Rabu, 09 Desember 2009

File tugas MP Kualitatif Prof Yu

STRUKTUR DAN FUNGSI SASTRA LISAN “KIDUNGAN” DALAM LUDRUK JOMBANGAN

( Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen Pengampu Prof. Dr. Setya Yuwana, MA )






Oleh

Faiqotur Rosidah (09745005)







PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Desember, 2009

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Ludruk adalah salah satu kesenian tradisional Jawa Timur. Menurut Kasemin (1999:1) ludruk tergolong kesenian folkor setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan dimainkan di atas panggung atau dapat juga dikatakan sebagai teater (sandiwara) rakyat yang didalamnya mengandung unsure gerak, tari, kidungan, musik dekor, cerita, dan lain-lain. Adapun Peacock (2005: 59) menyatakan bahwa setiap pertunjukan ludruk adalah sekumpulan contoh dari genre ngremo, dagelan, dan cerita tertentu.
Seorang pelaku ludruk asal Jombang, Bayan Manan (Radar Mojokerto JP, 26 Juli 2009) pernah mengatakan bahwa ludruk merupakan kesenian hiburan rakyat yang murah juga istimewa. Satu-satunya hiburan jelata yang nyata benar menyesap di hati rakyat dan mewakili latar sosial dan dunia batin mereka. Karena itulah ia memutuskan sikap untuk terjun ke dunia ludruk. Akan tetapi, cerita itu sekarang menjadi sekadar kisah kenangan karena ludruk yang dulu sangat melekat dengan kehidupannya, sekarang ini sudah gulung tikar.
Mengapa kesenian tradisional ini akhir-akhir ini kian menyusut dan tidak lagi digemari masyarakat? Menurut Kasemin (1999: 2) ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal tersebut bias terjadi. Kendala internal antara lain selain kekurangan modal, juga masih terlalu sedikitnya tenaga kerja professional dalam dunia peludrukan, baik tenaga pendukung,seperti pemeran pria, wanita (travesti) ,maupun tenaga kreatif, seperti sutradara, penulis cerita, peñata artistik dan piñata musik gamelan.
Adapun kendala eksternal adalah akibat dari semakin berkembangnya televisi swasta dan semakin maraknya tempat hiburan seperti karaoke,diskotik, pub, dan klub malam. Hal inilah yang menyebabkan ludruk semakin terdesak jauh ke daerah pinggiran dan mencari penghidupan diantara masyarakat ekonomi lemah pedesaan sehingga kehidupan kesenian ludruk pun semakin memprihatinkan.
Untuk mengembalikan ludruk sebagaimana masa jayanya dulu tentu bukanlah hal yang mudah. Baru-baru ini Dinas Parbupora Jombang mengadakan festival ludruk se-Jawa Timur dengan harapan selain menggiatkan kembali kesenian tradisional ini juga mengharap agar ludruk tetap mampu eksis , di kota asal kesenian tradisional ini .
Membicarakan ludruk tentu tidak terlepas dari makna kata ludruk itu sendiri . Ludruk bisa berarti badhut (pelawak, pendagel); ludruk bisa juga berarti bangsane tledhek atau tledhek lanang, maksudnya penari laki-laki yang memakai pakaian wanita atau disebut travesti (Suripan dalam Kasemin,1999:11).
Ludruk sebagai seni pentas tradisional memiliki ciri-ciri struktur pertunjukan sebagai berikut.
1. Pembukaan, diisi dengan atraksi ngremo.
2. Atraksi bedayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan melantunkan nyanyian atau kidungan jula-juli.
3. Adegan lawak atau dagelan, biasanya diawali dengan melantunkan kidungan jula-juli yang bersambungan dan disusul dialog-dialog lawakan.
4. Penyajian lakon atau cerita, yang merupakan bagian inti cerita.
Ludruk memang selalu diisi dengan kidungan-kidungan. Menurut Sedyawati (dalam Suprianto, 1992:24) terdapat ciri kidungan dalam ludruk, baik kidungan tari ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, maupun kidungan adegan.
Istilah ‘kidungan’ menurut KBBI (1995:500) berasal dari kata ‘kidung’ yang berarti nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan); puisi,sanjak atau kidungan berarti nyanyian yang bersifat lirik yang melukiskan suatu perasaan. Kidungan dalam ludruk tentulah sangat menarik untuk ditelaah, dikaji, ataupun diteliti mengingat ludruk adalah sebuah seni pertunjukan tradisional yang kental dengan nilai-nilai sastra.

B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur kidungan (kidungan ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, maupun kidungan adegan) dalam ludruk Jombangan?
2. Apakah fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tentang kidungan dalam ludruk Jombangan ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur kidungan dalam ludruk Jombangan
2. Mendeskripsikan fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan.
D. Manfaat Penellitian
Melalui penelitian tentang struktur dan fungsi sastra lisan kidungan dalam ludruk jombangan ini diharapkan memiliki manfaat baik manfaat secara teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menghasilkan data yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian sejenis. Adapun secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi pelestarian kesenian tradisional terutama ludruk agar kesenian ini tidak semakin punah tergerus arus zaman.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian mengenai ludruk sudah banyak dilakukan. Salah satunya adalah thesis yang ditulis oleh Andi Yunus Firmansyah pada tahun 2002 dengan judul Lakon Ludruk Sawunggaling di Surabaya. Selain itu ada juga penelitian sejenis yang dilakukan oleh … dengan judul Lakon Joko Sambang Pendekar Gunung Gangsir Ludruk Karya Budaya Mojokerto. Penelitian tersebut mengambil fokusnya mengenai struktur cerita, struktur pementasan cerita, dan fungsi sosial cerita.
Adapun penelitian lainnya mengenai ludruk juga pernah ditulis oleh Akhmad Taufiq tahun 2005 dengan judul Poskolonialisme Sastra dalam Ludruk. Dalam analisis itu, Akhmad taufik menerapkan teori poskolonial, konsep subaltern, konsep teori, konsep resistensi, konsep kekuasaan, konsep dampak colonial, konsep bahasa, dan konsep-konsep lainnya.
Penelitian mengenai ludruk memang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi penelitian ludruk yang memfokuskan pada kidungannya dapat dimungkinkan belum banyak dilakukan. Untuk itulah penelitian ini memfokuskan pada kidungan dalam ludruk yang memang meliliki aspek sastra, aspek fungsi dan kaya akan nilai-nilai kehidupan.

B. Kajian Teori
1. Ludruk dan kidungan
Seperti yang telah diuraikan pada bab pendahuluan di atas, ludruk merupakan kesenian tradisional yang ada di wilayah Jawa Timur, termasuk Jombang. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa asal-mula ludruk memang dari kota ini. Seperti halnya yang dikemukakan Henry Suprianto (dalam Kasemin, 1999: 12) bahwa masa awal ludruk Jawa Timur dirintis oleh Pak Santik asal Jombang. Ia mempunyai perwatakan lucu atau mempunyai tingkat humor yang tinggi dan pada tahun 1907 ia bekerja sebagai pengamen dengan membawa iringan musik lisan atau musik mulut.
Mengenai asal mula ludruk memang belum begitu jelas. Hal ini dikarenakan terbatasnya data tertulis, dokumentasi dalam bentuk prasasti atau gambar, karena ludruk tidak dapat direkonstruksi kembali, ludruk selalu hilang dalam dimensi ruang dan waktu (Suprianto dalam Kasemin, 1999:10).
Adapun mengenai cirri khas ludruk sebagai seni tradisional dari dulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan. Menurut Suprianto (dalam Kasemin, 1999: 10) ciri khas pertunjukan ludruk sebagai kesenian tradisional adalah sebagai berikut.
1) Pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris .
2) Peranan wanita sebagian besar dilakukan oleh laki-laki yang disebut tandak.
3) Dalam setiap pementasan selalu diiringi musik gamelan berlaras slendro atau pelog.
4) Ludruk memiliki ciri nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli yang disebut kidungan.
5) Dalam setiap pementasan selalu diawali dengan tari Ngremo.
6) Setelah ngremo dilanjutkan dengan bedayan.
7) Adegan berikutnya adalah lawak atau dagelan.
8) Rangkaian puncak pertunjukan ludruk adalah lakon atau cerita.
Pada ciri keempat atau kidungan tersebut, terdapat beberapa adegan kidungan, baik kidungan ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan. Menurut Peacock (2005:60) Kidungan-kidungan ludruk, entah menjadi bagian selingan, ngremo, ataupun dagelan semuanya memiliki struktur yang sama. Terdapat sekitar 200 kutrain atau kuplet berbeda yang popular dalam dunia ludruk. Setiap kidungan dalam sebuah pertunjukan ludruk terdiri atas lima sampai limabelas kuartrain atau kuplet. Dari beberapa kidungan ini yang paling diminati dan sering ditranskrip adalah kidungan dagelan.
Kidungan dagelan biasanya terbagi dalam empat bagian yaitu poos, lombo, debel, dan penutup. Contoh kidungan jula-juli threthek Jombangan : Nang Jombang tuku clana,
Songgoriti akeh ulane,
Paman ana perlambang sak bendino,
Sing ati-ati momong keluargane.
(Sindhunata, “Ilmu Ngglethek Prabu Minohek”, 2004 :86)

Jika dianalisis kidungan di atas memiliki rima a-b-a-b, seperti pantun dan ada sampiran pada larik 1,2 sedangkan larik 3,4 merupakan isi. Dari segi isinya pun kidungan ini kaya makna dan nilai-nilai hidup bahwa dalam membina, mengasuh keluarga haruslah selalu berhati-hati. Dengan demikian memang layak kidungan dikaji lebih dalam agar aspek-aspek yang terkandung di dalamnya tidak hilang begitu saja seiring dengan makin berkurangnya kesenian ludruk.

2. Teori Strukturalisme Levi Strauss : Bahasa dan Budaya
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang antropologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda semakin mudah dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persolan tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul dan juga gejalanya. Dengan demikian penjelasanya akan semakinmudah.
Levi Strauss (dalam Hidayat, 2006:113) meyakini bahwa analisis kebudayaan dapat dilaksanakan dengan menggunakan analisis bahasa sebagai model. Bukan hanya itu, menurut Levi Straus, sifat paling hakiki tentang aspek-aspek kebudayaan sama dengan sifat-sifat bahasa. Ia juga meyakini bahwa kebudayaan memang merupakan suatu system seperti halnya dalam bahasa. Oleh karena itulah Levi Strauss menyamakan objek kebudayaan sama dengan objek linguistic.
Levi Strauss memandang perilaku budaya, upacara, ritus, kekerabatan, hukum perkawinan, cara memasak, system totem, bukan sebagai wujud yang instrinsik, yang diperhatikannya ialah hubungan-hubungan konstrastif (istilah linguistik) di antara unsur-unsur yang membentuk strukturnya masing-masing. Secara implisit teori Levi Strauss ini, menurut Hidayat (2006: 114) dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Bahasa dalam pandangan Levi Strauss adalah suatu system yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan tidak ada pengaruh dari luar.
2) Bahasa sebagai suatu sistem dan dalam penyelidikan bahasa harus menggunakan dua metode, yaitu synkronik dan diakronik.
3) Karena kebudayaan analog dengan bahasa yaitu sebagai system tanda, system itu harus dipelajari secara synkronik dan diakronik, dan yang harus didahulukan adalah synkronik sebelum menyelami asalah-masalah diakronik.
4) Hukum-hukum linguistik suatu taraf tak sadar dan kebudayaan dapat disamakan dengan bahasa.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa,2006;60).
Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sarah Schmitt (1999) menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the wordsform.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudyaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.


3. Teori Fungsi
Menurut Bascom folklore mempunyai empat fungsi (Dundes, 1965a:279), yakni sebagai (1) cermin / angan-angan pemiliknya; (2) alat pengasah pranata dan lembaga kebudayaan; (3) alat pendidikan, dan (4) alat penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai masyarakat (means of social pressure) dan pengendalian prilaku masyarakat (exercisian social control). Fungsi-fungsi seperti ini dapat dilacak berdasarkan data di lapangan. Fungsi tersebut dapat berkembang sejauh didukung oleh data yang jelas.
Dalam bidang sastra lisan, sebagai bagian dari folklor, Sudikan (2001: 119) mengemukakan teori fungsi itu dipelopori oleh William R. Bascom, Alan Dundes, dan Ruth Finegan. Masing-masing ahli memiliki pandangan yang berbeda karena landasan filosofisnya berbeda. Menurut Bascom dan Dundes (dalam Endraswara, 2009:126) sastra lisan atau folklore lisan mempunyai empat fungsi: (1) sebagai bentuk hiburan (as a form of amusement), (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (it plays in validating culture, in justifying its ritual and institution to those who perform and observe them), (3) sebagai alat pendidikan anak-anak (it plays in education, as pedagogical device) dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya (maintaining conformity to the accepted pattern of behavior, as means of applying social pressure and exercising social control)
Berbagai konsep teoritis mengenai fungsi folklore telah banyak diterapkan oleh peneliti Indonesia. Peneliti-peneliti mengangkat aspek fungsi agar menemukan relevansi dan pragmatika folklore secara eksplisit. Misalnya Sudikan (2001: 110) mencoba menemukan fungsi pergelaran wayang krucil. Wibawa (1995) menelusuri folklore Cingcinggoleng bagi masyarakat Gunung Kidul.

BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Tahapan penelitian ini merupakan serangkaian kegiatan dimulai dari pengumpulandata,penyusunan,penyeleksian,penganalisisan,dan penyimpulan. Proses ini akhirnya menghasilkan perian fokus permasalahan yang digarap yaitu berupa deskripsi tentang struktur dan fungsi kidungan dalam ludruk.
Dengan demikian, sesuai dengan rumusan masalah, tujuan maupun proses analisis data yang akan dilakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni penggambaran secara sistematis fakta dan sumber data penelitian. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah struktur dan fungsi sastra lisan ‘kidungan’ dalam ludruk Jombangan.

B. Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa pelakon ludruk (seniman) dan seorang koordinator tim pelestarian dan perlindungan seni budaya Jombang. Pelaku ludruk yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini adalah beberapa pelakon yang tergabung dalam ludruk “Bintang Baru”, “Budhi Wijaya”, dan “Sari Murni” yang tersebar di wilayah Jombang, yakni Ploso, Kabuh, dan Diwek. Adapun koordinator tim pelestarian dan perlindungan seni budaya Jombang yang akan peneliti jadikan informan bernama Fahrudin Nasrullah, seorang cerpenis dan pegiat seni di Jombang yang beberapa tulisan-tulisannya sering dimuat di media massa.

C. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data pada sejumlah pertunjukan ludruk asal Jombang, yakni ludruk “Bintang Baru”, “Budhi Wijaya”, dan “Sari Murni”. Secara terinci, teknik pengambilan data ini dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berikut.
a. Observasi lapangan
Dari observasi lapangan diharapkan diperoleh berbagai informasi, antara lain, (a) dokumen tentang ludruk termasuk didalamnya kidungan; (b) kehidupan ludruk; (c) narasumber yang dapat dimintai informasinya tentang ludruk, dan (d) respon penonton ludruk.
b. Perekaman dan wawancara
Pengambilan data mengenai struktur dan fungsi kidungan dalam ludruk Jombangan ini dilakukan dengan merekam pementasan ludruk yang dijadikan sumber data. Sebagai data tambahan dilakukan juga wawancara tentang berbagai informasi mengenai ludruk terutama kidungan kepada narasumber atau informan dalam penelitian ini.

D. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan dilakukan dengan teknik analisis dan teknik pengolahan hasil analisis. Teknik analisis dimulai dengan (a) identifikasi data, (b) klasifikasi data, (c) penentuan teknik analisis, dan (d) analisis sesuai dengan rancangan yang digunakan.
Teknik pengolahan hasil analisis dibuat dalam bentuk table, yang berisi nomor, kode data,dan nama grup, dan judul lakon. Dengan teknik ini diharapkan akan mempermudah menguraikan hasil analisis data.

E. Teknik Keabsahan Data
Agar penelitian ini memiliki keabsahan data maka penelitian ini akan dilakukan dengan pengamatan langsung secara tekun, yakni menyaksikan secara langsung pertunjukan ludruk yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan agar memperoleh data secara lebih mendalam sehingga penelitian ini memiliki kredibilitas. Untuk memperkuat perolehan data dilakukan dengan perekaman dan wawancara.
Selain itu trianggulasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan beberapa informan sebagai subjek penelitian, melakukan diskusi dengan pelestari ludruk (dalam hal ini telah peneliti sebutkan pada sub bab sebelumnya) dan pengecekan ulang data dari informan-informan yang terlibat.






























DAFTAR PUSTAKA


Endraswara, Suwardi.2009. Metodologi Penelitian Folklor : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Firmansyah, Andi Yunus. 2002. Lakon Ludruk Sawunggaling di Surabaya. Thesis : PPS UNESA.

Hidayat, Asep Akhmad. 2006. Filsafat Bahasa : Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Rosda Karya.

Kasemin, Kasiyanto. 1999. Ludruk Sebagai Teater Sosial. Surabaya : Airlangga University Pers.

Nasrullah, Fahrudin. 2009. Tajuk Sutikno dan Ludruk Sari Murni. Artikel : Radar Mojokerto (30 Agustus 2009).

Peacock, James L. 2005. Ritus Modernitas : Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia. Jakarta: Desantara.

Sindhunata. 2004. Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Sleman: Bokoe Tjap Petruk.

Taufik, Akhmad. 2005. Poskolonialisme Sastra dalam Ludruk. Makalah Komprehensif :PPS UNESA.

Tidak ada komentar: