Selasa, 29 Desember 2009

mk landasan pembelajaran bahasa, Irene R

FAKTOR SOSIAL BUDAYA DALAM PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA


A. Pendahuluan

Fungsi Bahasa bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh (regulatory), kepribadian, pemecahan masalah, dan khayal.
Dalam pemerolehan maupun pembelajaran bahasa, banyak teori-teori yang dikemukakan oleh ahli bahasa mengenai hal tersebut. Gardner dan Lambert (1972) mengemukaan bahwa penguasaan bahasa seseorang dipengaruhi oleh empat bagian utama, yaitu: (a) lingkup sosio-kultural, (b) perbedaan individual, (c) konteks pemerolehan bahasa, dan (d) out-comes belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa.
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah hidupnya (Moll & Greenberg, 1990).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, begitu pentingnya pengaruh sosio-kultural dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa inilah yang akan diurakaikan dalam tulisan ini. Adapun fokus kajian ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa, sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan bahasa secara umum, factor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, serta aplikasi teori-teori sosio-budaya dalam bahasa dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa.

B. Faktor Sosiol Budaya dan Bahasa
1. Budaya: Definisi dan Teori
Budaya adalah sebuah cara hidup. Ia adalah konteks yang didalamnya kita ada berpiki, merasa, dan berhubungan dengan yang lain. Budaya juga bias didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang mencirikan kelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu.
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.
Tampak jelas bahwa budaya, sebagai himpunan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, menjadi sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa kedua. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa. Baik linguis maupun intropolog menghasilkan setumpuk testimony untuk pengamatan ini ( Uber Grose, 2004; Scheter dan Bayley, 2002 ; Littlewood, 2001; Dlaska, 200; Hinenoya & Gatbonton; Matsumoto, 2000; Kubota, 1999; Robinson Stuart & Nocon, 1996; Scollon & Scollon, 1995).
Ekumenis terhadap budaya yakni melihat budaya-budaya tidak oposisional atau saling eklusif, tetapi lebih sebagai semacam corak dan warna yang meliputi sebuah spectrum yang lebar. Prospek untuk melihat budaya sebagai ‘ekumenis’ adalah sesuatu yang kontradiktif, ujar sparrow (2000, h. 750) yang kemudian melanjutkan, ‘kita jadi tak bisa mengajarkan pandangan yang diterima tentang budaya maupun menempatkan profesi kita dipasir apung relativitas moral.

2. Strereotipe atau generalaisasi
Bagaimana stereotipe membentuk/Milieu budaya kita membentuk pandangan dunia kita-weltanscauung kita-dalam sebuah cara sehingga realitas dianggap terlihat objectif melalui pola budaya kita sendiri,dan persepsi yang berbeda dilihat sebagai salah satu ‘asing’dan penyederhanaan berlebihanpun terjadi. Jika orang mengenali dan memahami pandangan-pandangan dunia yang berbeda.mereka biasanya mengadopsi sikap positif dan terbuka kepada perbedaan-perbedaan lintas budaya. Pandangan sempit terhadap perbedaan-perbedaan semacam itu sering berakibat pula pada dipertahankannya stereotipe-sebuah penyederhanaan berlebihan dan sepenuhnya asumsi. Sebuah stereotipe melekatkan karacteristik kelompok kepada tiap individu semata-mata berbasis keanggotaan budaya mereka.
Stereotipe mungkin akurat dalam menggambarkan anggota’tipikal dari sebuah budaya, tetapi ia tak akurat saat menggambarkan individu tertentu.semata-mata karena setiap orang unik dan seluruh karakteristik perilaku seseorang tak bisa diprediksi secara akurat secara pukul rata seperti itu.Menghakimi anggota sebuah budaya dengan sifat keseluruhan budaya sama saja dengan menghakimi sebelum waktunya dan salah menghakimi.stereotipe punya potensi merendahkan orang-orang dari budaya lain.Komentar Mark Twain tentang bahasa Prancis dan Jerman,sekalipun ditulis dengan semangat bercanda dan tak ada maksud jahat,bisa ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai penghinaan.

3. Sikap
Stereotipisasi biasanya menyiratkan semacam sikap terhadap budaya atau bahasa yang dibicarakan.sikap seperti semua aspek perkembangan kognisi dan afeksi pada manusia,berkembang awal pada masa kanak-kanak dan buah dari sikap orang tua dan rekan sebaya,kontak dengan orang-orang yang berbeda dalam banyak cara dan faktor-faktor afektif yang berinteraksi dalam pengalaman manusia.sikap-sikap ini membentuk sebagian dari persepsi seseorang akan dirinya ,orang lain,dan budaya dimana ia tinggal.
Studi ekstensif Gardner dan Lambert [1972] adalah upaya sistematis memeriksa efek sikap kepada pembelajaran bahasa.Tampaknya jelas bahwa para pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari sikap positif dan bahwa sikap negative mungkin menyebabkan melemahkan motivasi dan kemungkinan besar karena melemahnya masukan dari interaksi,kegagalan meraih kecakapan.Namun guru harus awas bahwa setiap orang memiliki sikap positif dan sikap negative.



4. Pemerolehan Budaya Kedua
Mengingat pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan derajat tertentu pembelajaran budaya kedua, penting memahami apa yang kita maksudkan dengan proses pembelajaran budaya. Robinson-Stuart dan Nocon [1996] mempertahankan beberapa perspektif tentang pembelajaran budaya yang sudah kita lihat beberapa dasawarsa terakhir. Mereka mengomentari gagasan yang menyebutkan bahwa pembelajaran budaya adalah perjalanan dangan karpet ajaib menuju budaya lain,yang teraih sebagai produk samping otomatis dari pelatihan bahasa adalah konsepsi yang keliru. Pembelajaran budaya adalah sebuah proses penciptaan makna bersama diantara perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran yang berlangsung selama bertahun-tahun dalam pembelajaran bahasa. Dalam pembahasan ego bahasa,melibatkan pemerolehan sebuah identitas kedua. Penciptaan identitas baru ini berada dijantung pembelajaran budaya atau yang disebut akulturasi.
Kadang gangguan tersebut sedemikian berat,sehingga seseorang mungkin mengalami gegar budaya.Gegar budaya merujuk kepada fenomena yang berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic dan krisis psikologis yang dalam. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan ,marah, bermusuhan, bimbang,
frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah,dan bahkan sakit fisik.Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat baru dengan perasaan sengit dan berubah-ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka.



5. Jarak Sosial
Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua.Jarak sosial merujuk kepada pendekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu didalam diri seseorang.Jarak jelas dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan ketidakmiripan antara kedua budaya.John Schumann (1976 h136) menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut: (1)Dominasi, (2)Integrasi, (3) Kekohesifan, dan
(4)Keserasian, (5) Kepermanenan
Hipotesis Schumann adalah bahwa makin besar jarak sosial antara dua budaya,makin besar kesulitan yang akan ditemui pembelajar saat belajar bahasa kedua.dan sebaliknya,makin kecil jarak sosial makin baik situasi pembelajaran bahasanya.

6. Mengajarkan kompetensi antar budaya
Sekalipun kebanyakan pembelajarbetul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal diwilayah lintas budaya,sejumlah orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari bahasa eketerasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua,terasing dari orang-orang dibudaya kampung halaman mereka,budaya sasaran,dan dari diri mereka sendiri.Saat mengajarkan sebuah bahasa asing kita perlu pekah pada kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Sejumlah cara untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma semacam itu digambarkan dalam sebuah artikel provokatif karya Geert Hofstede(1986) yang menggunakan empat kategori konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh negara berbeda. Berikut penjabaran kategori masing-masing: (1) Individualisme adalah karakter sebuah budaya lawan dari kolektivisme; (2) Jarak kekuasaan adalah sebuah budaya sejauh mana orang-orang yang kurang berdaya dalam masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan menganggapnya normal; (3) Penghindaran ketidakpastian adalah karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sejauh mana orang-orang dalam budaya itu dibuat gugup oleh situasi yang tak bisa diduga; (4) Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari feminitas

7. Kebijakan dan politik bahasa
Pada saat kita memasuki paradikma baru dimana konsep penutur asli dan bukan asli menjadi kurang relevan,barangkali lebih tepat untuk berfikir mengenai tingkat kacakapan pengguna bahasa.Berbicara adalah satu dari keempat ketrampilan dan mungkin tak layak sekali untuk dijunjung menjadi criteria tunggal kecakapan. Maka bersama Kacru(2005), McKay(2002),dan yang lainnya, profesi ini terjalankan dengan mempertimbangkan kecakapan komunikatif seseorang yang mencakup empat ketrampilan. Para guru dengan bahasa apapun,terlepas dari keragaman bahasa Inggris mereka sendiri, kemudian bisa dinilai dengan adil dan pada gilirannya, yang terpenting adalah ilmu mengajar dan pengalaman mereka.

a. ESL dan EFL
Seperti halnya diperlihatkannya dalam pembahasannya diatas,kita melihat adanya pembauran yang semula masih kita sebut sebagai bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL) dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing(EFL).Mempelajari bahasa Inggris di dalam sebuah budaya di mana bahasa Inggris dituturkan secara asli.


b. Imperialisme Linguistik dan Hak Bahasa
Salah satu permasalahan paling controversial untuk ditangani dalam penyebaran global EIL adalah sampai sejauh mana berkembang-biaknya bahasa Inggris sebagai medium pendidikan,perdagangan,dan pemerintahan telah menghalangi literasi penggunaan bahasa-bahasa ibu,telah mancegah kemajuan sosial dan ekonomi merela yang tak mempelajarinya,dan secara umum tak relevan dengan kebutuhan orang awam dalam kehidupan mereka sehari-hari atau di masa mendatang (Ricento,199)

c. Kebijakan bahasa dan debat ’Hanya bahasa Inggris’
Kita bisa mambayangkan bakal serunya perbedaan pendapat yang terjadi untuk membenarkan sebuah kebijakan bahasa tertentu untuk pendidikan. Pertikaian hebat system nilai hadir untuk mendapatkan keputusan puncak: kebinekaan linguistic, kemajemukan budaya,etnisitas,ras,kekuasaan,status,politik,ekonomi,dan daftarnya terus berlanjut.Dalam analisis final,”sejarah mengindifikasikan bahwa membatasi hak bahasa bisa memecah belah dan bisa menggiring kekecondongan segregasionis di dalam sebuah masyarakat.Pada saat yang sama,peraturan semacam itu jarang menghasilkan sebuah masyarakat padu yang hanya bicara dalam bahasa-bahasa yang dimandatkan.”(Thomas,1996,h 129)

8. Bahasa, pemikiran, dan budaya
Tak ada diskusi tentang variabel-variabel budaya dalam pemerolehan bahasa kedua yang lengkap tanpa pembahasan hubungan antara bahasa dan pemikiran.Kita menyaksikan dalam kasus pemerolehan bahasa pertama bahwa perkembangan kognitif dan perkembangan linguistic berjalan seiring,keduanya saling berinteraksi dan saling membentuk.Lazim teramati bahwa cara menyatakan sebuah ide atau fakta mempengarui cara kita merumuskan ide tersebut.Di sisi lain,banyak dari ide,permasalahan,penciptaan,dan penemuan kita melahirkan kebutuhan untuk kata-kata baru.Bisakah kita memisah-misahkan interaksi ini?

a. Membingkai Semesta Konseptual Kita
Kata-kata membentuk hidup kita.Dunia iklan adalah contoh telak penggunaan bahasa untuk membentuk,membujuk,dan mencegah.”kata-kata licin”contong mengagung-agungkan produk-produk yang sangat biasa kedalam golongan “tak tendingi”.”puncak”,”berkekuatan super”, dan “pilihan tepat”.Untuk kasus makanan yang sudah dilucuti sebagian besar kadar gizinya oleh proses manufacturing.Kita diberi tahu bahwa produk-produk ini kini “diperkaya”dan “dilindungi”.Seorang warga asing di Amerika Serikat pernah berkomentar bahwa di Amerika Serikat tak ada telur yang “kecil”yang ada hanyalah “medium”,”besar”,”ekstra besar”,dan “jumbo”.Eufemisme ini melimpah ruah dibudaya Amerika di mana beberapa pemikirantertentu ditabukan dan kata-kata tertentu berkonotasi sesuatu yang kurang diinginkan.
Pada tatanan wacana bahasa,kita akrab dengan daya bujuk sebuah pidato emosional atau novel yang ditulis dengan baik.Seberapa sering seorang orator yang berbakat menggiring opini dan pemikiran?atau sebuah editorial kuat menggerakkan seseorang bertindak atau berubah?Ini adalah contoh-contoh lazim pengaruh bahasa terhadap keadaan keadaan kognitif dan afektif kita.

b. Hipotesis Whorfian
Sebuah pertanyaan menggoda muncul dari pengamatan semacam itu.Apakah bahasa mencerminkan pandangan dunia tentang suatu budaya,atau apakah bahasa benar-benar membentuk pandangan dunia?Berangkat dari ide-ide Wilhelm van Humboldt(1767-1835),yang menyatakan bahwa bahasa membentuk weltanshauung,atau pandangan dunia seseorang,Edward Sapir dari Benjamin Whorf mengajukan sebuah hipotesis yang kini sudah diberi beberapa label alternatif:hipotesis Sapir-Whorf,hipotesis Whorfian,relativitas linguistic,atau Determinisme Linguistik,atau demi simpelnya,apa yang sekarang disebut sebagai Hipotesis Whorfian.
Kesimpulan paling valid untuk semua studi semacam itu adalah bahwa mungkin kiranya bicara tentang apapun dalam bahasa apapun selama si penutur bersedia menggunakan penyampaian tak langsung dalam derajat tertentu….Setiap bahasa alamiah menyediakan sebuah bahasa untuk bicara tentang bahasa lain,yaitu metabahasa,maupun sebuah perkakas yang sepenuhnya memadai untuk melakukan pengamatan jenis apa saja yang perlu dibuat tentang dunia.Jika demikian kasusnya,setiap bahasa alamiah pastilah sebuah system yang sangat kaya yang siap membuat para penuturnya mengatasi kecenderungan yang ada.Maka sekalipun beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kerangka piker kognitif potensial(misalnya,dalam bahasa Inggris,passive voice,system tense,”kata-kata licin”, dan item-item leksikal)kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya,sejumlah property universal mengikat kita bersama di satu dunia.Belajar berfikir dalam bahasa lain mungkin mensyaratkan penguasaan bahasa itu secara memadai,tetapi pada umumnya pembelajar bahasa kedua tak perlu belajar berfikir dari awal lagi.Seperti dalam setiap pengalaman pembelajaran yang lain,pembelajaran bahasa kedua bisa memanfaatkan kegunaan positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memudahkan proses pembelajaran dengan mempertahankanapa yang valid dan berharga untuk pembelajaran budaya kedua dan pembelajaran bahasa kedua.

9. Budaya di kelas bahasa
Dalam bagian sebelumnya sejumlah aplikasi isu budaya telah berhasil masuk kekelas bahasa.Salah satu sumber bantuan terbaik untuk mengarahkan anda lebih maju dalam menginjeksikan budaya kedalam kelas anda tersedia dalam Crossing Cultures in the Language Classroom karya DeCapua dan Wiltergerst (2004).Dalam panduan praktis untuk para guru ini,kedua penulis menyediakan pelatihan langsung dalam merancang pelajaran dan aktivitas dalam pengertian pendefinisian budaya,kolektivisme dan individualisme,gegar budaya,atribut budaya komunikasi nonverbal,peran sosial,dan komunikasi prakmatis.

C. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas antara factor-faktor sosial dan budaya sangat mempengaruhi pemerolehan mapun pembelajaran bahasa. Jarak sosial seperti dominasi, integrasi, kekohesifan, keserasian, kepermanenan mempengaruhi terhadap situasi pembelajaran bahasa yang baik dan buruk. Adapun budaya kita untuk membuat streretipe maupun generalisai terhadap orang-orang pada bangsa-bangsa tertentu bias menjadi faktor penghambat ataupun pendorong dalam pembelajaran bahasa.
Dengan demikian, baik pembelajar maupun guru bahasa kedua perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, untuk mengakui secara terbuka bahwa tidak ada orang yang sama. Sebagai guru kita harus berjuang memahami identitas-identitas pembelajar kita dalam hal latar belakang soial budaya mereka.

Buku Sumber
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Pearson Education, Inc. (Terjemahan Noor Cholis dan Yusi Avianto).
FAKTOR SOSIAL BUDAYA DALAM PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA

( Tugas Mata Kuliah Landasan Pembelajaran Bahasa
Dosen Pengampu Dr. Irene Risakotta, M. Pd)





Oleh

Faiqotur Rosidah (09745005)
Sulistiyani (09745004)






PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
Desember, 2009

Tidak ada komentar: