Rabu, 09 Desember 2009

File tgs S2

REFLEKSI SOSIAL DALAM CERPEN ‘KONVENSI’
KARYA A. MUSTOFA BISRI

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah
Sebagai simbol verbal, karya sastra memiliki andil besar di dalam masyarakat. Dituliskan Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Budaya dan Masyarakat (2006), andil besar sastra dalam masyarakat di antaranya sebagai cara pemahaman (model of comprehension), perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).
Lebih lanjut, Putu Wijaya dalam tulisannya yang berjudul sastra sebagai refleksi kemanusiaan, mengemukakan bahwa :
Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
Sastra, seperti halnya cerpen, menjadi cermin kondisi masyarakat. Nuraini Yussof , dosen sastra Universitas Utara Malaysia, dalam sebuah seminar satra, mengatakan bahwa karya sastra seperti cerita pendek (cerpen) sedikit banyak menggambarkan suasana sebenarnya dari kondisi masyarakat melalui pandangan pengarang (Kompas, 30 Juni 2009). Melalui cerpen, dapat dilihat kehidupan masyarakat, perjuangannya, dan masalah yang dihadapinya, seperti kemiskinan, pendidikan, politik, ekonomi, dan masalah-masalah lainnya.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra, termasuk di dalamnya cerpen, ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Cerpen “ Konvensi” karya A. Mustafa Bisri adalah salah satu cerpen yang dapat dikatakan sebagai cerminan atau refleksi sosial masyarakat. Cerpen ini mengisahkan hubungan kehidupan ‘dukun’ dan ‘politik’ di musim pemilihan kepala daerah. A. Mustofa Bisri menggambarkan kebiasaan masyarakat , dalam hal ini para calon kepala daerah maupun tim suksesnya, di masa pemilihan kepala desa yang suka ke ‘dukun’ untuk mensukseskan niatnya. Hal inilah yang menyebabkan cerpen ini menarik untuk dianalisis. Sudah bukan rahasia lagi bahwa masih ada kebiasaan sebagian masyarakat kita yang masih percaya pada dukun. Dukun dianggap sebagai orang ‘pintar’ yang memiliki hubungan metafisika dengan alam sehingga mampu membantu mereka menggapai harapannya.


2. Fokus Pembahasan
Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah refleksi sosial tokoh aku, refleksi sosial tokoh dia, serta refleksi sosial masyarakat umum yang tergambarkan dalam cerpen ‘Konvensi’ karya A. Mustofa Bisri.
3. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah mendiskripsikan refleksi sosial yang tergambarkan dari tokoh aku, tokoh dia, dan masyarakat secara umum yang ada dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri.

B. Kajian Teori
1. Sastra dan Sosiologi Sastra
Sastra (Sanskerta:, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu (wikipedia.org). Adapun menurut Wellek dan Warren (1995: 109) sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. De Bonald (dalam Warren, 1995:110) mengatakan bahwa literatureis an expression of society atau sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Lebih jauh dikatakan oleh Wellek dan Warren(1995,109) bahwa sastra mempunyai fungsi sosial atau ‘manfaat’ yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah-masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), symbol, dan mitos.
Adapun sosiologi adalah studi ilmiah tentang kehidupan sosial manusia (Hurton dan Hunt, 1991:23). Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki. Dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3). Ilmu yang menggabungkan keduanya ( sosiologi dan satra) disebut sosiologi sastra.

Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
2. Refleksi Sosial dalam Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang ( wikipedia. org). Cerpen, sebagaimana karya sastra lain, bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu.
Salah satu klasifikasi kajian sosilogi sastra menurut Ian Watt dalam Damono (1989:4) adalah sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sastra sebagai refleksi sosial masyarakat.
Refleksi adalah gerakan , pantulan di luar kemauan (kesadaran) sebagai jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar atau dapat juga dikatakan bahwa refleksi adalah cerminan;gambaran (KBBI, 1995: 826). Adapun Refleksi sosial adalah gambaran atau cerminan sosial mayarakat. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah
(a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
(b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
(d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu.
Dari uraian kajian teori di atas, pembahasan dalam makalah ini memfokuskan refleksi sosial atau gambaran sosial masyarakat yang terdapat dalam cerpen ‘Konvens’i karya A. Mustofa Bisri.

C. Pembahasan
1. Refleksi Sosial Tokoh Aku
Tokoh aku dalam cerpen digambarkan sebagai seorang dukun yang terkenal dan laris. Dukun dianggap oleh masyarakat sebagai ‘orang pintar’ yang tidak hanya mampu mengobati berbagai penyakit, tetapi juga mampu membantu pasiennya dalam mewujudkan harapan-harapannya. Seperti yang tertera dalam kutipan berikut.

Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, kini --sejak seorang sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah-- martabatku meningkat. Aku kini dikenal sebagai "orang pintar" dan dipanggil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi dan artis sudah pernah datang. Tujuan para pasien yang minta tolong juga semakin beragam; mulai dari mencarikan jodoh, "memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri, hingga menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang dengan tujuan agar jadi (paragraph 1).
Dalam kutipan tersebut digambarkan aktivitas dukun yang tidak hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disengat kalajengking, melainkan juga meminta tolong dalam mencarikan jodoh, “memagari sawah”, sampai menyelamatkan jabatan ataupun mewujudkan harapan pasiennya yang berkaitan dengan masalah politik, misalnya menjadi anggota legeslatif ataupun menjadi kepala daerah.
Hal tersebut tidak terlepas dari kepercayaan dan tradisi sebagian masyarakat yang masih menganggap dukun sebagai orang yang memiliki ‘keahlian lebih’ dibanding masyarakat lain pada umumnya. Tradisi dalam hal ini dapat diartikan keseleruhan benda materiil dan gagasan yang berasal dari masa lalu, namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan (Sztompka, 2004 : 70). Pada sebagian besar masyarakat (terutama Jawa) jika masih mempunyai anak balita yang akan disapih, ataupun rewel maka orangtuanya akan menganjurkan untuk dimintakan suwuk atau jupa-japu. Ini sudah menjadi tradisi yang turun-temurun sehingga keberadaan ‘dukun bayi’ sampai saat inipun masih dibutuhkan masyarakat.
Selain dukun bayi, keberadaan dukun-dukun lainpun masih eksis di zaman yang sudah modern ini. Yang datangpun tidak hanya kalangan menengah ke bawah tetapi juga kalangan atas. Hal tersebut tidak hanya ada pada kisah dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri saja, melainkan memang benar-benar ada dalam kehidupan masyarakat saat ini. Sebut saja Ki Joko Bodo, Mama Laurent, dan masih banyak lagi. Keberadaan mereka benar-benar ada dan dipercaya oleh sebagian masyarakat dari segala golongan.
Penggambaran tokoh aku dalam cerpen ini, selain menjadi dukun ia juga diceritakan sebagai seorang yang mau bersyukur, seperti dalam kutipan berikut.
Tuhan kalau mau memberi rezeki hamba-Nya memang banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah pantas disebut rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuberikan pembantuku, kini ke mana-mana aku naik mobil Kijang. Pergaulanku pun semakin luas (paragraf 2)
Meskipun berprofesi dukun, tokoh aku dalam cerpen ini digambarkan sebagai orang yang percaya pada Tuhan, hal ini sesuai dengan pernyataan awal kutipan tersebut, bahwa ia percaya rezeki diatur oleh Tuhan, bahwa ia mensyukuri perubahan nasib yang telah tuhan berikan padanya. Dan iapun bukan orang yang pelit karena dalam cerpen tersebut diceritakan ia memberikan sepeda onthelnya kepada pembantunya. Kontradiksi antara profesi dukun dengan agama yang dianutnya merupakan gejala yang memang nyata ada dalam masyarakat kita. Dukun pun adalah umat beragama bahkan dapat dimungkinkan mereka adalah orang yang taat beragama. Padahal dalam ajaran Islam tidak memperbolehkan percaya pada dukun sesuai dengan hadits Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
"Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal lalu mempercayai apa yang dia ramalkan, maka ia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ." (HR. Tirmidzi No. 135, Abu Dawud No. 3904, Ibnu Majah No. 639 dan Ahmad No. 9252. Hadits itu dishahihkan oleh Al-Hakim [I : 49] dan diakui oleh Adz-Dzahabi.
(www.yaumi.com)

2. Refleksi Sosial Tokoh Dia
Tokoh dia dalam cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri digambarkan sebagai seorang mantan petinggi militer yang menjabat bupati dan masih menginginkan jabatan tersebut sehingga ia mendatangi dukun (tokoh aku) untuk mendapatkan jabatannya lagi. Berikut kutipannya.
Pagi itu dia datang ke rumah sendirian. Tanpa ajudan. Padahal, kata orang-orang, ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan atau stafnya. Pakaian safari --kata orang-orang, sejak pensiun dari dinas militer, dia tidak pernah memakai pakaian selain stelan safari-- yang dikenakannya tidak mampu menampil-besarkan tubuhnya yang kecil. Demikian pula kulitnya yang hitam kasar, tak dapat disembunyikan oleh warna bajunya yang cerah lembut. ................................................................
(bag 2 pr 1)
Dia cerita bahwa sebentar lagi masa jabatannya sebagai bupati akan habis.
................................................ ( bag 2prg 2)

Jabatan bupati ataupun kepala daerah di Indonesia memang seringkali dijabat mantan petinggi militer seperti yang dikisahkan oleh A. Mustofa Bisri melalui tokoh dia. Contoh dalam dunia nyata kita mengenal Basofi Sudirman, Sutiyoso, dan masih banyak nama-nama lain yang pernah menjabat sebagai kepala daerah dan mereka adalah mantan militer.
Sebagaimana orang militer pada umumnya, dalam cerpen inipun dikisahkan watak dia yang selalu ingin mendominasi dan tidak suka mendengarkan nasehat atau komentar orang lain.
........................................................................................................................Bersemangat bila berbicara dan kelihatan malas bila mendengarkan orang lain. Mungkin karena aku justru termasuk orang yang agak malas bicara dan suka mendengar, maka dia tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang butut.(bag 2 prg 1)
Kebiasaan di tubuh militer berupa instruksi- instruksi yang harus dikerjakan dan tidak boleh ada bantahan. Apalagi yang sudah memiliki jabatan tinggi, akan terbiasa memerintah dan tidak mau diperintah. Hal tersebut dapat dimungkinkan akan membentuk kebiasaannya sehari-hari, bahkan ketika ia menjadi pemimpin daerah sekalipun. Tokoh dia dalam cerpen konvensi inipun memiliki kebiasaan tersebut. Dalam berbicarapun dia sangat bersemangat dan malas mendengarkan orang lain.
Sifat kepemimpinan tokoh dia yang otoriter ini juga tercermin dari pembicaraan yang dilakukan oleh tokoh sekda dengan tokoh aku ketika sekda mendatangi tokoh aku karena dia juga ingin maju dalam Pilkada di daerahnya itu. Berikut kutipannya.
........................................................................................................................
Saya yang selama ini mendampinginya setiap saat merasa prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup mata dan telinga bila melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya itu."

"Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah mengingatkan atau menegurnya bila tidak semestinya?" tanyaku.

"Ya tidak sekali dua kali," sahutnya, "tapi tak pernah didengarkan. Mungkin dia pikir saya kan hanya bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia selalu mengatakan bahwa dialah bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan........................................................................................................
(bag 3 prg 2)

Pada kutipan tersebut digambarkan bahwa tokoh dia memiliki karakter tidak mau mendengarkan nasehat orang lain meskipun orang lain tersebut adalah orang dekatnya –dalam hal ini sekda- bahkan bila diingatkan akan mengatakan bahwa dialah ‘bos’nya dan dia akan berani mengambil resiko atas keputusan ataupun perbuatannya. Di lingkup militer prajurit memang dituntut tegas dan berani ambil resiko. Hal tersebut tercermin dalam gambaran watak tokoh dia dalam cerpen ‘Konvensi’ ini.
Apa yang disampaikan tokoh sekda kepada tokoh aku dalam cerpen ini sangat bertolak belakang dengan perkataan tokoh dia kepada tokoh aku ketika dia mendatangi tokoh aku. Dia menceritakan bahwa sebenarnya orang-orang terdekatnyalah yang menghianatinya, mencuranginya, seperti dalam kutipan berikut.
.......................................................................................................................
"Njenengan tahu, orang-orang yang selama ini ada di sekeliling saya, yang resminya merupakan pembantu-pembantu saya, justru malah hanya mengganggu. Sering menjegal saya. Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri dengan mengatasnamakan saya. Lha akhirnya saya kan yang ketiban awu anget, terkena akibatnya. Sekarang ini beredar isu katanya bupati menyelewengkan dana ini-itu; bupati menyunati bantuan-bantuan untuk masyarakat; bupati membangun rumah seharga sekian miliar di kampung asalnya; dan isu-isu negatif lain. Ini semua sumbernya ya mereka itu." (bag 2 prg 5)

Setiap orang akan mencari pembenaran akan hal yang sudah dilakukannya. Demikian halnya politikus, dia akan merasa bahwa yang dilakukannya itu sudah benar, sesuai prosedur, bahkan jika ada yang salah dia akan mencari ‘kambing hitam’ . Seperti halnya perilaku tokoh dia dalam cerpen ini. Dia tidak pernah merasa bersalah, dia menganggap bawahannyalah yang korup, mengatasnamakan dirinya untuk menyalahgunakan kekuasaan dan memperkaya diri. Jika membaca cerpen ini, pembaca disuguhkan pada kebenaran yang bersifat relatif. Artinya, kebenaran versi/ menurut siapa? Menurut Dia (bupati) atau menurut tokoh Sekda? Menurut bupati, Sekdanyalah yang bersalah menyalahgunakan wewenang. Akan tetapi, menurut Sekda, bupatilah yang korup, tidak mau mendengar perkataan bawahan, dialah yang berkuasa dan dia jugalah yang menyengsarakan rakyat.
Fenomena seperti ini memang terjadi dalam masyarakat kita. Jika ada penyelewengan ataupun kesalahan semua mencari pembenaran atas dirinya, bukan mengurai masalah untuk mencari kebenaran. Contoh aktual dalam masalah ini adalah kasus KPK versus Kepolisian atau lebih dikenal dengan istilah cicak versus buaya. Semua merasa dirinya yang paling benar, institusinya yang benar, tidak ada kesalahan prosedur maupun tidak ada rekayasa di dalamnya. Dalam masalah ini tentulah rakyat yang paling dirugikan. Semua mengatasnamakan rakyat, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, mencari kebenaran sama dengan mengurai benang kusut.
3. Refleksi Masyarakat dalam Cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri
Cerpen Konvensi karya A. Mustofa Bisri mengisahkan tokoh Aku (dukun) yang laris di masa Pilkada. Semua orang yang akan maju dalam Pilkada mendatangi kediamannya untuk meminta dukungan dan minta restu. Tokoh yang saling berseberangan pun saling berebut simpati. Tiap-tiap calon merasa memiliki massa, memiliki pendukung. Keinginan mencalonkan diri dalam Pilkada pun mereka klaim bukan datang dari mereka tetapi karena keinginan masyarakat karena rasa keprihatinan dengan keadaan yang ada saat itu. Hal ini tergambarkan dalam kutipan berikut.
Nah, di musim pemilihan kepala daerah atau pilkada saat ini, tentu saja aku ikut sibuk. Dari daerahku sendiri tidak kurang dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para pendukung atau tim sukses mereka juga datang untuk memperkuat. Mereka umumnya minta restu dan dukungan. Sebetulnya bosan juga mendengarkan bicara mereka yang hampir sama satu dengan yang lain. Semuanya pura-pura prihatin dengan kondisi daerah dan rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon lain. Padahal, rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal kepingin. ... (prg 3)
.......................................................................................................
Tapi dia didorong-dorong --dia tidak menyebutkan siapa-siapa yang mendorong-dorongnya-- untuk maju mencalonkan lagi dalam pilkada mendatang. Sebetulnya dia merasa berat, tapi dia tidak mau mengecewakan mereka yang mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang terbelakang ini (bag 2 prg 2).
................................................................................................................
Terus terang kami kesulitan menolak kawan-kawan yang mendorong kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula memang selama periode kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu sendiri, tak ada kemajuan yang berarti (bag3prg2)

Pada kutipan di atas jelas tergambarkan ambisi untuk memimpin dengan mengatasnamakan masyarakat ataupun rakyat. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah rakyat yang mana? Mereka tidak mau dikatakan orang yang rakus atas kekuasaan. Mereka pun menjelek-jelekkan lawan politiknya dan mengagungkan dirinya, seolah-olah merekalah yang bisa tahu masalah rakyat dan yang mampu mengatasi masalah rakyat. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa di masa Pilkada para calon legeslatif maupun eksekutif berlomba-lomba obral janji, meninabobokkan rakyat dengan dalih kesejahteraan bersama, memberantas kemiskinan, anti korupsi, dan kata-kata indah lainnya. Terkadang cara-cara yang tidak baik pun dilakukan untuk menjegal lawan politiknya.
Mengenai hal ini Thomas Hobbes (dalam Narwoko, 2004: 257) mengatakan : jika dua orang (atau lebih) membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan. Pernyataan ini dalam kenyataannya memang banyak benarnya apalagi dikaitkan dengan perebutan jabatan. Seperti halnya yang dilakukan tokoh dia maupun tokoh Sekda dalam cerpen tersebut. Keduanya saling menjelekkan saingannya di depan sang dukun. Hal inipun terjadi pada dunia nyata. Beberapa waktu lalu pada masa pilpres terjadi perang pernyataan antara dua kubu yang menjadi lawan politik.
Dalam cerpen juga diceritakan mengenai pengaruh Kyai yang sangat besar di masyarakat. Bahkan, saat ini peran Kyia tidak hanya dalam kaitannya dengan agama melainkan berkaitan dengan politik. Banyak Kyai yang terjun dibidang politik, mendirikan partai politik, mendukung partai politik, dan hal lain yang berkaitan dengan politik. Kutipan berikut akan menjelaskan pengaruh dan keterlibatan Kyai dalam politik.
........................................................................................................
"Alhamdulillah, saya sudah melakukan pendekatan kepada Pak Kiai Sahil. Bahkan beliau mengikhlaskan putranya, Gus Maghrur, untuk mendamping Saya sebagai cawabup."

Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat berpengaruh di daerah kami. Partai terbesar di sini tak bakalan mengambil keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh cerdik orang ini, pikirku.

"Kiai Sahil sudah memanggil pimpinan partai Anu dan dipertemukan dengan saya. Dan tanpa banyak perdebatan, disepakati saya sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya sebagai cawabup (bag 2 prg 8) ………………………………………………………………………………………………..
Pada kutipan tersebut diceritakan mengenai strategi yang digunakan tokoh dia dalam upayanya memenangkan Pilkada, yakni dengan mendekati tokoh agama untuk meminta restu dan persetujuan. Dalam kutipan tersebut jelaslah merefleksikan kepercayaan masyarakat terhadap Kyai sangat tinggi bahkan keputusan apapun yang akan diambil oleh partai besar harus mendapat persetujuan Kyai. Mengenai hal ini pernah dikemukakan oleh Green ( dalam Narwoko,2004 : 233) bahwa agama, sebagaimana diakui oleh hamper semua kalangan sarjana, selalu berperan penting dalam masyarakat, terutama dalam perpaduan (integration) dan penyatuan (unifaction) masyarakat.
Hubungan agama dan pemerintahan sudah ada dan diakui sejak lama. Bahkan agama dapat dijadikan alat untuk melawan pemerintahan yang absolute, seperti yang pernah terjadi di Iran semasa pemerintahan Shah Iran, seorang raja yang absolute yang secara berlebihan memperlengkapi tentara dengan persenjataan modern. Pemimpin Islam, Ayatulloh Khomeini, waktu itu tidak punya tentara maupun uang bahkan hidup di pengasingan di Paris (Prancis). Akan tetapi, ia memerintahkan para muslim untuk memberontak melawan pemerintahan yang menurutnya dan menurut sebagian besar umat muslim di sana dianggap telah memperkosa agama sedemikian efektif hingga Shah melarikan diri dan pemerintahannya jatuh (Horton dan Hunt, edisi keenam : 314). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa agama memiliki kekuatan dan pengaruh yang sangat besar di masyarakat tidak hanya di Indonesia , melainkan juga di seluruh dunia.
Pada bagian akhir cerpen dan merupakan intisari judul diceritakan proses pencalonan bupati oleh dua partai besar untuk Pilkada di daerah itu melalui konvensi. Konvensilah yang menentukan siapa yang akan dicalonkan sebagai cabup dan cawabup. Proses demokrasi dalam partai berlangsung. Konvensi berjalan lancar meski cukup alot. Pada akhirnya diumumkan hasil konvensi bahwa cabup dan cawabup terpilih adalah Drs. Rozak sebagai cabup dan Ir. Sarjono sebagai cawagub yang ternyata keduanya adalah sama-sama ketua partai yang memimpin dan melaksanakan konvensi. Berikut kutipannya.
Singkat cerita, konvensi berjalan dengan mulus. Sesuai kesepakatan, calon bupati dipilih sendiri dan calon wakil bupati dipilih sendiri pula. Kemudian yang terpilih sebagai cabup dipasangkan dengan yang terpilih sebagai cawabup. Hasilnya sungguh mengejutkan banyak orang, terutama bupati lama dan sekdanya. Ternyata yang terpilih dan disepakati menjadi calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cabup dan Ir Sarjono, ketua Partai Polan sebagai cawabupnya (bag.4 prg 5).
Kutipan ini merupakan bagian akhir cerpen atau dapat dikatakan sebagai ending cerita pendek yang berjudul Konvensi ini. Dikisahkan meskipun tokoh dia maupun sekda sudah mendaftar dan merasa yakin memiliki dukungan dan massa namun pada kenyataannya keduanya tidak terpilih dan yang terpilih adalah ketua partai dari kedua partai besar yakni partai Anu dan partai Polan yang sedang melaksanakan konvensi. Cerita ini merefleksikan kondisi kehidupan berpolitik yang sebenarnya di Indonesia. Konvensi seperti ini sering dilakukan di Indonesia. Dalam politik segala hal bisa mungkin terjadi ,yang semula kawan bisa jadi lawan, yang semula lawan bisa jadi kawan. Tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi. Artinya, semua bergantung pada kepentingan. Kepentingan partai, kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan.
D. Penutup
1. Simpulan
Cerpen ‘Konvensi’ karya A. Mustofa Bisri merefleksikan kondisi sosial politik masyarakat di Indonesia pada umumnya. Ada beberapa refleksi sosial yang tergambarkan melalui tokoh aku, dia, dan masyarakat yang ada dalam cerpen. Refleksi sosial tersebut adalah sebagai berikut.
a. Di tengah masyarakat yang mengaku agamis, kepercayaan terhadap dukun masih tinggi.
b. Banyak penguasa baik di daerah maupun sampai tingkat Negara berasal dari petinggi militer yang sudah nonaktif.
c. Karakter pejabat apalagi mantan petinggi militer seringkali suka memerintah dan tidak mau mendengarkan perkataan orang lain apalagi bawahannya.
d. Di musim Pilkada banyak orang yang punya ambisi untuk mencalonkan diri dan mereka tebar pesona untuk memperoleh dukungan dari masyarakat.
e. Pengaruh Kyai sangat besar di masyarakat di segala bidang termasuk di bidang politik.
f. Dalam politik tidak ada yang pasti yang ada hanya kepentingan abadi, kepentingan untuk memperoleh kekuasaan.
2. Saran
Mengkaji karya sastra adalah suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan bermanfaat. Menyenangkan karena pembaca seolah-olah dibawa ke alam yang diciptakan pengarang melalui karyanya. Bermanfaat karena dengan membaca karya sastra pembaca diberi tambahan wawasan dan semakin memperkaya tidak hanya khazanah ilmu tetapi juga qolbu. Karena karya sastra yang baik akan memberikan tambahan kekayaan hati bagi pembacanya. Untuk itulah kegiatan seperti ini perlu lebih diintensifkan dan lebih digalakkan lagi baik di sekolah-sekolah maupun di lingkungan masyarakat sehari-hari.












DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra sebagai Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Depdiknas. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Horton, Paul B dan Chester L.Hunt. Edisi Keenam. Sosiologi. Jakarta : Erlangga.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi : Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta : Prenada Media.
Sztompka,Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
http/:www.gusmus.com//
http/:www. pesantrenvirtual.com//
http/:www.yaumi.com//

Tidak ada komentar: