politik juga digambarkan dalam novel ini yang diwarnai dengan berbagai sisi kemanusiaan lainnya.
Dengan membaca novel ini, kita akan semakin memaklumi mengapa novel inii begitu disukai banyak orang dan mendapatkan berbagai pengahrgaan. Selain mendapat hiburan, pembaca juga mendapat banyak manfaat dengan membaca novel ini. Seperti halnya prinsip karya sastra Dulce et Utile, dengan membaca kita mendapat manfaat.

























DAFTAR PUSTAKA

Abram, M.H. 1981. A Glossary of Literature Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas.
Hosseini, Khaled. 2008. The Kite Runner. Bandung: Qanita.
Horton, Paul B dan Chester L.Hunt. Edisi Keenam. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Soedjiono. 2003. Kritik Sastra. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Diknas.
Welleck, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
//http : //www. pb@diknas.go.id
//http ://www. eramuslim.com
//http : //www. rakyatmerdeka.co.id

















Melihat Sisi Kemanusiaan Novel The Kite Runner
(Tinjauan Sosiologi Sastra)

( Tugas Akhir Mata Kuliah Ilmu Sastra Umum
Dosen Pengampu Prof.Dr. Fabiola D Kurnia, M.A )















Oleh
Faiqotur Rosidah (09745005)








PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Mareti, 2010

Lampiran Sinopsis
The Kite Runner
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Amir yang tumbuh bersama Hasan, anak pelayannya. Waktu kecil Amir dan Hassan senantiasa bersama. Ibu Amir telah meninggal saat melahirkan Amir. Ayahnya seorang yang berpengaruh dan dihormati dalam masyarakatnya. Ayahnya seorang pria sejati, pemberani dan berkemauan keras. Kenyataan bahwa karakter Amir jauh dari pandangan ayahnya tentang pria sejati membuat jarak antara mereka. Amir yang penggemar sastra, pandai membuat cerita. Tapi bukannya ayahnya, malah Rahim Khan, sahabat rekan bisnis ayahnya yang memberikan apresiasi atas kepandaiannya ini. Selama ini, Rahim Khanlah yang dapat menyelami perasaan Amir atas sikap keras ayahnya. Harapan ayahnya, puteranya pandai sepakbola dan kegemaran lain semacamnya yang lebih 'bersifat lelaki'. Amir kecil menjadi merasa dirinya tak cukup baik bagi ayahnya, bahkan berprasangka ayahnya membencinya karena ia membunuh ibunya..
Hassan dan ayahnya, Ali, sebagai pembantu keluarga Amir tinggal di gubuk kecil di belakang rumah Amir yang besar. Ibu Hassan adalah seorang penari cantik yang kabur setelah melahirkan Hassan. Hassan memiliki segala hal yang dapat membuat anak-anak berandal seusianya mencemoohnya. Ia keturunan Hazara, sebuah etnis minoritas yang dalam masyarakatnya di anggap rendah. Ia juga berbibir sumbing, dan ayahnya menderita polio.
Meski Amir dan Hassan layaknya kawan bermain yang akrab, tapi kenyataan bahwa Amir adalah tuan dan Hassan adalah pelayan mewarnai persahabatan mereka. Tanpa diminta, Hassan selalu bertanggungjawab atas kenakalan mereka yang sebenarnya muncul dari ide Amir. Hassan anak yang cerdas dan berbakat, hanya saja ia tak bersekolah. Amir menyadari bahwa bakat Hassan melebihi dirinya. Ayah Amir juga sangat menyayangi Hassan. Hal ini membuat Amir memendam iri dan kerap berbuat tak adil terhadap Hassan, yang selalu bersikap menerima dan tak pernah marah. Sikap inilah yang semakin membuat Amir marah pada dirinya sendiri, tapi melampiaskannya pada Hassan.
Titik terpenting yang sangat berpengaruh bagi kehidupan Amir adalah saat turnamen layang-layang pada musim dingin 1975. Turnamen ini sangat bergengsi dan diikuti dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Turnamen baru berakhir jika di langit tinggal hanya satu layang-layang pemenang, tak peduli berapa lamanya pertandingan berlangsung. Layang-layang yang paling akhir terputus menjadi buruan paling dinantikan semua orang. Layang-layang itu menjadi simbol kebanggaan bagi yang berhasil menangkapnya.
Momen ini menjadi sangat penting bagi Amir yang ingin merebut perhatian dari ayahnya. Jika dia berhasil menjadi pemenang, dan mendapatkan layang-layang terakhir yang putus... Kala ragu menjelang momen ini, Hassan selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk meyakinkan Amir..
Amir memang mendapatkannya, tapi dengan harga mahal. Ia berhasil menyingkirkan layang-layang lain hingga tinggal punyanya sendiri dan sebuah layang-layang biru tangguh yang lain di langit. Atas strategi arahan Hassan, akhirnya layang-layang biru itu putus juga. Segera Hassan bersedia mengejar dan tangkapkan layang-layang itu untuk Amir. Saat itulah kalimat itu terucap, "Untukmu, yang keseribu kalinya". Sebuah kalimat kesetiaan Hassan yang tak habis-habisnya untuk Amir.Larinya Hassan sangat cepat, hingga Amir tak bisa mengejarnya. Amir sembunyi saat melihat Hassan dengan layang-layang biru ditangannya, dihadang sekelompok anak berandal dipimpin Assef yang kejam.
Dibalik persembunyiannya, ia saksikan semuanya. Assef memaksa Hassan serahkan layang-layangnya. Assef mendendam pada Hassan yang pernah mengancam menembakkan ketapel pada matanya untuk membela Amir. Assef janji akan membebaskannya jika Hassan serahkan layang-layang. Tapi Hassan bergeming. Baginya, layang-layang itu untuk Amir.
Batin Amir bergejolak, apa ia akan membela Hassan seperti Hassan membela dia, dan kesampingkan bahaya? Tapi ia terlalu takut. Ia tidak kesana, sampai hal mengerikan terjadi. Hassan disodomi oleh Assef.
Sejak itu semua berubah. Amir tak bisa mengusir rasa bersalah. Ia bertanya-tanya adakah Hassan tahu, ia melihat semuanya? Meski Hassan bersikap biasa padanya, Amir tak bisa mengimbanginya. Tak tahan, Amir merasa perlu berjauhan dengan Hassan. Ia malah merancang sebuah tuduhan agar Hassan diusir. Meski ayahnya tak mau mengusir mereka, Hassan dan Ali tetap pergi. Dan hidup Amir justru semakin hampa.
Waktu berlalu, Amir dewasa kini tinggal di San Fransisco. Sejak pendudukan Rusia ke Kabul, Amir dan Ayahnya meninggalkan tanah air. Banyak hal telah dialami, ketegangan di pengungsian, jatuh miskin, usaha ayahnya untuk membiayai hidup di negeri orang dan sekolah Amir, hingga Amir menikah namun tak kunjung punya anak, sampai ayahnya wafat. Sebuah telepon dari Rahim Khan mengembalikan seluruh memori traumatis masa lalunya. Afganistan masih bergejolak dan tengah diduduki Taliban, tapi Rahim Khan justru memanggilnya kesana.
Orang seperti Amir mau meninggalkan San Fransisco yang nyaman & justru kembali ke tanah kelahiran yang sama sekali tak aman? Keputusan itu memang gila, tapi akhirnya Amir tahu itulah yang terbaik yang harus dilakukan untuk menebus dosanya. Seperti kata Rahim Khan, ”Ada jalan untuk kembali baik, Amir”.
Amir mendapati kebohongan terbesar selama hidupnya dari almarhum ayahnya sendiri, yang mengatakan bohong adalah mencuri kebenaran, dan mencuri adalah satu2nya dosa yang ada di dunia. Kebenaran justru terungkap dari Rahim Khan, bahwa Hassan adalah saudara tirinya, hasil perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali. Hassan dan istrinya sudah syahid, hanya meninggalkan sepucuk surat dan sebuah foto ia dan puteranya.
Misi Amir ke Afghanistan adalah mencari anak Hassan, Sohrab dan membawanya menjauh dari segala kengerian yang kerap terjadi bagi anak-anak dalam kondisi perang.Tentu tak semudah itu. Tapi Amir menjalaninya, menyaksikan negeri kelahirannya menjadi puing, merasakan seluruh kenangan masa kecilnya yang jauh, bahkan harus berhadapan dengan ketua Taliban yang berbahaya. Demi Sohrab, ia menempuh seluruh kesulitan. Ia kembali harus berhadapan dengan Assef yang menjadi pimpinan Taliban dan hampir membunuhnya jika saja saat itu ia tidak diselamatkan oleh Sohrab. Dengan segala perjuangannya ia mampu mengadopsi Sohrab dan mengasuhnya bersama Soraya.









Lampiran : Biografi singkat Khaled Hosseini


Khaled Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan di tahun 1965. Ayahnya adalah seorang diplomat dengan Kementrian Luar Negeri Afghanistan. Ibunya mengajar bahasa Farsi dan Sejarah di sebuah sekolah menengah yang besar di Kabul. Pada tahun 1976, Kementrian Luar Negeri Afghanistan merelokasikan keluarga Hosseini ke Paris. Pada saat mereka ingin kembali ke Kabul tahun 1980, sebuah kudeta komunis serta serangan pasukan Soviet membatalkannya.
Keluarga Hosseini kemudian pindah ke San Jose, California. Hosseini lulus dari SMA tahun 1984 dan meneruskan sekolah di Santa Clara University, di mana dia mendapatkan gelar S1 di Biologi di tahun 1988. Tahun berikutnnya ia masuk University of California – San Diego, di departemen Kedokteran. Ia menyelesaikan praktek kuliah kerjanya di Cedars-Sinai Hospital, Los Angeles
Hosseini adalah seorang Internist dan dia mulai menulis “The Kite Runner” di bulan Maret 2001, saat dia juga sedang praktek sebagai dokter. “The Kite Runner” telah diterbitkan dan menjadi bestseller di 38 negara. Novel ini juga mendapat penghargaan Humanitarian Award 2006 dari UNHCR. Novel keduanya “A Thousand Splendid Suns” diterbitkan di Amerika di Mei 2007 dan telah menjadi bestseller.

1 komentar:

UMS EDUKASI RSBI mengatakan...

Mencoba mengkaji tuk tambah wawasan. Salam kenal dan Salam silaturahmi.